| Wayang Kelompok Aksara K |
| Kala Karna - Solo |

|
PRABU KALAKARNA Prabu Kalakarna adalah raja raksasa negara Awangga. Ia bermimpi berjumpa dengan Dewi Surtikanti, putri Prabu Salya, raja negara Mandraka. Pengasuh Kalakarna, Kidanganti atas titah Sang Prabu, mencuri Dewi Surtikanti dan membawanya ke hadapan rajanya. Tetapi Dewi Surtikanti tak mau didekati Prabu Kalakarna dan terus saja memegang patrem (keris untuk digunakan wanita sebagai senjata) di tangannya. Prabu Kalakarna sebenarnya tak takut pada senjata itu. Yang menjadi soal ialah, bahwa Surtikanti hendak menggunakan patremnya sebagai senjata bunuh diri, sekiranya badannya sampai terjamah Kalakarna. Tetapi setibanya Prabu Kalakarna di tempat itu, ia melihat Raden Suryaputra dan menjadi sangat murkalah ia. Terjadilah perang dan Prabu Kalakarna tewas oleh Raden Suryaputra. Dewi Surtikanti diantar pulang ke Mandraka, diperistri oleh Raden Suryaputra yang kemudian menjadi raja negara Awangga dengan sebutan Adipati. Demikianlah lakon wayang yang umum dikenal sebagai lakon Alapalapan. Di dalam kerangka lakon terdapat seorang putri yang hilang dicuri, diketemukan oleh seorang ksatria dan diperistri oleh ksatria itu. Sang putri bisa juga hilang karena pergi meninggalkan negaranya. Dalam hal ini putrinya pun menjadi alap-alapan. Bisa juga putri yang menjadi peran utama kawin biasa, namun lakonnya disebut juga lakon alap-alapan. Prabu Kalakarna bermata telengan, behidung haluan perahu, bermulut ngablak, terbuka, penuh gigi dan taring. Bermahkota topeng, berjamang dengan garuda membelakang, bersunting waderan. Bergelung, berpontoh, dan berkeroncong. Berkain kerajaan lengkap. Ada cerita yang mengatakan, bahwa negara Awangga terletak di desa yang bernama Awangga juga dan yang termasuk keasistenwedanaan, sekarang kecamatan Ceper, kabupaten Klaten. Penduduk desa tersebut percaya, bahwa kerajaan Awangga jaman Purba letaknya di desa itu dan sebagai pembuktian ditunjukkan adanya keris pusaka kepunyaan Karna, Kyai Jalak, yang menjadi pujaan penduduk setempat. Keris itu dianggap demikian keramat, hingga air basuhan keris kadang-kadang digunakan untuk menyumpah seseorang, untuk keperluan penyumpahan mana seseorang itu diminta minum air basuhan. Air biasa pun, asal saja diambil dari desa Awangga, dianggap manjur juga. Di jaman kerajaan Surakarta, desa Awangga dijadikan desa Merdika dan diperintah oleh seorang hamba Kraton, berpangkat Merdikan. Orang-orang keturunan desa Awangga otomatis mendapat sebutan Raden. Sumber : Sejarah Wayang Purwa - Hardjowirogo - PN Balai Pustaka - 1982 |













