| Wayang Kelompok Aksara W |
| Watugunung - Solo |
|
PRABU WATUGUNUNG Prabu Watugunung adalah raja negara GilingWesi. Menurut rwayatnya, ia putra raja Prabu Palindriya, tetapi sewaktu ia masih di dalam kandungan ibunya Dewi Sinta meninggalkan istana karena dimadu dengan saudaranya sendiri. Selama perjalanan, Dewi Sinta melahirkan di tengah rimba seorang putra yang diberi nama Raden Wudug. Suatu waktu, ketika Raden Wudug masih kanak-kanak, ia dimarahi oleh ibunya dan kepalanya dipukul dengan centong nasi hingga luka. Oleh karena itu Raden Wudug meninggalkan ibunya dan berganti nama Radite. Raden Radite kemudian, karena kesaktiannya, berhasil menjadi raja di Gilingwesi dan bergelar Prabu Watugunung. Ia berpermaisuri seorang putri yang sangat dicintainya, tetapi permaisuri itu sebenarnya ialah ibunya sendiri dan ini telah terjadi diluar pengetahuan mereka masing masing. Rahasia itu baru diketahui, ketika petan (mencari kutu), Permaisuri melihat cacad di kepala prabu Watugunung dan sang Prabu bercenita tentang asal mula cacad itu terjadi. Untuk menghindari peristiwa keji itu, Dewi Sinta minta, supaya Watugunung mengambil seorang bidadari untuk dijadikan madunya. Prabu Watugunung meluluskan permintaannya itu dan pergi ke Suralaya untuk mencari seorang bidadari yang akan dijadikan perniaisurinya. Terjadilah perang dan Prabu Watugunung tewas dalam perang itu. Memang itulah yang diharapkan oleh Dewi Sinta. Prabu Watugunung bermata jaitan, berhidung mancung. Bermahkota kerajaan, berjamang tiga susun dengan garuda membelakang, berpraba (pakaian serupa sayap) pada bahu kanan dan kiri. Umumnya praba ini hanya teruntuk bagi raja-raja dan ksatria-ksatria besar. Bergelang, berpontoh, dan berkeroncong. Berkain bentuk kerajaan. Kterangan : Watugunung adalah juga nama wuku. Dengan wuku dimaksud hitungan hari bulan yang pada tiap bagian menerangkan perihal hari lahir seseorang dengan disertai ramalan kehidupannya sehubungan dengan hari lahirnya itu. Dipandang sepintas lalu, ramalan tersebut tampaknya seperti takhayul, tetapi kalau diteliti benar-benar ada hubungannya juga sebenarnya dengan perhitungan waktu di bumi yang senyatanya, misalnya perihal hujan, segala perhitungan mengenai masa banyak cocoknya dan bukan takhayu1 belaka. Jalannya perhitungan waktu berturut-turut, sambung-menyambung dengan tiap hari Minggu. Menurut riwayatnya, wuku-wuku adalah nama-nama 30 orang. Pada setiap orang dikaitkan seorang Dewa yang dianggap sebagai orang tua orang itu. Setiap wuku dimiliki oleh seorang Dewa dan dianggap sebagai putra Dewa itu. Jadi jelasnya setiap wuku mempunyai Dewanya sendiri sendiri dan hitungan mengenai wuku itu berganti setiap hari Minggu.
Untuk mengingat nama wuku satu persatu, di dalam bahasa Jawi caranya yang mudah dengan menggunakan gending, lagu Dhandhanggula. Seperti berikut lagunya: Sinta Landep Wukir lan Kurantil, Sumber : Sejarah Wayang Purwa - Hardjowirogo - PN Balai Pustaka - 1982 |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||















