Wayang Kelompok Aksara B |
Bratasena - Solo |
RADEN BRATASENA Raden Bratasena putra Pendawa yang kedua, putra Prabu Pandu. Bratasena juga bernama Bima dan Bayusuta, kaena ia aadalah putra angkat Betara Bayu. Setelah dewasa ia bernama Wrekodara, bertakhta di Jodipati sebagai ksatria besar, yakni ksatria yang berkedudukan raja. Bratasena tak pernah menggunakan bahasa halus terhadap siapa pun. Juga terhadap Dewa digunakannya bahasa kasar. Selama hidupnya hanya satu kali ia berbahasa halus, yakni ketika ia bertemu dengan Dewa Ruci, seorang Dewa kerdil yang adalah Dewanya yang sejati. Tetapi kekasaran bahasanya penuh dengan kebijaksanaan. Ia tak pernah berdusta. Karena jiwanya yang suci itu, Bratasena selalu menemukan kebenaran. Raden Bratasena bermata telengan (membelalak), berhidung dempak, berkumis dan berjenggot, berpupuk di dahi, berambut terurai bentuk polos, dihias dengan garuda membelakang, bersunting waderan, berkalung bulan sabit, bergelang bentuk Candrakirana, berpontoh dan berkeroncong. Berkuku Pancanaka yang lebih sakti daripada senjata apapun. Bercelana pendek (katok). Segala pakaian Bratasena melambangkan dirinya dan ketetapan hatinya. Ia beroman muka njenggureng, merengut menandakan, bahwa ia berani pada kebenaran. Ketetapan hati Bratasena laksana gunung, tak berobah ditiup angin. Dalang melukiskan badan dan pakaian Bratasena sebagai berikut: Alkisah, akan jalan ksatria dari Tunggulpamenang (Bratasena), setelah ia berdiri tegak, keluarlah angin kesaktiarinya. Raden Bratasena jalannya selalu lurus, tak pernah membelok, ia berhias rambut terurai, bersanggul terhias garuda membelakang yang melambangkan, bahwa Bratasena tak was-was menghadapi Dewa dan kejiwaannya sendiri. Pupuk didahi mengingatkan pada cahaya di dalam rahim Hyang Dewa Ruci (Dewanya Bratasena). Bersunting emas dalam bentuk serat buah asem yang melambangkan, bahwa kepandaian Bratasena tersamar, sehingga ia tampak seperti arang dungu. Suntingnya tertutup hiasan berbentuk bunga pandan berwarna putih, dengan mana dimaksudkan berbau harum baik di bagian luar maupun di bagian dalamnya. Berpontoh dalam bentuk buah manggis melambangkan, bahwa sewaktu ia kelak menemui ajalnya, segala sesuatunya akan berlangsung dengan sempurna, tanpa meninggalkan sesuatupun. Gelang candrakirana, dimana candra berarti bulan dan kirana berarti tulisan melambangkan, bahwa ksatria Tunggulpamenang berpengetahuan tanpa tulisan, tapi terang benderang dan tak samar-samar. Berkalung nagabanda (naga pengikat), di mana naga berarti raja ular dan banda berarti tali pengikat badan melambangkan, bahwa Raden Bratasena di dalam peperangan berkekuatan seimbang dengan naga yang murka dan takkan meninggalkan gelanggang. Perkataan kalah tak dikenal oleh Bratasena. Baginya kalah berarti mati. Bercawat kain poleng bangbintulu (kain berkotak-kotak segi empat lima warna). Kain ini mengingatkan pada amarah yang lima macam. Berikat pinggang kain cindai berumbai terlentang di atas paha kanan dan kiri melambangkan bahwa Raden Bratasena mengetahui tentang segala hal dikanan kirinya. Porong (barang perhiasan terletak di atas paha berarti, bahwa ia bisa menyimpan segala hal di dalam hati sanubarinya. Keroncong raja naga membelit kaki mengingatkan, bahwa ia bisa bertemu dengan Dewa Ruci, setelah ia terlepas dari belitan naga. Berkuku pancanaka sepanjang lawi lawi di tangan kanan dan kiri. Raden Bratasena melambangkan kekuatan di antara saudara yang lima dan dapat membuka seglaa pengetahuan. Tersebutlah, ketika datang angin besar Raden Bratasena mengucapkan ilmu-ilmunya: ilmu Wungkalbener, ilmu Bandungbandawasa dan juga aji Jalasengsara. Waktu berjalan, Bratasena diiringi oleh lima bayu (angin), yang kehijau-hijauan milik Begawan Maenaka; yang kehitam hitaman kepunyaan liman (gajah) Satubanda; yang kekuning kuningan milik Raden Bratasena sendiri; dan yang keputih-putiha kepunyaan Begawan Kapiwiru (Hanoman). Ketika dalang mengucapkan ini, wayang Bratasena ditancapkan di tengah kelir. Lalu gunungan dijalankan dan di atas berulang-ulang, mengibaratkan, bahwa Raden Bratasena mengeluarkan angin dengan diiringi suluk (nyanyian) dalang yang bisa membangunkan rasa seram. Taufan dengan suara menakutkan menempuh pepohonan. Pohon pohon yang akarnya dalam patah dan yang akarnya tak dalam. tumbang. Jalan Raden Bratasena lurus, sesuai dengan yang dikehendaki. Raden Bratasena loncat sejauh gajah bisa meloncat dan secepat kilat. Seselesainya ucapan ini, oleh dalang Raden Bratasena dijalankan berulang kali di kelir dengan diiringi bunyi gamelan. Jalannya Bratasena diwujudkan secara meloncat, sekali loncat selebar kelir yang ditengah-tengahnya digunakan untuk mencacakkan wayang. Sumber : Sejarah Wayang Purwa - Hardjowirogo - PN Balai Pustaka - 1982 |