Kesenian Slawatan ini berbeda dengan Slawatan Maulud. Kesenian ini lahir di Surakarta (Solo) pada zaman pemerintahan Susuhunan Pakubuwono ke IV. Sejak dahulu sampai sekarang kesenian Slawatan Laras Madya ini hidup dan berkembang masih seperti aslinya. Fungsi kesenian ini adalah sebagai alat berdakwah serta untuk hiburan. Kesenian ini juga bukan seni pertunjukan untuk ditonton oleh umum. Kalaupun ada penonton, maka mereka hanya sebagai pendengar saja. Jumlah pemain kesenian Laras Madya ini sekitar 15 - 20 orang dan biasanya terdiri dari laki-laki yang berusia 25 tahun ke atas. Pertunjukan kesenian ini memakai pedoman sebuah buku yang disebut Kitab Wulang Reh yang berbahasa Jawa, karya Sri Sunan Pakubuwono ke IV di Solo. Nyanyian disampaikan dalam bahasa Jawa dan berisi nasehat ataupun petunjuk tentang kebajikan. Alat musik yang dipakai selama terbang seperti pada Slawatan Maulud, adalah kendang, peking (dua belah saron pada gamelan yang terdiri dari dua nada) dan kentongan kecil. Kostum yang dikenakan oleh para pemain adalah pakaian sehari-hari. Kesenian ini dipentaskan pada malam hari selama kurang lebih 8 jam. Pertunjukan dimulai dari jam 20.00 dan berakhir pada jam 04.00. Alat penerangan yang dipakai adalah lampu petromak untuk zaman sekarang dan lampu keceran/lampu triom di masa lalu. Pentas yang dipakai berbentuk arena. Untuk menyelenggarakan pertunjukan ini tidak diperlukan tempat khusus. Ruang di dalam rumah para warga ataupun penduduk yang menyelenggarakannya sudah dianggap memadai.