Sebaliknya, Bekel Tembong dan kawan-kawannya pun melihat adanya pembaharuan-pembaharuan yang dibawa oleh rombongan dagelan yang lebih muda. Pada satu atau dua kali kesempatan, mereka bermain bersama-sama. Pada tahun-tahun selanjutñya, bermunculanlah rombongan-rombongan dagelan, baik yang bernaung di bawah instansi tertentu seperti Urril Innindam 2/VII Yogyakarta, maupun kelompok-kelompok lepas dan perseorangan. Rombongan-rombongan itu, terutama yang membawakan cerita, tampak masih dipengaruhi oleh gaya yang sudah dibawakan oleh pendahulunya, suatu gaya yang kemudian disebut sebagai gaya "Dagelan Mataram". Di samping itu, ada pula kelompok yang sekedar memancing ketawa tanpa keinginan menyajikan cerita tertentu dengan tokoh-tokoh tertentu, gaya ini kemudian disebut sebagai gaya "lawakan". Jadi Dagelan Mataram semula adalah nama bagi rombongan-rombongan dagelan. Nama ini pertama kali dipakai oleh rombongan dagelan yang terdiri dari abdi dalem Puri Ngabean di Kraton Yogyakarta, ketika menyelenggarakan siaran radio melalui radio MAVRO, yang karena populer segera ditiru dan dipakai sebagai nama bagi rombongan-rombongan dagelan lain yang muncul kemudian di Yogyakarta. Rombongan-rombongan baru ini bahkan juga meniru gaya pertunjukannya. Demikianlah, akhirnya nama Dagelan Mataram bukan lagi merupakan nama bagi rombongan tertentu melainkan nama yang menunjukkan gaya tertentu. Gaya dagelan dari Yogyakarta, gaya Dagelan Mataram itu sendiri, senantiasa berkembang dari waktu ke waktu, sehingga pengertian Dagelan Mataram itu menjadi miskin. "Dagelan Mataram", akhirnya adalah nama bagi suatu jenis kesenian daerah Yogyakarta, yang berbentuk sandiwara komedi, dan menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar pokok. Dalam bentuknya yang baku, Dagelan Mataram ini mempunyai ciri-ciri seperti telah disebutkan di muka. Unsur lelucon dalam petunjukan teatrikal, seperti pada Ketoprak-Ketoprak yang kemudian porsinya diperbesar sehingga menjadi pertunjukan dagelan, jauh sebelumnya sebenarnya telah ada dalam kehidupan kesenian di Jawa. Tahun 1891, di Surabaya pernah berdiri sebuah opera Melayu dengan nama "Komedie Stamboel". Pertunjukannya mengetengahkan ceritera-ceritera yang diambil dari hikayat 1001 malam seperti "Aladin Dengan Lampu Wasiat", "Ali Baba Dengan 40 Penyamoen", "Penangkap Ikan Dengan Soeatoe Jin", "Si Boengkoek" dan lain-lain. Cerita-cerita ini juga ada yang diambil dari Eropa seperti misalnya Sneeuwitje, Doornroosje, De Schoone Slaapster in Het Bosch dan sebagainya. Sebagai pelengkap pertunjukan "Komedie Stamboel" menyajikan berbagai macam lagu seperti Melayu, Mars, Waits, Polka serta lagu-lagu dansa populer lainnya. Tata busana yang dikenakan di sini serba mewah dan gemerlapan. Dekorasi berwarna-warni dengan gambar-gambar yang sesuai dengan ceritera yang dibawakan. Untuk mengisi waktu luang antara dua babak disajikan selingan berupa lelucon, nyanyian atau tableau. Dan unsur-unsurnya tampak jelas bahwa "Komedie Stamboel" ini merupakan usaha untuk mewujudkan suatu kesenian modern di tengah-tengah kehidupan kesenian tradisional yang sudah ada dan merupakan suatu usaha memasukkan kehidupan kesenian baru ke dalam masyarakat yang telah melakukan, memiliki dan memelihara kelangsungan hidup kesenian tradisionalnya. Dan unsur unsurnya juga terlihat jelas bahwa "Komedie Stamboel" bermaksud menarik publik dari golongan atas dan golongan yang suka pada dansa-dansi, busana-busana gemerlapan, lagu-lagu Barat modern seperti Waltz, Tango dan Polka. Dalam perkembangan kemudian, "Komedie Stamboel" lebih dikenal sebagai "Komedie Bangsawan". Rombongan sejenis muncul pula pada sekitar tahun 1926, bemama "Dardanella". Cerita-cerita yang dibawakan oleh rombongan ini selain gaya "Komedie Stamboel" adalah cerita-cerita khas "Dardanella" seperti De Roos van Serang, Annie van Mendut, Lily van Cikampek, suatu jenis lakon yang kemudian dikenal dengan julukan Indische Roman. Dalam perkembangan "Dardanella" selanjutnya, sedikit demi sedikit rombongan ini mulai meninggalkan gaya "Komedie Stamboel" dan pada akhirnya rombongan "Dardanella" tampil tanpa segala macam nyanyian sedikit pun. Keadaan seperti mi dikembangkan terus, sampai Anjar Asmara, salah satu anggota terpenting "Dardanella" pada tahun 1942 mendirikan perkumpulan "Cahaya Timur" dan memulai tradisi menyajikan lakon atas dasar teks tertulis (script). "Cahaya Timur" inilah bentukan pertama teater modern Indonesia. Humor dan lelucon sebagai bagian dari pertunjukan telah ada lama sebelum kesenian dagelan tampil sebagai seni dan pertunjukan. Paling tidak pada tahun 1891 unsur ini telah ada dan menjadi bagian dari pertunjukan "Komedie Stamboel". Pada kesenian tradisonal Jawa yang berupa kesenian rakyat, humor dalam pertunjukan baru mulai dijumpai pada tahun 1908, yaitu pada pertunjukan Ketoprak Lesung Wreksodiningratan, yang pada masa kemudian berkembang menjadi Ketoprak Gamelan mulai tahun 1927, sebagai bentuk mula Ketoprak yang dikenal dewasa ini. Ketoprak Lesung sendiri sudah ada sejak 1887, tapi masih belum mengandung unsur humor. Ketoprak Lesung peniode pertama itu masth berunsurkan bunyi-bunyian dan tari tarian. Kesenian tradisional Jawa sebelumnya, yang berasal dan kalangan kraton, dapat diduga bensih dari unsur humor. Bentuknya yang utama adalah "Langendriya" yang berunsurkan tari, nyanyi dan gamelan. Tampak juga bahwa belum begitu lama telah terjadi perbedaan publik dari hasilan kesenian. Kesenian modem seperti "Komedie Stamboel" dengan unsun-unsur Barat dan "pop" yang dikandungnya diadakan untuk dan jelas akan disukai oleh golongan elite, golongan yang bergaul dengan kebudayaan gemerlapan dan dansa-dansi Waltz, Tango dan Polka, sedang kesenian tradisional yang merupakan kesenian rakyat seperti Ketoprak sudah barang tentu menjadi milik rakyat. Milik "Common People", orang kebanyakan. Publiknya adalah orang kebanyakan, yang melahirkannya dan yang akan memeliharanya. Kesenian tradisional yang berasal dari kraton seperti "Langendriya" mempunyai publik dan kalangan priyayi dan para bangsawan.
|