Gamelan Sekaten adalah perangkat gamelan yang paling dianggap berkaitan dengan upacara Islam dan diduga sudah ada sejak jaman MAJAPAHIT. Kegiatan sekatenan sudah ada sejak jaman kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa pada pertengahan abad ke-16. Tentang nama atau asal - usul nama 'sekaten' ada beberapa pendapat. Nama Sekaten dikaitkan dengan kata syahadatain, kalimat syahadat yang harus diucapkan seseorang ketika masuk agama Islam. Nama Sekaten juga ada yang mengaitkan dengan jarwa dhosok dalam bahasa Jawa 'sisig (ing) ati' yang, katanya menggambarkan sesaknya perasaan orang-orang yang berdesakan datang begitu mendengar suara gamelam yang aneh. Nama sekaten juga ada yang mengaitkan dengan ukuran satuan berat yang digunakan oleh masyarakat Jawa masa lampau: se(satu) kati. Hal itu dihubungkan dengan ukuran besarnya gamelan dan paling berat di antara gamelan yang ada(Supanggah, 2002: 47-48). Di Kraton Surakarta gamelan Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari sengaja dibuat dalam ukuran besar untuk menghasilkan suara yang keras sehingga terdengar dari jarak jauh untuk menarik rakyat sehubungan dengan sarana dakwah agama Islam. Ricikan gamelan Sekaten di Surakarta adalah: a. satu rancak bonang terdiri dari ricikan bonang dan penembung ditabuh oleh tiga orang pengrawit b. dua rancak saron demung c. empat rancak saron barung, dua rancak saron penerus d. satu rancak kempyang, sebuah bedhug, sepasang gong besar pada satu gayor Semua gamelan tersebut berlaras pelog dan dibuat dari bahan perunggu. Adapun gending-gending sekatenan yang harus disajikan adalah ladrang Rambu, ladrang Rangkung, ladrang Barang Miring, ladrang Glana. Gamelan Sekaten dibunyikan sekali dalam setahun yaitu pada upacara memperingati kelahiran Nabi Muhammad S.A.W. pada bulan Mulud (Jawa). Di keraton Surakarta gamelan ini menyertai prosesi gunungan dimulai dari bangsal Smarakata, melewati Sitinggil, alun-alun utara, sampai di Halaman Masdjid Agung.