Makalah Komisi - A - (#3) |
Meretas Nilai-nilai Moral dan Pendidikan Karakter Dalam Naskah Wulangreh dan Wedhatama Oleh : Endang Poerwanti Paradigma pendidikan yang selama ini diterapkan, menyebabkan proses dan materi pendidikan lebih mengutamakan pengembangan intelektual, yang bertujuan membentuk manusia yang mampu bersaing di dunia global, namun pembentukan manusia kompetitif tidak sekaligus membentuk manusia yang berkarakter. Plurarisme masyarakat juga menyebabkan sulitnya menanamkan nilai yang bersifat ultimate. Buku kecerdasan emosional maupun pendidikan karakter disambut bagaikan terbitnya matahari yang dapat menerangi gelapnya hati manusia. Bila dicermati, dalam budaya jawa, pendidikan karakter bukanlah hal yang baru, keluhuran perilaku yang berprinsip para “pinter lan bener, ngreti, ngrasa lan nglakoni atau becik ketitik ala ketara” merupakan sebagian falsafah hidup yang bermuatan pendidikan karakter yang sangat dalam maknanya. Berbagai ajaran keluhuran budi dan pengendalian diri yang berupa “pitutur” atau petuah tentang perilaku mulia dan gambaran manusia bermartabat tinggi, dikupas dalam serat “Wulangreh” karya Susuhunan Paku Buwono IV, juga “Weddhatama” karya K.G.P.A.A. Mangkunegoro IV, yang berisi ajaran keutamaan yang diujudkan dalam syair lagu. Dalam cerita wayang dikenali pula tokoh-tokoh sebagai simbul karakter keberanian, kejujuran, kearifan ataupun sebagai simbul angkara murka. Makalah ini akan mengupas keterpaduan antara tuntunan perilaku dalam naskah-naskah Weddhatama dan Wulangreh dalam dimensi budaya Jawa dengan nilai-nilai moral universal sebagai pilar karakter, yang merupakan kajian dari berbagai pakar mewakili budaya dunia global. Hal ini diharapkan dapat menjadi landasan pengembangan strategi pendidikan karakter berbasis budaya, agar generasi muda tidak saja terlena mempelajari karya asing yang bermuatan budaya penulisnya, tetapi juga mengenal dan dan meresapi falsafah kehidupan budaya sendiri, dalam khasanah sastra dan budaya Jawa, yang diharapkan dapat terinternalisasi dalam proses pendidikan dilingkungan keluarga, masyarakat maupun pendidikan formal. 1. Konsep Nilai, Moral dan Budi Pekerti. Dalam kehidupan sehari-hari kata moral sering dipakai dengan pengertian yang lain yaitu budi pekerti, akhlak, nilai etika dan sebagainya, meskipun satu dengan yang lain memiliki pengertian detail yang berbeda. Nilai berasal dari bahasa latin, dari kata value yang artinya berdaya guna, dan berlaku (Diane Tilman, 2004). Nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna, dan indah untuk memperkaya batin dan menyadarkan manusia akan harkat dan martabatnya. Nilai bersumber pada budi yang berfungsi untuk mendorong dan mengarahkan sikap dan perilaku manusia. Nilai juga dapat diartikan sebagai standard tingkah laku, dan kebenaran yang mengikat masyarakat manusia, sehingga menjadi kepatutan untuk dijalankan dan dipertahankan. (Linda, 1995: xxvii) menyatakan bahwa “nilai” dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu nilai-nilai nurani (values of being) dan nilai-nilai memberi (values of giving). Nilai-nilai nurani adalah nilai yang ada dalam diri manusia dan berkembang menjadi perilaku serta cara manusia memperlakukan orang lain. Termasuk dalam nilai-nilai nurani adalah kejujuran, keberanian, cinta damai, keandalan diri, potensi, disiplin, tahu batas, dan kemurnian. Sedang nilai-nilai memberi adalah nilai yang perlu dipraktikkan atau diberikan yang kemudian secara langsung ataupun tidak langsung akan diterima sebanyak yang diberikan. Yang termasuk nilai-nilai memberi adalah setia, dapat dipercaya, hormat, cinta, kasih sayang, peka, tidak egois, baik hati, ramah, adil, dan murah hati. Nilai moral mengandung pengertian dan keinsyafan tentang kebaikan/kebenaran, sehingga manusia dengan sengaja melakukan yang baik. Pengertian baik dan buruk bisa bersifat universal apabila kriteria baik dan buruk tersebut dikaitkan dengan ajaran agama karena tidak dibatasi oleh waktu dan tempat. Moralitas atau perilaku yang mempertimbangkan baik buruk dan benar salah adalah ciri khas makhluk yang mempunyai akal dan penalaran yaitu manusia. Pembentukan budi pekerti, terkait dengan komponen kepribadian manusia. Al-Ghazali, dalam Poerwanti (2002) menyatakan bahwa disamping komponen ruh yang menghidupkan manusia, terdapat komponen lain yang sangat berpengaruh terhadap perilaku yaitu Al-Qalb (hati, jantung, nurani), Al – Nafs (nafsu, dorongan, ambisi, diri) dan Al-Aql (akal, pikiran rasional). Terdapat kesamaan bila komponen tersebut dikaitkan dengan teori Sigmund Freud (dalam Suryabrata, 2003) yang menganalisis kehidupan kejiwaan manusia dalam tiga komponen yaitu : 1. Id atau das es yang berisi dorongan dan nafsu yang berprinsip pada 2. ego atau das ich yaitu fungsi pikir yang bersifat rasional dan 3. super ego atau Das uber Ich yaitu fungsi kata hati atau nurani yang
Dari berbagai komponen di atas pendidikan moral lebih mengarah pada penguatan fungsi super ego ataupun Al-Qalb. Tujuan pendidikan budi pekerti adalah terbentuknya manusia seutuhnya yaitu manusia yang berbudi pekerti luhur, atau yang sering disebut dengan berbagai istilah insan kamil (manusia sempurna), manusia super normal menurut Schultz, Allport menyebutnya Mature Personality, Self Actualized Person menurut Abraham Maslow, sedang Carl Roger menyebutnya sebagai Fully Functioning Person . Kirchenbaum dalam Megawangi (2004) menyatakan bahwa, pendidikan nilai terkait dengan banyak istilah yaitu pendidikan karakter, etika, pendidikan moral, klarifikasi nilai, pelatihan emphaty, dan kecakapan hidup. Budi adalah nalar dengan nalar itulah manusia bisa berpekerti atau bertindak, sehingga budi pekerti yang baik dapat diartikan sebagai sikap dan perilaku yang baik yang membuat manusia dapat hidup dengan lebih baik bersama orang lain. Perilaku moral dikendalikan nilai moral atau aturan perilaku yang disepakati kelompok tertentu. Sehingga perilaku moral tidak saja berdasar standart sosial tetapi juga ada unsur suka rela dalam melaksanakannya. Budi pekerti yang sudah menjadi keseharian dan secara suka rela, spontan dan menjadi ciri individu disebut dengan karakter. 2. Pendidikan Nilai dan Pendidikan Karakter Karakter sering disamakan artinya dengan akhlak, adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu terkait dengan nilai benar-salah, dan nilai baik-buruk, sehingga karakter akan muncul menjadi kebiasaan yang termanifestasi dalam sikap dan perilaku untuk selalu melakukan hal yang baik secara terus menerus dalam semua lingkungan kehidupan. Karena karakter terkait dengan nilai-nilai kebaikan, maka pendidikan karakter adalah upaya yang dilakukan secara bertahap untuk menanamkan kebiasaan, agar anak selalu dapat berfikir, bersikap dan berperilaku berdasar nilai-nilai kebaikan, sehingga pendidikan karakter selalu dikaitkan dengan pendidikan nilai. Untuk itu ketercapaian tujuan pendidikan karakter tercermin dalam pengetahuan, sikap dan perilaku anak berdasar nilai-nilai kebaikan, yaitu nilai-nilai moral yang bersifat universal berupa nilai yang dapat diterima pada semua lingkungan. Dalam konsep Islam, (Anismata, 2002: 6-9) akhlak atau karakter diartikan sebagai nilai pemikiran yang telah menjadi sikap mental yang mengakar dalam jiwa, lalu tampak dalam bentuk tindakan dan perilaku yang bersifat tetap, natural, dan refleks. Karakter tidak sekali terbentuk, lalu tertutup, tetapi terbuka bagi semua bentuk perbaikan, pengembangan, dan penyempurnaan. Karenanya orang yang membawa sifat kasar bisa memperoleh sifat lembut, setelah melalui mekanisme latihan. Namun, sumber karakter itu hanya bisa bekerja efektif jika kesiapan dasar seseorang berpadu dengan kemauan kuat untuk berubah dan berkembang, dan latihan yang sistematis. Dijelaskan lebih jauh bahwa Islam membagi akhlak menjadi dua yaitu: 1. fitriyah, yaitu sifat bawaan yang melekat dalam fitrah seseorang 2. muktasabah, yaitu sifat yang sebelumnya tidak ada, dan diperoleh Pengertian antara nilai, moral dan budi pekerti secara umum sulit untuk dipisahkan, maka orientasi antara pendidikan nilai, pendidikan moral dan pendidikan budi perkerti juga hampir tidak dapat dipisahkan. Pendidikan nilai mencakup kawasan budi pekerti, norma, dan moral. Nilai yang berdasar norma disebut dengan nilai moral, budi pekerti adalah perilaku yang didasari pada nilai moral dan merupakan buah dari budi nurani. Budi nurani bersumber pada moral. Sesuai dengan kodrat manusia sebagai mahluk Tuhan yang merdeka, manusia punya kebebasanan dalam memilih nilai dan norma yang dijadikan pedoman berbuat, bertingkah laku dalam hidup bersama dengan manusia lain. Ramli Zakaria (2004) menyatakan bahwa pendidikan budi pekerti memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Pendidikan Budi Pekerti dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri. Pendidikan budi pekerti merupakan pendidikan tentang etika hidup bersama berdasarkan nalar dan hati nurani, yaitu proses pendidikan yang ditujukan untuk mengembangkan nilai, sikap dan perilaku luhur, perlu terus dilakukan di seluruh unsur pendidikan yang ada dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat yang memungkinkan anak terus tumbuh berkembang menjadi individu yang berakhlak mulia. 3. Pendidikan Karakter Istilah karakter diambil dari bahasa Yunani”to mark” yang berarti menandai atau mengukir perilaku (Ratna Megawangi, 2004). Sedang pendidikan karakter dapat diartikan sebagai pendidikan untuk membentuk perilaku dan kepribadian anak melalui pendidikan moral dan budi pekerti, yang hasilnya nampak dalam perilaku seseorang, misalnya perilaku jujur, bertanggungjawab, menghormati hak orang lain, bekerja keras dan sebagainya. Carl Rogers mengatakan bahwa fitrah manusia pada dasarnya bersifat baik, apabila hal ini berfungsi secara bebas, akan dapat berkembang secara positif. Sistem pendidikan yang berupaya memberikan instruksi moral akan merupakan hambatan eksternal yang menegah tumbuhnya fitrah tersebut. Tidak perlunya mengajarkan prinsip moral melalui pendidikan karakter ini yang kemudian menumbuhkan kelompok yang berpendapat bahwa moralitas yang dianggap benar adalah moralitas yang punya alasan logis. Dalam istilah bahasa Arab karakter diartikan mirip dengan akhlak yaitu tabiat atau kebiasaan melakukan hal-hal yang baik . Al Ghazali (dalam Abu Suud, 2005) menggambarkan bahwa akhlak adalah tingkah laku seseorang yang berasal dari hati yang baik, sehingga pendidikan karakter merupakan usaha aktif untuk membentuk atau mengukir kebiasaan baik sejak kecil. Terbentuknya karakter pada manusia, ditentukan oleh dua faktor yaitu nature dan nurture, sehingga pendidikan karakter sekaligus melibatkan aspek pengetahuan sikap dan perilaku, yang melibatkan seluruh aspek meliputi knowing the good, loving and desiring the good dan acting the good (mengetahui, menginginkan, mencintai dan melakukan) yang dilakukan secara simultan dan berkesinambungan. (Megawangi 2004). Pendidikan moral atau budi pekerti dalam kerangka pembentukan karakter diarahkan pada bagaimana manusia dapat berperilaku sesuai dengan kaidah-kaidah moral karena pendidikan moral dan budi pekerti yang tidak dapat merubah perilaku anak menjadi tidak berguna dan sia-sia, seperti ditekankan oleh Lickona dalam Doni Kusuma (2007) akan pentingnya tiga komponen dari karakter yang baik yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling adalah perasaan tentang moral dan moral action atau perilaku dan perbuatan bermoral. moral knowing terdiri dari enam hal pokok yang seharusnya diajarkan yaitu 1. adanya kesadaran moral, 2. mengetahui nilai-nilai moral, 3. perspective taking, 4. penalaran moral, 5. pengambilan keputusan dan 6. pemahaman diri sendiri. Sementara moral feeling atau perasaan
Dalam kaitan dengan perasaan moral ini juga terdapat enam hal yang perlu ditanamkan kepada anak sesuai dengan tahapan perkembangannya yaitu : 1. penajaman hati nurani, 2. penguatan rasa percaya diri, 3. peningkatan empathy atau pelatihan untuk dapat merasakan apa yang 4. mencintai kebenaran, 5. kemampuan untuk dapat terus menerus mengontrol diri dan 6. upaya untuk mengasah kerendahan hati. Moral action adalah perilaku
Damon (2002) mengemukakan prinsip dalam mengembangkan karakter yaitu 1. karakter mengcover fenomena multifaset, 2. masing-masing komponen karakter memiliki cara dan model 3. perkembangan pada setiap anak memiliki rate yang berbeda, 4. perkembangan urutan dan profil dari komponen karakter berbeda 5. komponen-komponen karakter cenderung untuk berkembang secara
4. Klusterisasi Nilai-Nilai Pembentuk Karakter Tujuan pendidikan karakter adalah untuk mendidik anak-anak agar dapat melakukan keputusan bijak dan dapat mempraktekkan dalam kehidupan sehari hari. Nilai-nilai karakter yang perlu ditanamkan adalah nilai-nilai universal yang dapat menjadi perekat seluruh masyarakat dengan berbagai perbedaan latar belakang budaya, suku, agama maupun pola-pola perilaku. Dalam suatu masyarakat yang berbeda suku bangsa, agama, adat ataupun sosial budaya, diperlukan adanya nilai-nilai yang secara universal diakui kebenarannya, dan dijunjung tinggi bersama oleh seluruh masyarakat dan menjadi perekat yang efektif sehingga akan tercipta relasi sosial yang harmoni dalam masyarakat yang heterogen tersebut. Nilai-nilai itulah yang perlu digali dan dikembangkan menjadi nilai pembentuk karakter. Banyak pendapat dikemukakan sehubungan dengan jenis dan jumlah pilar karakter yang kemudian terjabar dalam nilai-nilai moral pembentuk karakter tersebut, meskipun demikian tidak ada pertentangan satu dengan yang lain, masing-masing akan saling melengkapi dan menyempurnakan satu dengan yang lain. Kalaupun ada beberapa perbedaan dalam penyebutan jenis pilar karakter, akan nampak kesamaannya dalam penjabarannya menjadi indikator dan deskriptor perilaku. Dengan demikian jelas bahwa sebenarnya ada nilai-nilai universal yang secara umum diyakini kebenarannya oleh semua kalangan. Deklarasi ASPEN (dalam Brooks, 2001) mengemukakan adanya nilai-nilai yang perlu dikaji dan dijadikan barometer serta fokus pendidikan karakter ada 6 nilai ethik utama (core ethical value) yang meliputi: 1. dapat dipercaya (trustworthy) meliputi sifat jujur (honesty) dan 2. dapat memperlakukan orang lain dengan hormat (treats people with 3. bertanggung jawab (responsible), 4. adil (fair), 5. kasih sayang (caring), dan 6. warga negara yang baik (good citizen).
Dari enam pilar karakter tersebut, dijabarkan menjadi 52 nilai karakter (indikator) yang perlu diajarkan kepada anak. Sejalan dengan itu, nilai-nilai etika yang dikembangkan Josephson Institute of Ethics (2005: 7-12 ) terjabar dalam buku Making Ethical Decisions, menjelaskan adanya enam pilar karakter yaitu: 1. trustworthiness, 2. respect, 3. responsibility, 4. fairness, 5. caring, and 6. citizenship.
Selanjutnya Lewis A. Barbara (2004) dalam bukunya Character Building For Children mengemukakan adanya 10 pilar karakter yang terjabar menjadi 56 indikator nilai. Sepuluh pilar tersebut adalah: 1. peduli, 2. sadar akan hidup berkomunitas, 3. mau bekerja sama, 4. adil, 5. rela memaafkan, 6. jujur, 7. menjaga hubungan, 8. hormat terhadap sesama, 9. bertanggung jawab, dan 10. mengutamakan keselamatan.
Sangat mirip dengan apa yang dikemukakan Linda di atas, Diane Tillman (2004: xvi) menguraikan dalam bukunya Living Value activities for Children Ages 3-7, tentang adanya 11 pilar karakter yang terdiri dari: 1. kedamaian, 2. penghargaan, 3. cinta, 4. tanggung jawab, 5. kebahagiaan, 6. kerjasama, 7. kejujuran, 8. kerendahan hati, 9. toleransi, 10. kesederhanaan, dan 11. persatuan.
Pilar-pilar tersebut kemudian dijabarkan pada cara-cara mengajarkannya masing-masing pilar tersbut kepada anak. Tanpa menunjukkan adanya perbedaan prinsip Megawangi (2005: 95) merangkum berbagai teori dan menuangkannya dalam sembilan pilar karakter meliputi: 1. cinta Tuhan dengan segala ciptaannya (love Allah, trust, reverence, 2. kemandirian dan tanggung jawab (responsibility, excellence, self 3. kejujuran, amanah dan bijaksana (trustworthiness,reliability and 4. hormat dan santun (respect, courtessy, obedience), 5. dermawan suka menolong dan gotong royong (love compassion, 6. percaya diri kreatif dan pekerja keras (confidence, assertiveness, 7. kepemimpinan dan keadilan (justice, fairness, mercy, leadership, 8. baik dan rendah hati (kindness, friendliness, humility, modesty), dan 9. toleransi, kedamaian dan persatuan (tolerance, flexibility,
Terkait dengan pendidikan karakter dan pembentukan akhlak mulia ini, Pemerintah telah pula memberikan respon positif dengan digulirkannya Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa yang berisi tentang arah kebijakan, kerangka dasar, tahapan serta strategi yang digunakan dalam pembangunan karakter bangsa. Kebijakan yang terkait dengan strategi pembangunan karakter bangsa melalui pendidikan, telah ditindak lanjuti oleh Kementerian Pendidikan Nasional dengan berbagai pedoman dan bahan pelatihan tentang penguatan metode pembelajaran berdasar nilai-nilai budaya untuk membentuk daya saing dan karakter bangsa. Dalam materi pelatihan tersebut juga digambarkan bahwa pendidikan karakter yang dikembangkan melalui jalur pendidikan akan melingkupi pengetahuan, sikap dan perilaku terkait dengan nilai nilai moral (moral knowing, moral feeling, dan moral doing). Nilai yang perlu dikembangkan memalui pendidikan formal di sekolah terdiri dari 18 yaitu 1. religius, 2. jujur, 3. toleransi, 4. disiplin, 5. kerja keras, 6. kreatif, 7. mandiiri, 8. demokratis, 9. rasa ingin tahu, 10. semangat kebangsaan 11. cinta tanah air, 12. menghargai prestasi, 13. bersahabat, 14. cinta damai, 15. gamar membaca, 16. peduli lingkungan, 17. peduli sosial, dan 18. tanggungjawab.
Selanjutnya pemetaan nilai-nilai baik-buruk dan benar-salah, diklasifikasikan menjadi lima yaitu 1, nilai-nilai yang terkait dengan hubungan manusia dengan Tuhan 2. nilai-nilai yang terkait dengan adab terhadap diri sendiri, 3. Nilai-nilai tentang hubungan dengan sesama, 4. nilai-nilai kebangsaan, dan 5. nilai-nilai yang terkait dengan lingkungan (Kemendiknas, 2010:
Gambar 1. Nilai-nilai Pendidikan Karakter (Puskur Kemendiknas. 2010) Rangkuman dari nilai-nilai universal pembentuk karakter tersebut dapat disajikan pada tabel berikut Tabel 1. Rangkuman Nilai Moral Universa Sebagai Pilar Pembentuk Karakter D. Meretas Pendidikan Karakter dalam Budaya Jawa. Pendidikan budi pekerti merupakan pendidikan tentang etika hidup bersama berdasarkan nalar dan hati nurani, yaitu proses pendidikan yang ditujukan untuk mengembangkan nilai, sikap dan perilaku luhur. Pendidikan budi pekerti, tidak saja sebagai substansi mata pelajaran yang bersifat kognitif, tetapi lebih mendasar menjadi interaksi sosial budaya dan edukatif yang terjadi antara siswa dengan seluruh unsur pendidikan dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat yang memungkinkan anak tumbuh berkembang menjadi individu yang berakhlak mulia. Model pendidikan budi pekerti seperti ini, juga telah dilakukan dalam Perguruan Taman Siswa sejak awal abad XX. Ki Hajar Dewantoro mempelopori metode pendidikan budi pekerti, yang dikenal dengan “ngreti-ngroso-nglakoni”, yang bermakna; mengetahui, menginsyafi dan mangamal-kan nilai-nilai yang diyakini. Pelaksanaannya dengan mengintegrasikan, metode pengajaran budi pekerti dengan metode dalam agama Islam yaitu “syari’at, hakekat, tarekat dan ma’rifat. Metode Syari’at, diterapkan pada “Taman Indria” atau TK untuk anak berumur 5-6 tahun. Pendidikan dilakukan dengan pembiasaan yang bersifat global, spontan dan occasional, penanaman nilai, berupa anjuran dan perintah dengan disiplin konsisten, dengan tidak mengingkari fungsi bebas sebagai kodrat kehidupan anak. Tingkatan kedua adalah metode-hakekat, diterapkan pada tingkat “Taman–Muda” untuk anak antara 9-12 tahun. Anak mulai diberi pengertian tentang perilaku baik buruk, benar-salah dalam kehidupan, meskipun masih dengan cara okasional atau spontan. Pada tahap ini mulai ditanamkan pemahaman terhadap ketertiban lahir untuk mencapai rasa damai kehidupan batin. Penanaman kesadaran ini didasarkan pengetahuan, kenyataan, dan kebenaran, dengan tujuan anak tidak terikat pada pembiasaan tanpa tahu alasan sebenarnya. Pendidikan untuk “Taman Dewasa” anak 14-16 tahun diterapkan “metode tarekat” yang berarti “laku” yakni upaya membentuk perbuatan mulia dengan pengorbanan, untuk melatih diri melaksanakan kebaikan, bagaimanapun sulitnya. Pada periode ini anak dilatih melakukan “tirakat” yaitu ibadah khusus dan kegiatan lain yang terkait dengan pembentukan pribadi yang kuat. Metode tarikat secara tradisional diwujudkan dalam kegiatan laku bersamadi, berpuasa, atau berjalan kaki ke tempat jauh. Dalam perkembangannya dapat dilakukan dengan perilaku yang sengaja ditujukan untuk memahami kehidupan orang lain dan membantu kesulitan yang dialami; berupa bakti sosial, pendidikan kepanduan, pengabdian masyarakat, dan sebagainya. Selanjutnya metode ma’rifat, berarti memahami dengan sungguh-sungguh apa yang dilakukan. Metode ini diberikan pada “taman-madya” dan “taman-guru`” (17-20 tahun). Pengajaran budi pekerti taraf penyempurnaan ini diberikan dalam bentuk ilmu pengetahuan yang mendalam tentang etika ataupun hukum kesusilaan yang bersifat abstrak untuk menganalisis dan mendiskusikan berbagai situasi yang ada, karenanya anak telah dapat melakukan kebaikan dengan kesadaran sendiri, menginsyafi dan menyadari apa maksud dan tujuan dari perilaku yang dilakukan. Tujuan akhir dari pendidikan budi pekerti adalah agar manusia dapat mencapai kesempurnaan pribadi sebagai manusia (insan kamil) yaitu manusia yang siap secara lahir batin untuk hidup dalam masyarakat luas dan berjuang untuk kepentingan diri dan orang lain. Dalam cerita wayang dikenali pula tokoh-tokoh sebagai simbul karakter keberanian, kejujuran, kearifan ataupun sebagai simbul angkara murka, kelicikan dan sebagainya. Dalam kehidupan masyarakat Jawa di jaman kerajaan telah pula mengutamakan berbagai ajaran budi pekerti yang berupa “pitutur” atau petuah tentang perilaku mulia dan gambaran manusia bermartabat tinggi seperti yang tercantum dalam buku “Wulangreh” yang berarti ajaran tentang keluhuran budi dan bagaimana berperilaku utama karya Sri Susuhunan Paku Buwono IV, atau “Weddhatama” yang berarti ajaran tentang keutamaan karya K.G.P.A.A. Mangkunegoro IV Surakarta, yang semuanya diujudkan dalam bentuk tembang; syair dan lagu dengan aturan tertentu, agar lebih mudah dihafal dan dipahami. Berbagai ajaran tentang keluhuran budi dan pengendalian diri yang berupa “pitutur” atau petuah tentang perilaku mulia dan gambaran manusia bermartabat tinggi, dikupas dalam serat “Wulangreh” karya Susuhunan Paku Buwono IV, juga “Weddhatama” karya K.G.P.A.A. Mangkunegoro IV Surakarta, yang berisi ajaran keutamaan yang diujudkan dalam syair lagu. , sesuai dengan perkembangan keilmuan dijaman itu nilai nilai dan ajaran prilaku utama tersebut tidak terjabarkan dalam difinisi yang tegas yang disertai indikator keberhasilan dan cara mengukurnya, tetapi lebih bersifat nasehat bagaimana sebaiknya manusia bertingkahlaku untuk mencapai keutamaan Wulangreh adalah karya sastra yang agung dan luhur yang menampilkan gambaran tentang kehidupan masyarakat, gambaran suasana batin dari penulisnya sekaligus merupakan cerminan hubungan seseorang dengan orang lain ataupun dengan masyarakat, sehingga dapat menjadi rekonstruksi tatanan masyarakat, pola-pola hubungn sosial, nilai-nilai yang didukung masyarakat pada waktu itu. Wulangreh berarti pelajaran untuk sareh (sabar), dimana orang harus selalu memelihara watak “ reh “ bersabar hati dan “ ririh “ tidak tergesa-gesa dan berhati-hati. Naskah ini ditulis tahun 1768 – 1820, isi teks adalah tentang ajaran etika manusia ideal untuk keluarga raja, kaum bangsawan dan hamba di keraton Surakarta. Ajaran etika yang ditulis merupakan etika yang ideal, yang dianggap sebagai pegangan hidup yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat Jawa pada waktu itu, khususnya dilingkungan Keraton Surakarta. Serat Wulangreh, diujudkan dalam bentuk puisi tembang macapat dalam 310 bait. Terbagi dalam 12 pupuh yaitu 1. dhandhanggulo berisi 8 tembang, 2. kinanthi 16 tembang, 3. gambuh 16 tembang, 4. pangkur 16 tembang, 5. maskumambang 34 tembang, 6. duduk wuluhan 18 tembang, 7. durmo 12 tembang, 8. wirangrong 26 tembang, 9. pucung 35 tembang, 10. pucung 22 tembang, 11. mijil 25 tembang, 12. asmorondono 26 tembang, 13. sinom 23 tembang, dan 14. giriso 23 tembang.
Sistematika penulisan didasarkan pada aturan (pakem) dari masing-masing tembang, tidak berdasar pada satu persatu nilai yang perlu ditanamkan, sehingga selalu diulang-ulang tentang bagaimana perilaku yang baik tersebut. Naskah ini secara hakekat, berintikan ajaran tentang nilai-nilai kehidupan dyang berintikan ketulusan dan pengendalian diri. Nilai-nilai kehidupan yang dikemukakan meliputi bagaimana untuk pandai memilih teman, pedoman untuk menilai orang termasuk mawas diri menilai diri sendiri dan berbagai strategi menahan diri dari nafsu. Kewaspadaan batin yang terus menerus itu akan mencegah tingkah laku, bicara dan ucapan yang tercela. Puasa dan bertapa merupakan latihan yang utama untuk mendapatkan kewaspadaan batin, dan menghindari watak yang tidak baik, yaitu watak adigang, adigung dan adiguna, menguntungkan diri sendiri dan merugikan orang lain, berbohong, kikir, dan sewenang-wenang haruslah dijauhi. Dengan demikian, nilai seseorang ditentukan oleh kemampuannya menguasai batinnya. Perilaku, bicara dan ucapan yang tampak adalah pencerminan batin. Berbudi luhur berarti dengan sadar dapat mengendalikan dunia batin atau dapat mengendalikan hawa nafsu. Nilai pragmatis yang dapat dipetik dari ajaran wulangreh ini adalah ajaran ke Tuhanan, yang digambarkan dengan ngalkoni, mengurangi makan dan tidur, segala macam keprihatinan, dan bersujud kepada Tuhan Yang Maha Esa menjadi prasyarat menguasai kehidupan batin yang tenang.di samping ditu banyk pula dibahas tentang nasehat untuk menuntut ilmu dan mencari guru yang dipandang sebagai manusia utama, guru adalah sosok yang jujur, pandai dan beribadah. Ciri Dengan ilmu manusia akan bisa mencapai keselarasan dengan lingkungan sosial dan masyarakat. Sebagai contoh digambarkan sebagai ; anteng, jatmiko ing budi luruh lan wasis. Hubungan sosial yang tercermin dalam rasa saling menghormati juga menjadi penekanan pada naskah ini, meskipun ukuran hormat masih mengutamakan perhitungan pangkat, kekayaan, usia dan ‘awu”. Serat Wédhatama yang secara bebas dapat diatikan sebagai “tulisan mengenai ajaran utama" adalah karya moralistis-didaktis yang sedikit dipengaruhi Islam. Karya ini secara formal dinyatakan ditulis oleh KGPAA Mangkunegara IV. ( 1858- 1881). Sama dengan wulangreh, serat ini berbentuk tembang dalam 100 bait yang terdiri dari tembang pangkur 14 pupuh, sinom 18 pupuh, Pocung 15 pupuh, gambuh 35 pupuh, dan kinanthi 18 pupuh. Isinya adalah merupakan falsafah kehidupan, seperti hidup bertenggang rasa, bagaimana menganut agama secara bijak, menjadi manusia seutuhnya, dan menjadi orang berwatak ksatria. Ajaran untuk membentuk karakter bermoral dalam Wedhatama, sebenarnya juga ditujukan sebagai olah spiritual bagi kalangan bangsawan Mataram, tetapi tidak tertutup bagi siapapun yang berkehendak menghayatinya, karena bersifat universal lintas kepercayaan atau agama apapun. Karena mudah diikuti dan dipelajari oleh siapapun. Puncak dari kehidupan yang sejati, lebih memahami diri sendiri, manunggaling kawula-Gusti, dan mendapat anugrah Tuhan untuk melihat rahasia kegaiban, dengan ajaran budi pekerti atau akhlak mulia. Manusia sempurna daam budaya Jawa sering digambarkan sebagai orang yang “ sugih tanpa bandha, nglurug tanpa bala, digdaya tanpa aji, dan menang tanpa ngasorake”. Ajaran ini diawali dengan gambaran dari orang yang berjiwa kosong, yang perlu dikasihani dan diajari sopan santun dan sikap pasrah pada Allah yang merupakan ajaran rasa ke Tuhanan, dilanjutkan dengan tuntunan untu bisa mawas diri (mulat sariro angroso wani. Sikap ini dapat dikembangkan dengan mencari rasa “damai” dengan menyatukan cipta,rasa dan karsa perilaku. Beberapa contoh lain ajaran untuk mencapai kesempurnaan itu adalah sikap rendah hati, kerja keras, sabar, saleh dan bersahaja. Kehidupan akan rusak bila diisi dengan saling curiga dan saing menyalahkan. Ditekankan bahwa sikap hormat dan rukun adalah prinsip sosial yang mendasari budaya jawa. Tenggangrasa dan pengendalian diri adalah syarat utama untuk mencapai keseimbangan sosial. Sedang hubungan vertikal dengan Tuhan dapat tercapai dengan sujud dan topobroto. Dengan membandingkan teori nilai-nilai moral universa sebagai pilar pendidikan karakter, dengan kajian serat wulangreh dan wedhatama, tampak secara jelas banyak persamaan atau persinggungan dianrtara keduanya. Hal ini membuktikan bahwa ajaran nilai moral yang bersifat universal adalah ajaran yang dapat diterima oleh lingkungan, adat, budaya ataupu bangsa manapun, seperti kejujuran, kerja keras, kesederhanan, emphaty dan toleransi mawas diri adaah contoh dari nilai niai yang dapat masuk ke berbagai kawasan tanpa batasan waktu, tempat dan budaya masyarakat. Semoga bermanfaat DAFTAR PUSTAKA ♦ Abu Suud. (Oktober 2005). Pendidikan agama dalam pembentukan ♦ DIKNAS 2010, Materi pelatihan pendidikan karakter bangsa, Pusat ♦ Diane Tilman & Diane Soe. (2004). Living values activities for ♦ Doni Koesoema A., (2007), Pendidikan karakter: Strategi mendidik ♦ Endang Poerwanti. (2002). Pendidikan moral dan budi pekerti masa ♦ Linda & Eyre, Richard. (1995). Mengajarkan nilai-nilai kepada ♦ Lewis, A Barbara. (2004). Character building for children. ♦ Mangkunegoro IV, KGPAA. Serat Wedhatama ( 1858 – 1881) ♦ Ratna Megawangi.( 2004). Pendidikan karakter: Solusi yang tepat ♦ Susuhunan pakubuana IV, serat Wulangreh (1968 -1920) |