Makalah Pengombyong - (#21) |
KEUNIKAN BAHASA JAWA DIALEK BANYUMAS ABSTRAK Keunikan linguistik yang dimiliki bahasa Jawa Dialek Banyumas cukup menarik karena tidak dimiliki oleh bahasa Jawa standar. Keunikan yang ditemukan dalam bahasa Jawa Dialek Banyumas antara lain keunikan tata bunyi fonem vokal dan fonem konsonan, silabe (suku kata) yang lebih panjang dibandingkan bahasa Jawa standar, dan keunikan pada afiksasi yang diperlihatkan pada bentuk{-aken} dan pasif persona kedua. Di samping itu, keunikan bahasa Jawa Dialek Banyumas juga merupakan cerminan identitas masyarakat penuturnya. Salah satu identitas masyarakat Banyumas antara lain memiliki karakter budaya egaliter danblaka suta. Blaka suta merupakan sebuah ungkapan yang sudah mendarah daging di masyarakat Banyumas. Blaka suta bervariasi dengan kata cablaka, thokmelong, dan blak-blakan yang bermakna egaliter, terus terang, berbicara apa adanya antara lahir dan batin, dan tidak menggunakan basa basi. Ungkapan ini biasanya dipakai masyarakat Banyumas untuk mengkritik, namun tidak menimbulkan ketersinggungan bagi yang dikritik. Karakter blaka suta sebagai ciri kepribadian masyarakat Banyumas dapat dicermati dalam pemakaian bahasa Jawa Dialek Banyumas sehari-hari oleh masyarakat penuturnya. Kata Kunci : keunikan linguistik, dialek Banyumas, identitas, masyarakat Banyumas 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa Jawa sebagai rumpun bahasa Austronesia, Melayu Polinesia Barat merupakan salah satu bahasa daerah di Indonesia dengan jumlah penutur yang sangat banyak. Bahasa Jawa menempati urutan ke-11 di antara 6.703 bahasa di dunia untuk kategori jumlah penutur, yaitu sebanyak 80--100 juta penutur(Hidayat dan Rahmani, 2006:139). Luasnya wilayah pakai bahasa Jawa tersebut mengakibatkan bahasa Jawa pada tiap-tiap daerah berkembang sesuai dengan kondisi geografis serta kondisi masyarakat penutur bahasa Jawa itu sendiri, misalnya, mobilitas penduduk dan hubungan komunikatif penutur bahasa Jawa di suatu wilayah tutur dengan penutur bahasa lain di wilayah tutur yang sama. Fenomena ini menyebabkan bahasa Jawa berkembang menjadi beberapa dialek. Soedjito dkk. (1986:2) menyebutkan bahwa bahasa Jawa memiliki beberapa dialek geografis seperti bahasa Jawa Dialek Banyumas, Tegal, Solo, Surabaya, Samin, dan Osing. Perkembangan bahasa Jawa di wilayah Banyumas secara kebahasaan menjadi bahasa Jawa Dialek Banyumas, yaitu bahasa Jawa yang berbeda dari bahasa Jawa standar (bahasa Jawa yang digunakan di wilayah Solo dan Yogya) juga merupakan salah satu akibat dari kondisi geografis wilayah tutur dialek itu. Jumlah pemakai bahasa Jawa Dialek Banyumas kurang lebih sekitar 12—15 juta orang, dengan wilayah penutur meliputi Karsidenan Banyumas, sebagian Karsidenan Pekalongan, dan sebagian barat Karsidenan Kedu. Pada sisi barat daya wilayah pemakaiannya dibatasi oleh Kabupaten Cilacap, pada sisi barat laut dibatasi oleh Kabupaten Tegal, pada sisi timur laut dibatasi oleh sebagian Kabupaten Pekalongan, dan pada sisi tenggara dibatasi oleh Kabupaten Kebumen (Wedhawati dkk.2006:17). Wilayah Banyumas secara kebahasaan berbatasan dengan wilayah tutur bahasa Jawa Yogya di sebelah Timur dan Barat Kota Tasikmalaya. Kondisi ini menyebabkan bahasa Jawa Dialek Banyumas, di satu sisi, menyerap unsur-unsur bahasa Jawa standar, tetapi di sisi lain, tetap menyerap bahasa Sunda. Bahasa Jawa Dialek Banyumas merupakan salah satu identitas budaya yang hidup di perbatasan budaya Jawa dan Sunda. Penelitian yang dilakukan Esser (1927—1929) menunjukkan adanya kosakata Dialek Banyumas yang berasal dari bahasa Jawa Kuno, Jawa Pertengahan, bahasa Sunda Kuno, dan bahasa Sunda. Dialek Banyumas merupakan hasil kontak antarbudaya lokal yang terjadi sejak masa akhir Majapahit sampai sekarang (Poedjosoedarmo, 1982:5). Secara teoretis, bahasa oleh para ahli sosiolinguistik dipandang sebagai suatu sistem yang sangat kompleks (Bell, 1995:65). Di satu sisi, bahasa dipandang sebagai sistem yang tertutup yang merupakan satu kesatuan yang bersifat sistematis (misalnya, bahasa dapat dipandang sebagai suatu sistem fonologi, morfologi, atau sintaksis). Di sisi lain, bahasa dipandang sebagai sistem yang selalu terbuka dan senantiasa berubah. Selanjutnya, perubahan bahasa oleh Chaer dan Agustina (1995:177) dikatakan sebagai akibat persentuhan bahasa tersebut dengan bahasa-bahasa lain. Dilihat dari jenis perubahan yang terjadi, Wardhaugh (1986:188) mengatakan bahwa perubahan bahasa dapat dilihat melalui dua segi yaitu, segi internal dan eksternal. Perubahan internal kebahasaan terlihat dari perubahan sistem fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantis, sedangkan perubahan eksternal dapat dilihat melalui peminjaman atau penyerapan kosakata, penambahan fonem dari bahasa lain, dan sebagainya. Oleh karena itu, keberadaan bahasa Jawa Dialek Banyumas memiliki perbedaan yang cukup unik di bidang fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik dibandingkan dengan bahasa Jawa standar. Pemakaian bahasa Jawa Dialek Banyumas yang dianggap berbeda itulah oleh sebagian besar penutur bahasa Jawa lain dianggap sebagai hal yang lucu. Berkenaan dengan fenomena dia atas, penulis tertarik untuk mengangkat masalah- masalah yang unik berkaitan dengan perbedaan bahasa Jawa Dialek Banyumas dengan bahasa Jawa standar oleh masyarakat Banyumas dengan judul Keunikan Bahasa Jawa Dialek Banyumas sebagai Cerminan Identitas Masyarakat Banyumas. 1.2 Rumusan Masalah Berkenaan dengan fenomena di atas tersebut, tidak berlebihan bila pada kesempatan ini penulis ingin mencoba memberikan gambaran tentang keberadaan bahasa Jawa Dialek Banyumas yang unik beserta ciri-ciri identitas masyarakat pemakainya. Rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah bagaimanakah keunikan bahasa Jawa Dialek Banyumas sebagai cerminan identitas masyarakat Banyumas? 1.3 Tujuan Penelitian Makalah ini bertujuan mendeskripsikan bagaimanakah keunikan bahasa Jawa Dialek Banyumas sebagai cerminan identitas masyarakat Banyumas. 1.4 Manfaat Teoretis dan Praktis. 1.4.1 Manfaat Teoretis Hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat teoretis bagi pengembangan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan bidang bahasa, khususnya bahasa Jawa Dialek Banyumas. Berkaitan dengan upaya pengembangan bahasa, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah penelitian bahasa Indonesia, khususnya dalam pengkodifikasian bahasa Jawa ragam tulis. 1.4.2 Manfaat Praktis Adapun manfaat praktis bagi upaya pemasyarakatan, pengajaran, dan penelitian. Berkaitan dengan upaya pemasyarakatan bahasa, hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan dalam penyusunan silabus bahan penyuluhan bahasa Jawa Dialek Banyumas. Berkaitan dengan pengajaran, hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan para guru dalam pembelajaran di sekolah-sekolah dasar di Kabupaten Banyumas dan digunakan sebagai bahan rujukan dan sumber diskusi untuk berbagai mata kuliah pada Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Berkaitan dengan penelitian, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan teoretis ilmu kebahasaan dalam dunia ilmiah di Indonesia, khususnya bahasa Jawa Dialek Banyumas. 2. Kajian Literatur 2.1 Bahasa Jawa Dialek Banyumas Bahasa Jawa Dialek Banyumas oleh sebagian besar masyarakat penutur Jawa sering dinamakan bahasa Banyumasan atau bahasa Ngapak-ngapak. Bahasa Dialek Banyumas merupakan salah satu identitas budaya yang hidup di perbatasan budaya Jawa dan Sunda. Penelitian yang dilakukan Esser (1927—1929) menunjukkan adanya kosakata Dialek Banyumas yang berasal dari bahasa Jawa Kuno, Jawa Pertengahan, bahasa Sunda Kuno, dan bahasa Sunda. Bahasa Jawa Dialek Banyumas merupakan hasil kontak antarbudaya lokal yang terjadi sejak masa akhir Majapahit sampai sekarang (Poedjosoedarmo, 1982:5). Bahasa Jawa Dialek Banyumas juga merupakan salah satu dialek regional bahasa Jawa atau bagian dari variasi bahasa Jawa. Variasi bahasa dari segi penuturnya didasarkan pada siapa yang menggunakan bahasa yaitu, di mana tinggalnya, bagaimana kedudukan sosialnya di dalam masyarakat, apa jenis kelaminnya, dan kapan bahasa itu digunakan(Rokhman, 2003; 61). Pemakaian bahasa Jawa dialek Banyumas meliputi wilayah Karsidenan Banyumas, sebagian Karsidenan Pekalongan, dan sebagian barat Karsidenan Kedu. Pada sisi barat daya wilayah pemakaiannya dibatasi oleh Kabupaten Cilacap, pada sisi barat laut dibatasi oleh Kabupaten Tegal, pada sisi timur laut dibatasi oleh sebagian Kabupaten Pekalongan, dan pada sisi tenggara dibatasi oleh Kabupaten Kebumen. Bahasa Jawa Dialek Banyumas memiliki enam fonem vokal yait: /a/, /o/, /u/, /i/, /e/ dan /«/ (Adisomarto dkk. 1981; Supardo 1999:74). Keenam fonem vokal dialek Banyumas tidak jauh berbeda dengan bahasa Jawa standar yang juga terdiri atas enam vokal (Ekowardono, 1988:90). Perbedaannya terletak pada sistem ucap. Keenam vokal dialek Banyumas beserta alofonnya dapat digambarkan sebagai berikut. Bagan 1 : Variasi Fonem Vokal dalam Dialek Banyumas 1 : Variasi Fonem Vokal dalam Dialek Banyumas Konsonan dalam bahasa Jawa Dialek Banyumas memiliki 22 fonem. Konsonan tersebut meliputi Menurut Wedhawati, 2006: 74) lasifikasi onsonan dalam bahasa Jawa Dialek Banyumas dapat digambarkan sebagai berikut. Bagan 4 : Klasifikasi Konsonan Dialek Banyumas
2.2. Identitas Masyarakat Banyumas Identitas Masyarakat merupakan frasa yang terdiri atas dua kata identitas dan masyarakat. Identitas mengandung makna ciri-ciri atau keadan khusus seseorang atau sesuatu benda. Identitas sering disebut juga dengan jati diri. Adapun masyarakat bermakna sekumpulan orang yang hidup bersama pada suatu tempat atau wilayah dengan ikatan aturan tertentu. Masyarakat juga dapat dimaknai segolongan orang atau sekelompok orang yang mempunyai kesamaan tertentu. Dengan demikian, identitas masyarakat dapat diartikan sebagai ciri-ciri atau keadaan khusus segolongan atau sekelompok orang yang terikat aturan tertentu dan mempunyai kesamaan tertentu. Bahasa Jawa Dialek Banyumas merupakan identitas masyarakat Banyumas. Bahasa menunjukan jati diri dan kepribadian penutur dari mana penutur berasal. Bahasa Jawa Dialek Banyumas juga menunjukkan budaya masyarakat Banyumas yang egaliter dan apa adanya dalam berkomunikasi dengan penutur lain. Identitas yang paling menonjol dan dimiliki masyarakat Banyumas adalah Bahasa Jawa Dialek Banyumasan yang sering disebut bahasa Ngapak-ngapak atau bahasa Banyumasan.. Bahasa Banyumasan atau bahasa Ngapak-ngapak selama ini oleh sebagian besar masyarakat di luar Banyumas masih dianggap sebagai bahasa pinggiran, bahasa kasar, bahasa yang kurang bergengsi. Secara geografis, bahasa Jawa Dialek Banyumas diapit oleh bahasa Jawa standar (Yogya-Solo) dan bahasa Sunda. Kedua bahasa tersebut mengenal adanya tingkatan dan strata. Namun, di sisi lain, bahasa Jawa Dialek Banyumas masih mempertahankan kekunaannya. Orang Banyumas yang merasa keturunan raja Majapahit mempertahankan bahasa Jawa Pertengahan dari hegemoni bahasa dari dinasti Mataram Islam. Hal itu terbukti pada masyarakat Banyumas di pedesaan yang belum terkontaminasi bahasa baku. Bahasa Jawa Pertengahan berkembang dari masa akhir Majapahit tidak mengenal strata bahasa sehingga bahasa tersebut lebih egaliterian daripada bahasa Jawa baku. Bahasa Jawa Pertengahan merupakan asal mula bahasa dialek Banyumasan yang dikenal sekarang ( Priyadi, 2002). 3. Pembahasan 3.1. Keunikan Bahasa Jawa Dialek Banyumas sebagai Cermin Masyarakat Banyumas Dalam Bahasa Jawa Dialek Banyumas terkandung nilai-nilai budaya yang luhur sebagai identitas masyarakat Banyumas. Salah satu identitas masyarakat Banyumas yaitu suka berbicara terus terang, apa adanya dan tidak menyembunyikan sesuatu kepada siapa pun dan kapan pun dengan bahasa Banyumasan. Cara berbicara terus terang seperti ini di Banyumas dikenal dengan istilah blaka suta. Blaka suta berasal dari kata blaka yang berasal dari kata blak atau blag yang bermakna berbicara yang sebenarnya. Secara etimologi, menurut (Mardiwarsito, 1979:106) kata blaka berasal dari bahasa Jawa kuno, yakni ‘balaka’ dan juga bahasa Sansekerta ‘walaka’ yang bermakna terus terang, jujur, lurus, tanpa ditutup-tutupi. Kata suta berarti anak, sehingga istilah blaka suta mengandung makna berbicara secara terus terang, seperti anak yang masih murni, lugu dan apa adanya. Blaka suta bervariasi dengan kata cablaka, thokmelong, dan blak-blakan yang bermakna egaliter, terus terang, berbicara apa adanya antara lahir dan batin, dan tidak menggunakan basa basi. Ungkapan ini biasanya dipakai masyarakat Banyumas untuk mengkritik, namun tidak menimbulkan ketersinggungan bagi yang dikritik. Karakter blaka suta sebagai ciri kepribadian masyarakat Banyumas dapat dicermati dalam pemakaian bahasa Jawa Dialek Banyumas yang oleh sebagian besar penuturnya dinamakan bahasa Ngapak-ngapak. Bahasa Ngapak-ngapak sebenarnya bermula dari para penutur yang melafalkan fonem atau lambang-lambang bunyi bahasa apa adanya, tidak mengikuti kaidah bahasa Jawa standar, misalnya fonem /a/ diucapkan /a/ dan konsonan /k/ juga dilafalkan /k/. Oleh karena itulah tidak mengerankan bila bahasa Jawa Dialek Banyumas memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan dialek lain. Keunikan-keunikan bahasa Jawa Dialek Banyumas secara lingual, menurut Wedhawati, 2006: 17) dibedakan menjadi kekhasan leksikal, tata bunyi, dan struktur gramatikal. Keunikan-keunikan tersebut dapat dilelaskan sebagai berikut. a. Keunikan Leksikal Keunikan leksikal ditandai dengan adanya beberapa kosakata yang berbeda dengan dialek lain. Contoh kosakata yang berbeda misalnya kata budin, lobak untuk menyebut ketela pohon, sedangkan dialek lain menyebutnya dengan pohung, tela kaspa atau tela jendral. b. Keunikan tata bunyi Salah satu keunikan bahasa Jawa Dialek Banyumas yang cukup menarik adalah memiliki beberapa kekhasan tata bunyi yang berbeda dengan bahasa Jawa standar. Dialek Banyumas memiliki 6 fonem vokal yaitu: /a/, /o/, /u/, /i/, /e/ dan /«/ dan 22 fonem konsonan, yakni /p/, /b/, /c/, /w/, /m/, /t/, /t`/, /d/, /d`/, /n/, /n`/, /s/, /l/, /j/, /ñ/, /r/, /y/, /k/, /g/, /N/, /h/, dan /v/. Sebagai satu dialek, fonem dialek Banyumas memperlihatkan kekhasan. Kekhasan fonem itu dapat dibagi dua, yaitu kekhasan fonem vokal dan kekhasan fonem konsonan. Kekhasan fonem vokal dialek Banyumas yaitu pada pelafalan [a],[i], [u]. Fonem /a/ yang berposisi pada suku ultima terbuka diucapkan [a], tetapi pada bahasa Jawa standar diucapkan [O], misalnya kata lara’sakit’ diucapkan [lara] sedangkan dalam bahasa Jawa standar diucapkan [lOrO]. Fonem /i/ yang berposisi pada suku ultima tertutup diucapkan [i], tetapi pada bahasa Jawa standar diucapkan [I], misalnya pada pitik’anak ayam’ dalam bahasa Jawa standar diucapkan [pitI] sedangkan dalam dialek Banyumas diucapkan [pitik]. Adapun fonem /u/ yang berposisi pada suku ultima tertutup diucapkan [u], tetapi pada bahasa Jawa standar diucapkan [U], misalnya pada kata abuh diucapkan [abhuh]’ bengkak’ sedangkan dalam Jawa standar diucapkan [abhUh]. Kekhasan fonem konsonan yang dimiliki dialek Banyumas, di antaranya terlihat pada fonem [b], [d] , [g], [k], dan [? ] jika dikontraskan dengan bahasa Jawa standar, fonem itu bervariasi dengan [p], [t], [k], [?], dan [Ø]. Fonem konsonan /b/ ababé ‘bau mulut’ atau ‘udara yang keluar dari mulut’ diucapkan[abhabhe] sedangkan dalam bahasa Jawa Jawa standar [abhape]. Fonem konsonan /d/ pada kata babat ‘tebas’ diucapkan [bhabhad] sedangkan dalam dialek standar diucapkan [bhabhat]. Kata endhog ’telur’ diucapkan [«nd`Og] sedangkan dalam bahasa Jawa standar [әnd`Ok] Kata bapak ‘bapak’ diucapkan [bhapak] sedangkan dalam dialek standar [bapa]. c. Keunikan Silabis Silabe (suku kata) dalam bahasa Jawa Dialek Banyumas lebih panjang jika dibandingkan dengan dialek standar, seperti pada kata tenan [tәnan], menjadi temenan [tәmәnan] dalam dialek Banyumas yang bermakna sesungguhnya. Kata gemiyèn ‘dahulu’dalam dialek standar diucapkan [mbhiyεn/ bhiyεn] sedangkan dalam dalam dialek Banyumas menjadi [ghәmiyεn]. Kata gedebogan [g«d«bOgan] dalam bahasa Jawa standar debok [d«bO/]' batang pohon pisang. d. Keunikan gramatikal Kekhasan afiks pada dialek Banyumas diperlihatkan pada bentuk{-aken} dan pasif persona kedua. Afiks -aken/ dalam dialek Banyumas berkorespondensi dengan afiks {ake} dalam dialek standar, baik dalam pemakaian verba aktif maupun pasif. Contoh pada kata njupukake’ mengambilkan’ dalam dialek Banyumas bervarian dengan [ñjhukutakәn] sedangkan dalam dialek standar [ñjUpu/akE]. Keunikan-keunikan bahasa Jawa Dialek Banyumas di atas sebenarnya mencerminkan karakter yang mengedepan keterusterangan manusia Banyumas. Manusia Banyumas memiliki model karakter berbicara terus terang dan apa adanya dan tidak menyembunyikan sesuatu. Akibat berbicara terus terang atau blaka suta sering menimbulkan orang lain merasakan bahwa manusia Banyumas dilihat dari sisi luar seperti tidak memiliki kesantunan (etika), lugas, atau bahkan kurang ajar. Anggapan itu wajar karena blaka suta sebagai gaya manusia Banyumas itu memang dapat menimbulkan rasa yang kadang-kadang membuat orang lain tersinggung. Hal itu, karena orang lain yang diajak bicara tidak memahaminya.. Menurut Priyadi (2000) budaya masyarakat Banyumas yang tercermin dalam bahasa Jawa Dialek Banyumasan adalah budaya tanggung atau marginal. Artinya dalam mengadopsi budaya budaya Jawa dan Sunda sama-sama dangkal. Oleh karena itu, masyarakat Banyumas tidak memedulikan lagi status sosial di masyarakat. Manusia Banyumas lebih suka menggalang sikap kesetaraan yang bersifat universal. Etika di masyarakat Banyumas dibangun atas dasar etika kemanusiaan yang dapat memunculkan kekuatan solidaritas Banyumas yang membedakan antara Jawa-Banyumas dan Jawa lainnya. Keegaliteran manusia Banyumas melahirkan prinsip kerukunan yang dijunjung tinggi dengan filosofisnya yang tinggi, yakni ungkapan tenimbang pager wesi, mendhingan pager tai sehingga melahirkan prinsip aman dan ketentraman. Hidup bertetangga berarti saling menjaga rasa aman dalam kehidupan kolektif. Sikap egaliter itu akan menjauhkan setiap individu dari sikap feodalistime yang menempatkan kedudukan, pangkat, dan harta sebagai kiblat hubungan sosial. Oleh karena itu, ungkapan orang desa seperti ngisor galeng, dhuwur galeng dijunjung tinggi. Masyarakat Banyumas memunyai keyakinan bahwa semua makhluk hidup di mata Tuhan memiliki kedudukan yang sama. Namun, di lain sisi, etika kesetaraan juga telah membentuk masyarakat Banyumas yang menonjolkan sikap-sikap yang suka bercanda, berbicara tanpa memandang siapa yang diajak berbicara, di mana berbicara, kapan berbicara. Priyadi (2000: 121) menyebutnya dengan istilah berbicara secara penjorangan, semblothongan, atau glewehan yang berlebihan sehingga batas etika sering diabaikan demi suatu keakraban dengan orang lain sesama orang Banyumas. 3. Simpulan Bahasa Jawa Dialek Banyumas yang memiliki keunikan secara lingual merupakan cerminan identitas masyarakat Banyumas. Identitas masyarakat Banyumas dibangun dengan budaya berbicara apa adanya yang dikenal dengan ‘blaka suta’. Blaka suta bervariasi dengan kata cablaka, thokmelong, dan blak-blakan yang bermakna egaliter, terus terang, berbicara apa adanya antara lahir dan batin, dan tidak menggunakan basa basi. Ungkapan ini biasanya dipakai masyarakat Banyumas untuk mengkritik, namun tidak menimbulkan ketersinggungan bagi yang dikritik. Karakter blaka suta sebagai ciri kepribadian masyarakat Banyumas dapat dicermati dalam pemakaian bahasa Jawa Dialek Banyumas sehari-hari oleh masyarakat penuturnya. Daftar Pustaka ♦ Adisumarto, Mukidi. 1981. Geografi Dialek Bahasa Jawa Banyumas. ♦ Bell, Roger T. 1995. Sosiolinguistik Sajian Tujuan, Pendekatan, dan ♦ Chaer, Abdul dan Agustine, Leonie. 1995. Sosiolinguistik Perkenalan ♦ Ekowardono, B. Karno. 1988. Verba Denominal dan Nominal Deverbal ♦ Hidayat F. Amir, dan Rahmani A.R., Elis N. 2006. Ensiklopedi Bahasa- ♦ Poedjosoedarmo, Supomo. 1982. Kedudukan dan Fungsi Bahasa Jawa. ♦ Priyadi, Sugeng. 2000. Fenomena Kebudayaan yang Tercermin dari ♦ Priyadi, Sugeng, 2002a. Banyumas antara Jawa dan Sunda. Semarang: ♦ Rokhman, Fathur. 2003. “Pemilihan Bahasa dalam Masyarakat ♦ Soedjito, dkk. 1986. Pemakaian Bahasa Jawa di Pesisir Utara Jawa ♦ Mardiwarsito, L. 1979. Kamus Jawa Kuna Indonesia. Ende: Nusa Indah. ♦ Wardhaugh, Ronald. 1986. An Introduction to Sociolinguistics. Oxford: ♦ Wedhawati dkk. 2006. Tata Bahasa Jawa Mutakhir. Yogakata: Kanisius. |