Sejarah Kerajaan Mataram Kuno |
Kerajaan Mataram Kuno - Halaman 03 / 25 |
beragama Siwa. Raja – raja wangsa Sanjaya itu, sejak Rakai Panangkaran hanya berkuasa sebagai raja bawahan, dan dalam beberapa kesempatan pembangunan candi – candi membantu raja wangsa Sailendra dengan memberikan tanah – tanah sebagai sima bagi candi – candi itu. [[1]] Pendapat de Casparis ini dikembangkan lagi oleh F.D.K. Bosch, dengan perubahan – perubahan di sana – sini. [[2]] Pendapat bahwa wangsa Sailendra itu berasal dari luar Indonesia (India atau Kamboja) ditentang oleh R.Ng. Poerbatjaraka. Ia merasa amat tersinggung membaca teori – teori tersebut, seolah – olah bangsa Indonesia ini sejak dahulu kala hanyalah mampu untuk diperintah oleh bangsa asing. Menurut Poerbatjaraka, Sanjaya dan keturunan – keturunannya itu ialah raja – raja dari wangsa Sailendra, asli Indonesia, yang semula menganut agama Siwa, tetapi sejak Rakai Panangkaran berpindah agama menjadi penganut agama Buddha Mahayana. Sebagai salah satu alasan ia menunjuk kepada kitab Carita Parahyangan, yang antara lain memuat keterangan bahwa Rahyang Sanjaya telah menganjurkan anaknya Rahyangta Panaraban, untuk meninggalkan agama yang dianutnya, karena ia ditakuti oleh semua orang. nama Rahyangta Panaraban diidentifikasikannya dengan Rakai Panangkaran. [[3]] Penemuan prasasti batu berbahasa Melayu Kuno di desa Sojomerto, Kabupaten Pekalongan, dan sebuah prasasti batu berbahasa Sanskerta yang tidak diketahui dengan jelas asalnya [[4]] dan kini tersimpan di Museum Adam Malik, mungkin sekali memperkuat anggapan Poerbatjaraka. Prasasti dari Sojomerto itu menyebutkan Dapunta Selendra, nama ayah dan ibunya, yaitu Santanu dan Bhadrawati, dan istrinya yang bernama Sampula. Masih ada tokoh lagi yang disebut di dalam prasasti yang sayang sekali namanya tidak terbaca seluruhnya. Demikian pula istilah yang menunjukkan hubungan antara tokoh ini dengan Dapunta Selendra tidak terbaca seluruhnya. Tokoh ini diberi predikat Hyang, jadi mungkin sekali tokoh yang telah diperdewakan, dan dianggap sebagai leluhur Dapunta Selendra.[[5]] Sebagaimana Isanawangsa berpangkal kepada Pu Sindok yang bergelar Sri Isanawikramadharmmottunggadewa dan Rajasawangsa berpangkal kepada Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa [[6]] tentunya Sailendra wangsa berpangkal kepada[1] J.G. de Casparis, Prasasti Indonesia I, 1950; Prasasti Indonesia II, 1956 [2] F.D.K. Bosch, Crivijaya de Cailendra-en de Sanjayavamsa, BKJ, 108, 1952, hlm. 113 - 123 [3] R.Ng. Poerbatjaraka, Crivijaya, de Cailendra-en de Sanjayavawmca, BKI, 114, 1956, hlm. 254 – 264. Karangan Bosch dan Poerbatjaraka ini telah disalin ke dalam bahasa Indonesia, dan diterbitkan oleh penerbit Bratara, 1975 [4] Menurut keterangan Bapak Adam Malik, penjual prasasti itu mengatakan batu itu berasal dari Jawa Barat. Akan tetapi, ada seorang kolektor di Solo yang mengatakan kepada Boechari bahwa batu itu berasal dari dekat Sragen, di sebelah timur Solo, dan ditempat itu masih dijumpai sisa – sisa bangunan bangunan dari bata. Kolektor itu masih menyimpan sebuah kepala arca Buddha yang indah buatannya, terbuat dari terakota. Mengingat kebiasaan penjual barang purbakala yang tidak pernah mau menyebut tempat asal barang yang dijualnya, dan mengingat isi prasasti itu, mungkin sekali keterangan kolektor di Solo itu yang benar. [5] Boechari, “Preliminary report on the discovery of on Old Malay inscription at Sojomerto”, MISI, III, no, 2 & 3, Oktober 1966, hlm. 241 – 251. [6] Sebetulnya masih ada satu nama wangsa lagi yang dijumpai di dalam Sejarah Kuno Indonesia, yaitu Girindrawangsa. Istilah ini ditemukan di dalam kitab Lubdhaka karangan Pu Tan Akung, yang semula dikira berasal dari zaman Kadiri. Akan tetapi, karena ada raja – raja Majapahit yang bergelar dengan unsur Girindra, dan mengingat pula pernyataan bahwa di dalam Nagarakertagama Ken Angrok disebut anak Girindra (Nag, 40, 2), Girindrawangsa itu tentulah menunjukkan wangsa raja – raja Majapahit, mungkin merupakan cabang keturunan – keturunan Rajasa / Ken Angrok. |