Sejarah Kerajaan Mataram Kuno |
Kerajaan Mataram Kuno - Halaman 04 / 25 |
seorang leluhur yang gelarnya mengandung unsur Sailendra. Di dalam prasasti Sojomerto itu dijumpai nama Dapunta Selendra, yang jelas merupakan ejaan Indonesia dari kata Sanskerta Sailendra. Sesuai dengan asal usul nama – nama wangsa yang lain itu dapatlah disini disimpulkan bahwa wangsa Sailendra itu berpangkal kepada Dapunta Selendra. Kenyataan bahwa ia menggunakan bahasa Melayu Kuno di dalam prasastinya menunjukkan bahwa ia seorang Indonesia asli, mungkin sekali berasal dari Sumatra. karena di Sumatralah dijumpai lebih banyak prasasti berbahasa Melayu kuno. [[1]] Dari prasasti Sojomerto itu jelas bahwa Dapunta Selendra ialah penganut agama Siwa. Kapan dan apa sebabnya raja – raja wangsa Sailendra itu mulai menganut agama Buddha mungkin dapat diketahui dari prasasti milik Bapak Adam Malik, yang untuk sementara disebut dengan nama Sangkhara. Prasasti ini berbahasa Sanskerta, tetapi sayang yang diketemukan kembali hanya bagian akhirnya. Rupa – rupanya prasasti ini dituliskan di atas dua batu, tetapi batu yang pertama yang memuat permulaan prasasti tidak ada. Dengan demikian, tidak diketahui kapan prasasti ini dikeluarkan kalaupun ada angka tahunnya. Melihat bagian belakang prasasti yang tidak rata, dan ada bagian yang merupakan tonjolan, rupa – rupanya prasasti ini dahulu ditempatkan dalam suatu bangunan. Bagian yang tersisa berisi keterangan bahwa pada suatu ketika ayah raja Sangkhara jatuh sakit, dan selama delapan hari ia sangat menderita karena panas yang membakar. Akhirnya ia meninggal tanpa dapat disembuhkan oleh pendeta gurunya. Oleh karena itu, raja Sangkhara merasa takut kepada sang guru yang dianggapnya tidak benar, dan ia lalu meninggalkan kebaktian kepada Sangkhara (Dewa Siwa). Bagian penutup prasasti memang membayangkan bahwa raja Sangkhara itu kemudian menjadi penganut agama Buddha, karena antara lain dikatakan bahwa ia telah memberikam anugerah kepada bhiksusnggha. [[2]] [1] Dalam hal ini masih ditunggu penelitian dari para ahli linguistik historis untuk menentukan daerah asal bahasa Melayu Kuno itu, sebab di Jawa Tengah juga dijumpai beberapa prasasti lain yang berbahasa Melayu Kuno. [2] Prasasti ini belum diterbitkanl tetapi telah dibaca oleh Boechari, Sebenarnya tafsiran ini masih agak meragukan, Hal ini terletak pada penafsiran kalimat yang berbunyi : so yan tyaktanyabhaktir jagadasiwiharac chankarac chankarakhyah. Terutama kasus ablatif jagadsiwaharac chankarac itu, Mungkin kalimat ini dapat diterjemahkan dengan ia, yang bernama Sangkhara, yang melenyapkan ketidak tenteraman dunia? Memang kedengarannya agak janggal, tetapi mengingat bagian akhir prasasti membayangkan bahwa raja Sangkhara itu menjadi penganut agama Buddha dengan memberi anugerah kepada bhiksusanggha, mungkin sekali kejanggalan itu bersumber kepada kekurang pahaman penulis prasasti, yang mungkin sekali seorang pendeta pribumi, akan tata bahasa Sanskerta. Karena raja meninggalkan kebaktian kepada Siwa, kalimatnya dinyatakan dengan kasus ablatif, yang pada umumnya menunjukkan gerakan suatu arah yang lain (dari Siwa ke Buddha). Menurut tata bahasa Sanskerta yang benar, mungkin kalimat di atas harus diterjemahkan dengan ia yang bernama Sangkhara, yang meninggalkan kebaktian kepada yang lain – lain kecuali kepada Siwa. Dengan terjemahan semacam itu harus ditafsirkan bahwa raja Sangkhara lalu menjadi penganut agama Siwa, yang kurang sesuai dengan keterangan pada akhir prasasti yang membayangkan bahwa ia menjadi penganut agama Buddha. Yang menarik perhatian lagi ialah keterangan bahwa raja Sangkhara menyebut gurunya sebagai “guru yang tidak benar (anrtaguru)” |