Sejarah Kerajaan Mataram Kuno |
Kerajaan Mataram Kuno - Halaman 05/ 25 |
Kalau tafsiran itu benar, di sini dijumpai suatu sumber prasasti yang memberikan keterangan tentang perpindahan agama dari agama Siwa ke agama Buddha, dan raja yang berpindah agama itu ialah raja Sangkhara yang hingga kini belum pernah ditemui namanya di dalam sumber – sumber yang telah dikenal sebelumnya. Prasasti ini tidak lengkap hingga tidak diketahui angka tahunnya. Akan tetapi, dari segi paleografi dapat diperkirakan bahwa prasasti ini berasal dari pertengahan abad VIII M. Mungkin sekali ini merupakan bukti epigrafis dari teori Poerbatjaraka yang didasarkan atas keterangan di dalam kitab Carita Parahyangan. Dengan perkataan lain, mungkin sekali pendapat Poerbatjaraka mengenai asal usul wangsa Sailendra benar, yaitu bahwa mereka itu orang Indonesia asli, dan bahwa hanya ada satu wangsa, wangsa Sailendra, yang anggota – anggotanya semula menganut agama Siwa. Akan tetapi, sejak pemerintahan Rakai Panangkaran [[1]] menjadi penganut agama Buddha Mahayana, untuk kemudian pindah lagi menjadi penganut agama Siwa sejak pemerintahan Rakai Pikatan.
2. Ho-ling dan Kanjuruhan Munculnya wangsa Sailendra itu bersamaan dengan perubahan dalam penyebutan Jawa didalam berita – berita Cina. Kalau sebelumnya, yaitu dalam abad V M, berita – berita Cina dari zaman dinasti Sung Awal (420 – 470 M) menyebut Jawa dengan She-p’o, berita – berita Cina dari zaman dinasti Tang (618 – 906 M) menyebut Jawa dengan sebutan Ho-ling sampai tahun 818 M. untuk kemudian berubah lagi menjadi She-p’o mulai tahun 820 M sampai tahun 856 M.[[2]] Seperti telah dikatakan, prasasti Sojomerto itu mungkin sekali berasal dari pertengahan abad VII M, dan berita Cina yang pertama menyebut Ho-ling berasal dari tahun 640 M. Berita – berita dari zaman dinasti Tang ada dua versi, yaitu Ch’iu-T’ang shu dan Hsin T’ang shu (618 – 906 M). Berita tentang Ho-ling antara lain sebagai berikut : Ho-ling yang juga disebut She-p’o. terletak di laut selatan. Di sebelah timurnya terletak P’o-li dan di sebelah baratnya terletak To-p’o-teng. Di sebelah selatannya adalah lautan, sedang di sebelah utaranya terletak Chen-la, [[3]] Tembok kota dibuat dari tonggak – tonggak kayu. Raja tinggal di sebuah bangunan besar bertingkat, beratapkan daun palem (?), dan duduk di atas bangku yang terbuat dari gading. Dipergunakan pula tikar yang terbuat dari kulit bambu. Kalau makan, orang tidak menggunakan sendok atau sumpit, tetapi dengan tangan saja. Penduduknya mengenal tulisan dan sedikit tentang ilmu perbintangan. Ho-ling menghasilkan kulit penyu, emas dan perak, cula badak, dan gading. Kerajaan ini amat makmur; ada sebuah gua (?) yang selalu mengeluarkan air garam (bledug, Jw.). Penduduk membuat minuman keras dari bunga kelapa (atau bunga aren). Bunga pohon ini panjangnya dapat mencapai tiga kaki, dan besarnya sama[1] Disini perlu dikemukakan pendapat bahwa mungkin sekali gelar lengkap dari Rakai Panangkaran ialah Rakai Panangkaran Dyah Sangkhara Sri Sanggaramadhananjaya. [2] Lihat L-C. Damais, “Etudes Sino-Indonesiennes, III La transcription chinois Ho-ling comme designation de Java”, BEFEO, tome LII, hlm. 140 - 141 [3] W.P. Groeneveldt menyalin kalimat ini dengan: it lies on the costern side of Sumatra (=P’o-li), on the western side of Bali (= To-p’o-teng). Semestinya P’oli diidentifikasikan dengan Bali, sedang To-p’o-teng dianggap sebagai suatu tempat di Sumatra. J.L. Moens melokalisasikan To-p’o-teng itu Semenanjung Tanah Melayu. |