Sejarah Kerajaan Mataram Kuno |
Kerajaan Mataram Kuno - Halaman 07 / 25 |
Berdasarkan keterangan mengenai panjangnya bayangan gnomon ditengah musim panas itu orang harus menetapkan letak Ho-ling ada pada 6o8’ LU, jadi tidak mungkin ada di Jawa. Akan tetapi, ada kemungkinan juga bahwa penulis Hsin-T’ang shu itu telah membuat dua kali kekeliruan, yaitu bahwa mestinya waktunya ditengah musim dingin, dan bahwa bayangan gnomon itu jatuh disebelah utaranya. Kalau pembetulan ini diterima, Ho-ling terletak pada 6o8’ LS, [[1]] jadi di pantai utara Jawa. Pemecahan semacam ini sesuai dengan lokalisasi Lang-pi-ya di Desa Krapyak dekat Gunung Lasem. [[2]} L-C Damais mengindentifikasikan Ho-ling dengan Walaing. [[3]] Identifikasi itu mungkin secara fonetis memang dapat dipertanggung jawabkan, tetapi sepanjang yang dapat disimpulkan dari sumber epigrafi, Walaing yang memang sering disebut sebagai nama tempat didalam pelbagai prasasti, [[4]] tidak merupakan pusat kerajaan. Dari prasasti –prasasti diketahui bahwa kerajaan wangsa Sailendra itu disebut Mataram, dan ibu kotanya disebut Medang, sampai ke zaman pemerintahan Pu Sindok. Letak ibu kota Medang memang berpindah – pindah, tetapi tidak pernah ada Medang i Walaing. Desa Medang memang dijumpai mulai dari daerah Bagelen di Jawa Tengah sampai didekat Madiun Jawa Timur, tetapi yang terbanyak ialah antara Purwodadi – Grobogan dan Blora. Lokasi di daerah ini sesuai pula dengan keterangan tentang adanya gua yang selalu mengeluarkan air garam, dan memang di Desa Kuwu di daerah Purwodadi – Grobogan itulah hingga kini masih dijumpai apa yang dalam bahasa daerah disebut bledug, dan orang disitu membuat garam dari bledug itu. Ratu Hsi-mo atau Sima dalam bahasa Indonesia, mungkin pengganti atau salah seorang pengganti Dapunta Selendra. Perlu dicatat disini bahwa pada masa pemerintahan Sima itu Ho-ling telah ada seorang pendeta agama Buddha yang termasyur bernama Yoh-na-p’o-to-lo atau Jnabhadra. [[5]] ia telah membantu seorang pendeta Vina, Hwi-ning (664 – 666 M), dalam menerjemahkan kitab suci agama Buddha dari bahasa Sanskerta ke dalam bahasa Cina. ini berarti bahwa setidak – tidaknya kedua pendeta itu dapat berdiskusi dalam satu bahasa yang mereka kuasai bersama, disamping bahasa Sanskerta, bahasa Cina atau bahasa daerah, yang didalam berita – berita Cina disebut bahasa K’un-lun. Yang mereka terjemahkan ialah Nie-p’an (Nirwana) dari Sang Buddha dan pembakaran jenazahnya. Menurut keterangan I-tsing ternyata naskah ini berbeda dengan naskah Nirwana dari aliran Hinayana. Ini juga ternyata dari keterangan I-tsing yang mengatakan bahwa naskah yang diterjemahkan itu termasuk dalam Ngo-ki-muo (Agama),yang tergolong dalam kitab – kitab sutra yang pertama dari aliran Hinayana. Dari keterangan I-tsing diketahui pula bahwa di pulau – pulau di Laut Selatan,[1] Auguste Barth, “Le Pelerin chinois I-tsing”, hlm. 14, catatan no.1. [2] E.W. van Orsoy de Flines, Hasin, Medang, Kuwu, Langpi-ya”, TBG, LXXXIII, 1949, hlm. 424 – 429. [3] L-C. Damais, BEFFEO, LII, fasc. i, 1964, hlm. 93 – 141. [4] Didalam prasasti mana saja nama Walaing itu ditemukan dapat dilihat dalam karya Damais, “Repertoire Onomastique de l’Epigraphie Javanaise (jyusqu’a Pu Sindok Sri Isanawikrama Dharmmotunggadewa)”, BEFEO, tome LXVI, 1970, s.v. Walaing. [5] E. Chavannes, trans., “Voyages des pelerins bouddhistes: Les religieux eminents qui allerent chercher la loi dans les pays d’Occident, memoir compose a l’epoque de la grand dynastie T’ang par I-tsing”, 1894. |