Sejarah Kerajaan Mataram Kuno |
Kerajaan Mataram Kuno - Halaman 08 / 25 |
termasuk di Ho-ling, hampir semua penduduknya menganut agama Buddha Hinayana terutama dari Mulasarwastiwada.[[1]] Keterangan I-tsing itu bertentangan dengan kenyataan bahwa Dapunta Selendra adalah penganut agama Siwa; dan demikian pula tentunya pengganti – penggantinya sampai dengan Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Dalam masa pemerintahan ratu Sima itu ada ancaman dari raja T-shih, Istilah Ta-shih merupakan transkripsi dari tajika, yang biasa digunakan untuk menyebut orang – orang Arab di India, Timbul pertanyaan apakah yang dimaksudkan dengan raja Ta-shih yang hendak menyerang Ho-ling itu. Mungkinkah di kepulauan Indonesia pada abad VII M itu sudah ada orang – orang Arab (atau yang oleh orang Cina dianggap sebagai orang Arab) yang menetap dan merupakan suatu kelompok masyarakat tersendiri?[[3]] Prasasti Hampran dan prasasti Sangkhara itu berasal dari suatu masa yang bersamaan dengan terjadinya perpindahan ibu kota kerajaan Ho-ling dari She-p;o-tch’eng ke P’o-lu-chia-sse, seperti yang tertera dari berita Cina dari zaman rajakula T’ang. Seperti telah disebutkan, berita Cina itu mengatakan bahwa raja Ho-ling tinggal di kota She-p’o, tetapi nenek moyangnya yang bernama Ki-yen telah memindahkan ibu kotanya ke timur, ke P’o-lu-chia-sse. Karena selanjutnya disebut – sebut ta-tso-kan-hiung, yang oleh Boechari ditafsirkan sebagai “Daksa, saudara / raja / yang gagah berani, [[4]] maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud disini ialah Rakai Watukura Dyah Balitung, yang memerintah antara tahun 899 – 911 M. Masalahnya sekarang siapakah Ki-yen itu, dan apa sebabnya ia memindahkan pusat kerajaannya. Seperti telah dikatakan pemindahan pusat kerajaan itu biasanya terjadi apabila kota itu telah diserbu oleh musuh. Akan tetapi, antara tahun 742 – 755[1] J. Takakusu, Record of the Buddhist Religion as Practised in India and the malay Archipelago (A.D. 671 – 695) by I-tsing, 1966, hlm. 10. Mengenai identifikasi Kún-lun dengan bahasa Melayu, atau bahasa pengantar di kepulauan Indonesia, lihat antara lain G. Ferrand, “Le Kóen-louen, et les anciennes navigations inter – oceaniques dans les mars du sud”, JA. N.C. Serrie, XIII, 1919. Juga Sylvain Levi, “Kóuen-louen et Dvipantara”, BKI, 88, 1931, hlm. 621 – 627. A.H. Chriestie, “The name Kún-lun as an ethnic term”, Comptes Rendus du XXXII’congres International des Orientalis, 1954, N.J. Krom, HJG, 1931, hlm. 109 -110. [2] Moendardjito, Laporan Penelitian Bowongan, 1976. [3] Tentang hal ini lihat W.P. Groeneveldt, Historical Notes, halm. 14. Juga G. Ferrand, JA, 1924, hlm. 242; Tibbets dalam karangannya, “Pre-Islamic Arabia and South-East Asia’, JMBRAS, XXIX, a956, hlm. 122 – 208, sampai kepada kesimpulan bahwa sampai dengan abad VI M orang – orang Arab tidak berlayar lebih ke timur dari pantai barat India. Akan tetapi, dalam abad – abad berikutnya memang ada pedagang – pedagang Arab (Ta-shih) dan Persia (Po-pase) yang sampai ke Cina. Lihat tentang hal ini antara lain G.F. Hourani, Arab Scafaring in tha Indian Ocean in Ancient and Early Medieval Times, 1951, hlm. 62 – 63; 66. [4] Boechari, “Rakryan Mahamantri i Hino Cri Sanggramawijaya Dharmmapra”sado-ttunggadewi,”LKIPN, II 1962, hlm. 54 – 84; Rakryan mahamantri i hino. A Study on the highest court dignitary of Ancient Java up to 13th century A.D., “Journal of the Historical Society”, University of Singapore, 1967 – 68, hlm. 7 – 20. |