Mdang i Bhumi Mataram

beranda

ikon-buku-tamu

kerajaan-mataram-kuno

kumpulan-makalah

kumpulan-artikel

candi-yogyakarta
prambanan
   01 Kabupaten Sleman - 77
   02 Kabupaten Bantul - 7
   03 Kabupaten Gunung Kidul - 6
   04 Kabupaten Kulon Progo - 5
   05 Kota Madya Yogyakarta - 1

candi-jawa-tengah
borobudur
   01 Kabupaten Klaten - 13
   02 Kabupaten Magelang - 79
   03 Kabupaten Boyolali - 10
   04 Kabupaten Temanggung - 23
   05 Kabupaten Semarang - 14
   06 Kabupaten Banyumas - 8
   07 Kabupaten Wonosobo - 5
   08 Kotamadya Semarang - 5
   09 Kabupaten Kendal - 7
   10 Kabupaten Banjarnegara - 6
   11 Kabupaten Batang - 4
   12 Kabupaten Pemalang - 2
   13 Kabupaten Tegal - 2
   14 Kabupaten Brebes - 2
   15 Kabupaten Purwodadi - 1
   16 Kabupaten Kudus - 1
   17 Kabupaten Purworejo - 2
   18 Kabupaten Purbalingga - 1
   19 Kabupaten Kebumen - 2

 relief-borobudur
relief-O-01
01 Relief Karmawibhangga
02-Caca-Jataka-1
02 Relief Jataka

prasasti
ikon-prasasti

video
00-mataram-kuno-1
Aneka Video Medang

jumlah-pengunjung
328734
  Hari ini     :  Hari ini :92
  Kemarin     :  Kemarin :122
  Minggu ini   :  Minggu ini :682
  Bulan ini   :  Bulan ini :1704
  s/d hari ini   :  s/d hari ini :328734
Jumlah Kunjungan Tertinggi
18.02.2025 : 601
Pengunjung Online : 1

kontak-admin
email-kidemang

Sejarah Kerajaan Mataram Kuno
Kerajaan Mataram Kuno - Halaman 10 /25

Jawa Timur. Akan tetapi, mungkin Waru harus dicari di sekitar Rembang, karena memenuhi syarat dekat dengan Krapyak, suatu tempat yang sering dikunjungi raja untuk menikmati pemandangan laut. [[1]]

     Bagaimana kalau ternyata Rakai Watukura Dyah Balitung bertakhta di daerah Prambanan atau Purwodadi – Grobogan (?) Tentulah harus dibayangkan bahwa nenek moyangnya telah memindahkan pusat kerajaan lebih ke timur lagi, mungkin sampai ke Jawa Timur. Dalam hubungan ini perlu dikemukakan bahwa hingga kini para sarjana cenderung untuk menghubungkan berita perpindahan pusat kerajaan Ho-ling ke timur itu dengan munculnya prasasti Dinoyo di daerah Malang yang berangka tahun 682 Saka (21 Nopember 760 M). [[2]]

     Di dalam prasasti Dinoyo itu diperingati pembuatan arca Agastya dari batu hitam dengan bangunan candinya oleh raja Gajayana, sebagai pengganti arca Agastya yang telah dibuat dari kayu cendana oleh nenek moyangnya.
Gajayana adalah anak raja Dewa singha yang telah memerintah kerajaan dibawah naungan api Putikeswara, Setelah Dewasingha mangkat anaknya yang semula bernama Limwa, menggantikan duduk diatas takhta kerajaan Kanjuruhan, dengan nama Gajayana. Ia beranak perempuan yang bernama Uttejana, yang kawin dengan Jananiya. Gajayana memang pemuja Agastya, dan setelah ia melihat arca Sang Maharesi yang dibuat oleh nenek moyangnya dari kayu cendana, ia memerintahkan kepada para pemahat untuk membuat arca batu hitam yang indah dan bersama para pembesar dan rakyat ia memerintahkan pembangunan sebuah candi yang indah untuk para pertapa, para sthapaka, dan rakyat. Pada kesempatan itu raja menganugerahkan sebidang tanah, sapi yang gemuk – gemuk dan sejumlah kerbau, serta budak laki – laki dan perempuan sebagai penjaganya. Demikian pula raja menganugerahkan segala sesuatu untuk keperluan para pendeta, seperti untuk keperluan pemujaan api dan untuk persembahan caru bagi Sang Maharesi, dan untuk keperluan penyucian diri dan sebuah bangunan yang besar dan permai untuk tempat beristirahat para pengunjung, lengkap dengan persediaan padi jelai, tempat tidur, dan pakaian. Dua bait terakhir prasasti ini berisi kutukan bagi mereka yang tidak menjunjung tinggi amanat raja, dan sebaliknya mengharapkan kesejahteraan bagi mereka yang ikut memperbesar jasa dengan memelihara bangunan suci itu beserta segenap kelengkapannya. [[3]]



[1] G. Ferrand pernah mengemukakan pendapat bahwa Pó-lu-chia-sse itu merupakan transkripsi dari Baruyasik, dan mengidentifikasikannya dengan Warus Gresik, yang sekarang masih tertinggal pada nama Gresik di Jawa Timur (Le Kóuen-louen, hlm. 304 catatan no. 3); J.L. Moens, Crivijaya, Yawa en Kataha, hlm. 382 – 386, melokasikan Pó-lu-chia-sse di Barus, disebelah selatan Kedah.

[2] N.J. Krom, HJG, 1931, hlm. 147, R. Ng. Poerbatjaraka : Riwayat Indonesia, I, 1952, hlm. 61 – 66; G. Coedes, The Indianized States of Southeast Asia, 1968 hlm. 90; R. Ng. Poerbatjaraka Agastya in den Archipel, diss, a926, hlm. 109 -110; R.A. Kern. “Jouartan wedergevonden?”, BKI, 102, 1943, 539 – 553, terutama pada hlm. 546, Kern menyangsikan apakah Ki-yen daoat disamakan dengan raja yang mengeluarkan prasasti Dinoyo, karena ia berpendapat bahwa Ki-yenitu bukan raja, hanya seorang pangeran.

[3] F.D.K. Bosch, “De Sanskrit inscriptie op den steen van Dinaja”, TBG, LVII, 1916, hlm. 410 – 444; “Het Lingga – heiligdom van Dinaja”, TBG, LXIV, a924, hlm. 227 – 286; J.G. de casparis, “Nogmaals de Sanskrit – inscriptie op den steen Dinaja, TKNAG, LXXXI, 1941, hlm. 499 – 513; F.D.K. Bosch, De Sanskrit – inscriptie op steen van Dinaja”; OV, 1923, hlm. 29 – 35.

 

 penutup

  • < 09 Kerajaan Mataram Kuno - Halaman 09
  • 11 Kerajaan Mataram Kuno - Halaman 11 >

Mdang i Bhumi Mataram, Dibuat oleh: Ki Demang Sokowaten About - Privacy