Sejarah Kerajaan Mataram Kuno |
Kerajaan Mataram Kuno - Halaman 16 /25 |
Trgramwya, [[1]] oleh orang yang bernama Bhanu demi kebaktian terhadap Isa, dengan persetujuan dari sang Siddhadewi. [[2]] Menurut de Casparis, Bhanu itu seorang raja dari wangsa Sailendra, mengingat bahwa didalam prasasti Ligor B ada nama raja Wisnu, dan didalam prasasti Kelurak ada nama raja Indra. [[3]] Ia berpendapat bahwa Bhanu itu tentu penganut agama Buddha, karena Isa merupakan nama lain dari sang Buddha. Akan tetapi, pendapat itu kurang meyakinkan karena didalam prasasti Hampran itu Bhanu tidak memakai gelar kerajaan. Bahwa Isa merupakan nama lain dari Buddha tidak dapat dibuktikan; istilah itu biasanya dipakai untuk menyebut Siwa. [[4]] Ditinjau dari segi palaeografi mungkin prasasti Sangkhara harus diletakkan antara prasasti Canggal dan prasasti Hampran, atau segera sesudah prasasti Hampran. Seperti telah disinggung sebelumnya, prasasti ini berisi keterangan bahwa raja Sangkhara telah meninggalkan kebaktian yang lain – lain, juga terhadap Siwa, setelah ia merasa takut kepada gurunya yang tidak benar (anrtagurubhayas) yang rupa – rupanya dianggap telah membuat ayahnya sakit dan wafat. Didalam bait sebelumnya dikatakan bahwa ayahnya itu telah berjanji untuk melaksanakan apa yang dikatakan oleh sang guru, karena ia memang mau taat kepadanya. Raja Sangkhara kemudian membangun sebuah prasada yang indah, karena ingat akan janjinya sendiri. Dalam bait terakhir ada pujian terhadap bhiksusanggha. Pujian inilah yang memberi bayangan bahwa raja Sangkhara itu lalu menjadi penganut agama Buddha. Lebih – lebih mengingat keterangan dari seorang kolektor di Solo yang mengatakan bahwa prasasti itu berasal dari suatu tempat yang masih ada sisa – sisa bangunannya yang berlandaskan agama Buddha, sekalipun mungkin bangunan itu tidak terlalu besar, dan terbuat dari bata.[[5]]
4. Rakai Panangkaran dan pengganti – penggantinya. Dari uraian diatas dapatlah digambarkan bahwa Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya telah membangun kembali kerajaan setelah raja Sanna gugur dalam[1] Poerbatjaraka mengusulkan pembetulan pembacaan nama Trigosti (trigramuryamahitam diganti dengan trigostyasahitam), dan mengidentifikasikan tempat ini dengan Salatiga, berdasarkan tafsiran bahwa sinonim trigosti isalah trisala. Trisala ini dalam kaidah bahasa Indonesia menjadi Salatiga. Aksan tetapi, menurut pengamatan Boechari atas cetakan kertas maupun pada batu aslinya pembacaan trigramuryamahitam itu tidak perlu diragukan. [2] J.G. de Casparis menafsirkan Siddhadewi itu dengan de volmaakte vorstin; dalam pikirannya terbayang seorang ratu, meskipun ia tidak berani berspekulasi lebih jauh mengenai tokoh itu. Mengingat kata anumatan yang berhubungan dengan Siddhadewi ini mungkin sekali yang dimaksudkan dengan kata itu bukanlah seorang ratu melainkan seorang dewa perempuan. Atau, barangkali seorang ratu yang telah meninggal? Mengingat bahwa ada juga istilah sang siddha dewata untuk menyebut seorang yang telah meninggal dan telah diperdewakan. [3] Mengenai nama Indra didalam prasasti Kelurak itu kemudian de Casparis meralatnya. Berdasarkan pengamatan lebih lanjut, pembacaan dharanindranamma harus dibetulkan menjadi dharanindarena (de Casparis, “New evidence..”, hlm. 241 – 248). Jadi, didalam prasasti Kelurak itu tidak ada nama Indra. [4] L-C Damais, “Bibliographie Indonesienne, XI Les publications epigraphique du Service Archeologiqu de lÍndonesie”, BEFEO, tome LIV, 1968, hlm. 295 – 521, terutama hlm. 308 – 315. [5] Bahwa bangunan terbuat dari bata tidak harus perlu ditafsirkan sebagai bangunan yang tidak dibangun oleh raja. Candi Banon yang juga terbuat dari bata, tetapi arca – arcanya terbuat dari batu dalam ukuran yang besar, dan pahatannya memang indah, sehingga tidak mungkin kiranya candi Banon itu dibangun oleh raja bawahan. |