Sejarah Kerajaan Mataram Kuno |
Kerajaan Mataram Kuno - Halaman 18 /25 |
lama, lalu berpindah agama dan mengambil seorang guru baru yang menganut agama Buddha, dan berasal dari India Utara atau Sri Lanka. Didalam prasasti Kelurak memang disebutkan adanya seorang guru di Gaudidwipa yang telah memimpin upacara pentahbisan arca Manjusri (di candi Sewu). Gaudi atau Gauda ada di Benggala. [[1]] Didalam prasasti Abhayaguruwihara disebutkan adanya hubungan dengan Sri Lanka. [[2]] Penggunaan huruf siddham itu hingga kini diketahui hanya terbatas pada keempat prasasti itu, dan kemudian didapatkan pula meterai – meterai tanah liat yang berisi mantra – mantra agama Buddha (formula ye-te), baik di Jawa Timur (Banyuwangi), Bali (Pejeng, Tampaksiring, Buleleng), dan Sumatra (Palembang). [[3]] Ada juga prasasti di Bali yang menggunakan huruf siddham,tetapi berbahasa Bali Kuno, yaitu prasasti dari Sanur dari tahun 835 Saka (914 M). Anehnya bagian prasasti ini yang berbahasa Sanskerta menggunakan huruf Kawi atau Jawa Kuno. [[4]] Di Jawa Timur huruf siddham muncul dalam abad XIII M pada bagian belakang arca Amoghapasa dari perunggu yang merupakan replika dari arca Amoghapasa dari Padang Roco dekat Sungai Langsat, dan pada sandaran arca – arca dari candi Jago dan candi Singasari. [[5]] Didalam prasasti Kelurak itu Sang Permata wangsa Sailendra juga disebut Sri Warawiramardana, yang berarti pembunuh musuh – musuh yang gagah perwira. Gelar ini juga dijumpai didalam prasasti Ligor B yang terdapat dipantai barat Semenanjung Tanah Melayu dipahatkan pada bagian belakang prasasti raja Sriwijaya yang tidak disebut namanya, yang biasanya disebut prasasti Ligor A, dan berangka tahun 775 M. Prasasti Ligor B, sekalipun mulai dengan kata swasti, yang didalam prasasti – prasasti Jawa Kuno biasanya mengawali angka tahun, ternyata tidak bertarikh. Prasasti ini ternyata juga hanya berisi 4 baris tulisan yang merupakan bait prasasti berbahasa Sanskerta, dan setengah baris yang merupakan permulaan bait kedua. Disini disebut nama raja Wisnu, pembunuh musuh – musuh yang sombong tiada bersisa, dan karena ia keturunan wangsa Sailendra, ia bergelar Sri Maharaja. [[6]] Mungkin bait kedua dan selanjutnya akan menyebut anak cucunya sampai raja yang menulis prasasti ini. [[7]] Juga didalam prasasti Nalanda dari raja Dewapaladewa, yang berasal dari kira – kira pertengahan abad IX M, dijumpai nama ini. Didalam prasasti iniia disebut sebagai kakek raja Balaputradewa, dengan sebutan Raja Jawa, permata wangsa Sailendra, Sri Wirawairimathana. Ia mempunyai anak bernama Samaragrawira yang kawin dengan Tara, anak raja Dharmasetu dari Somawangsa.[1] F.D.K. Bosch, TBG, LVIII, 1928, hlm. 30. [2] J.G. de Casparis, “New evidence ...”, AA, XXIV, 1961, hlm. 241 – 248. [3] Mengenai isi mantra – mantra yang tertera pada materiai – materiai di Bali itu lihat W.F. Stutterheim, Oudheden van Bali, I dan II, 1930. Lihat juga Putu Budiastra dan Wayan Widia, Stupika tanah liat koleksi Museum Bali, 1977 / 1978. [4] L-C. Damais, “La Colonnette de Sanur, Etudes Balinais I”, BEFEO, tome XLIV, 1952, hlm. 121 – 128. [5] J.G. de Casparis, Indonesian Palaeography, 1975, hlm. 35 – 37, 60 -62. [6] G. Coedes, “Le Royaume de Criwijaya”, BEFEO, tome XVIII, 1918, hlm. 17 – 31; F.D.K. Bosch, “De inscriptie van Ligor”, TBG, LXXXI, 1941, hlm. 26 – 33; B. Ch. Chhabra, Expansion, hlm. 22 – 24. Transkripsi dan terjemahan prasasti dimuat juga didalam K.A. Nilakanta Sastri, History of Sriwijaya, hlm. 125; G. Coerdes, “Le Sailendra, tueur des heros ennemies”, Bingkisan Budi, 1950, hlm. 58 – 70. [7] Boechari pernah mengemukakan dugaan bahwa prasasti Ligor B itu ditulis oleh Balaputradewa, Raja Sriwijaya keturunan Sailendra, yang memerintah Sriwijaya pada pertengahan abag IX M (“Report in research on Sriwijaya:, Country Report SPAFA Workshop on Sriwijaya). March 1979, note 6, hlm. 6 Appendix 31. |