Sejarah Kerajaan Mataram Kuno |
Kerajaan Mataram Kuno - Halaman 19 / 25 |
Dari perkawinan ini lahirlah raja Balaputradewa, raja Sriwijaya, penganut agama Buddha, yang telah mendirikan biara di Nalanda, dan minta kepada raja Dewa Paladewa untuk memberikan tanah – tanahnya sebagai sima bagi biara tersebut. [[1]] Tentulah disini dihadapkan dengan satu tokoh yang sama yang disebut Permata wangsa Sailendra. Pembunuh musuh – musuh yang sombong, atau pembunuh musuh – musuh yang gagah perwira. Berdasarkan prasasti Kelurak, tokoh ini dapat diidentifikasikan dengan Rakai Panangkaran yang disebut didalam prasasti Kalasan dan Ratu Baka dengan sebutan Tejahpurnnapanna Panamkarana. [[2]] Menurut prasasti Nalanda, Rakai Panangkaran beranak Samaragrawira, yang dapat kiranya disamakan dengan Samaratungga didalam prasasti Kayumwungan yang berangka tahun 746 Saka (26 Mei 824 M). [[3]] Prasasti Kayumwungan itu ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Sanskerta dan bahasa Jawa Kuno. Bagian yang berbahasa Sanskerta berisiketerangan tentang raja Samaratungga, Permata wangsa Sailendra, dan anaknya perempuan yang bernama Pramodawarddhani. Putri ini telah mendirikan sebuah bangunan suci agama Buddha dengan nama Srimad Wenuwana dan mentahbiskan arca Sri Ghananatha didalamnya, pada hari Kamis Legi, paringkelan Tunglai, tanggal 26 Mei tahun 824 M. Bagian yang berbahasa Jawa Kuno menyebutkan Rakarayan Patapan pu Palar suami istri, yang pada hari bulan yang sama memberikan tanah sawah di Waluang, di Babadan, yang masuk wilayah /.../ [[4]] di Kisir yang masuk wilayah Kayumwungan, di santwi Karung yang masuk wilayah Petir, di Kaliru /nga/ n dan Kuling yang masuk Tri Haji, seluruh sawah yang memerlukan benih sebanyak 16,5 amet padi, sebagai sima bagi bangunan suci tersebut. Penetapan sima itu terdapat di daerah Parakan – Temanggung. Menurut J.G. de Casparis prasasti ini memperingati pembangunan candi Borobudur, Pawon, dan Mendut oleh Samaratungga dan Pramodawarddhani. [[5]] Akan tetapi, pendapat ini kurang meyakinkan, dan memang berdasarkan suatu salah pengertian. Menurut de Casparis Wenuwana ialah tempat Sang Buddha pertama kali memberikan ajarannya, dan ia melihat adegan ajaran pertama itu dipahatkan dibawah arca induk candi Mendut berupa dharmmacakra yang diapit oleh dua ekor kijang. Dari lukisan ini saja semestinya ia ingat bahwa tempat Sang Buddha pertama kali membeberkan ajarannya itu ialah Mrgadawa atau Taman Kijang, dan bukan Wenuwana. Poerbatjaraka, dalam kesempatan menyanggah disertasi de Casparis itu, mengemukakan pendapat bahwa Wenuwana itu harus diidentifikasikan dengan candi[1] Hirananda Shastri, Epigraphia Indica, 17 No. 17, 1924, hlm. 310 – 327; J. Conda. Twenty five Sanskrit inscriptions, 1948, F.DK. Bosch, Ëen oorkonde van het grote klooster te Nalanda, TBG, LXV, 1925, hlm. 509 – 588. [2] Didalam karangannya tersebut Bosch (1925) sudah sampai kepada kesimpulan ini, sekalipun masih agak ragu – ragu. Akan tetapi, kemudian pendapatnya itu diubahnya (“Criwijaya, de Cailendra-en Sanjayawamca”. Lihatlah silsilah yang tertera pada hlm. 123). Dengan ini diharapkan bahwa nama Dyah Pancapanna Panamkarana, yang masih sering dijumpai didalam buku – buku pelajaran Sejarah Indonesia, tidak dipakai lagi. [3] J.G. de Casparis, Prasasti Indoneia I, hlm. 24 – 50. [4] De Casparis membaca kalimat ini mawaih sima arikiwa luang ing babadan imah ri ... Nama tempat yang terakhir itu tidak terbaca. Lihat P.J. Zoetmulder, “”boekbesspreking: Himansu Bhusan Sarkar, Corpus of the Inscriptions of Java, 2 vols, 1972, BKJ, 132, 1976, hlm. 188 – 192. [5] J.G. de Casparis, Prasasti Indonesia I. |