Sejarah Kerajaan Mataram Kuno |
Kerajaan Mataram Kuno - Halaman 20 / 25 |
Ngawen, berdasarkan alasan bahwa kata ngawen itu berasal dari kata ka-awian, yang berarti tempat bambu, atau tempat yang banyak bambunya, yang lebih sesuai dengan pengertian Wenuwana. [[1]] Memang candi ini cukup jauh letaknya dari Parakan – Temanggung, tetapi pada prinsipnya tidak perlu keberatan, karena tanah sima dapat saja jauh letaknya dari candinya; sima yang demikian itu biasa disebut angsa. Akan tetapi, kalau prasasti Kayumwungan itu dibaca dengan seksama, Srimad Wenuwana itu harus dicari didaerah Parakan – Temanggung juga, karena disitu dikatakanbahwa candi itu dibangun didesa ini (iha grame). Sayang hingga sekarang tidak ditemukan sisa – sisa bangunan agama Buddha yang pantas diidentifikasikan dengan candi dalam prasasti itu didaerah ini Yang menarik perhatian ialah bahwa prasasti ini terdiri atas dua bagian dan ditulis dalam dua bahasa. Bagaimana hubungan antara Samaratungga dengan Rakarayan Patapan pu Palar? Mungkinkah Rakarayan Patapan pu Palar itu seorang anggota wangsa Sailendra yang tetap menganut agama Siwa, dan berfungsi sebagai kepala daerah dengan memperoleh daerah Patapan sebagai lungguhnya? pada waktu kerabatnya yang berkuasa sebagai maharaja membangun candi Buddha didaerahnya, ia menyumbangkan tanah – tanah untuk dijadikan sima bagi bangunan suci itu. Inilah kiranya jawaban yang paling dapat diterima atas pertanyaan tersebut. Rakai Patapan sendiri ada juga membangun bangunan suci diwilayah kekuasaannya. Hal ini dapat dilihat dari prasasti Sang Hyang Wintang (Gondosuli I), yang berbahasa Melayu Kuno. Prasasti ini ditulis diatas batu alam yang besar, terdapat di Desa Gondosuli, didekat sisa – sisa bangunan candi beragama Siwa. Sayang sekali tidak ada angka tahunnya. Didalam prasasti itu diperingati pembangunan candi yang disebut dengan istilah sang hyang haji disebelah utara prasada yang bernama Sang Hyang Wintang. Memang sekitar dua kilometer dari desa Gondosuli itu ada sisa – sisa bangunan lagi dari batu yang berlandaskan agama Siwa. Pentahbisan bangunan suci itu dipimpin oleh seorang Sthapaka yang putus dalam ilmunya, bernama Dang Karayan Siwarjita. Untuk bangunan itu disediakan pula tanah – tanah sima-nya, yaitu di Tanah Bunga, di Pragaluh, di Pamandyan, di Tiru Ayun, di Wunut, di Pawijahhan, di Kayu Ara Mandir, di Wangun Waharu, di Mundu, di Kakalyan, dan di Tarukan, seluruhnya memerlukan benih sebanyak 41 lattir(?). [[2]] Yang menarik perhatian disini adalah bahwa prasasti ini mulai dengan menyebut ibu dari Rakrayan Partapan dan istrinya, saudara – saudaranya, dan yang teramat menarik adalah nama paman Dang Karatan Partapan, yaitu Wisnurata. Mungkinkah Wisnu ini sama dengan Wisnu dalam prasasti Ligor B, permata wangsa Sailendra yang juga disebut pembunuh musuh – musuh yang sombong tiada bersisa, alias Rakai Panangkaran? Kalau tambahan rata ditafsirkan sebagai kata Sanskerta, mungkin sekali ia kependekan dari kata uparata yang dapat berari telah meninggal. Dengan perkataan lain, pada waktu Rakai Patapan pu Palar mengeluarkan prasasti Gondosuli itu pamannya, Wisnu atau Rakai Panangkaran – dalam hal ini mungkin[1] Lihat juga L-C. Damais, “Bibliographie Indonesienne, LL, BEFEO, tome XLVIII, 1957, hlm. 607 -649. [2] J.G. de Casparis, Prasasti Indonesia I, hlm. 50 – 73. |