Sejarah Kerajaan Mataram Kuno |
Kerajaan Mataram Kuno - Halaman 21 / 25 |
ibunya adalah adik Rakai Panangkaran – yang masih setia kepada agama Siwa. Jadi, ia saudara sepupu Samaratungga. [[1]] Ada lagi seorang Rakai Patapan dengan nama Pu Manuku, yaitu didalam prasasti Munduan tahun 728 Saka (21 Januari 807 M) dan didalam prasasti Tulang Air tahun Saka (15 Juni 850 M). Didalam prasasti Munduan itu Rakai Patapan pu Manuku membatasi tanah – tanah di Munduan dan Haji Huma, untuk dianugerahkan kepada hambanya yang bernama Sang Patoran, dengan diberi kewajiban untuk menggembalakan kambing bernama sang Madmak. Ia lalu membuat perumahan ditempat ketinggian di tanah – tanah tersebut. Oleh karena itu, perumahan itu dinamakan Walawindu. Selanjutnya daerah itu dibebaskan dari kewajiban membayar pajak jual beli, dan semua denda – denda atas semua pelanggaran hukum didaerah itu tidak perlu dibayarkan kepada Rakai Parapan. Ketentuan itu berlaku bagi SangPatoran dan mereka yang tinggal di Walawindu (sebagai gembala kambing). Penetapan sima itu disaksikan oleh semua patih diwilayah Patapan, yaitu dari Kayumwungan dan Mantyasih, dan pejabat – pejabat dari Air Warungan, Petir, Pandakyan, dan pejabat Desa Munduan dan Haji Huma. [[2]] Prasasti Tulang air yang didapatkan kembali sebanyak dua prasasti diatas batu yang cukup besar, berasal dari dekat candi perot, didaerah Temanggung. Kedua batu berisi naskah yang sama; sayang sekali yang satu keadaannya cukup parah karena aus. Prasasti kedua cukup baik, hanya ada bagian – bagian yang aus ditengah bawahnya. [[3]] Isinya keterangan tentang penetapan Sima didesa Tulang Air oleh Rakai Patapan pu Manuku pada hari Minggu Pahing, paringkelan Tunglai, hari bulan 15 Juni 850 M. Pada waktu itu yang menjadi raja adalah Rakai Pikatan. Disusul kemudian dengan daftar para pejabat tinggi kerajaan, para pembantu mereka yang hadir pada penetapan sima, para pejabat daerah dan pejabat desa yang bertindak sebagai saksi. Struktur prasasti semacam itu dijumpai pada prasasti Wanua Tengah tahun 785 Saka (10 Juni 863 M), yang menetapkan sima ialah Rakai Pikatan pu Manuku, sedang yang menjadi raja ialah Rakarayan Kayuwangi pu Lokapala. Mengingat persamaan struktur itu, dan kenyataan bahwa didalam daftar raja = raja Mataram yang terdapat didalam prasasti Mantyasih, Rakai Kayuwangi disebut setelah Rakai Pikatan, dan Rakai Pikatan sesudah Rakai Garung, de Casparis mengidentifikasikan Rakai Patapan pu Palar dengan Rakai Garung. [[4]][1] Dibelakang nama Wisnurata itu terdapat keterangan sarabhara di nayaka watak wunut, yang oleh de Casparis diterjemahkan dengan hij is belast met de functie van nayaka over het ressort Bunut. Terjemahan ini tidak mengikuti kaidah; untuk memperoleh terjemahan semacam itu diharapkan kalimat Melayu Kunonya berbunyi sarabhara/ ... / nayaka di watak wunut. Kata sarabhara dapat berarti penuh kekuatan, tetapi juga “minta bantuan”. Karena ada bagian kalimat yang berbunyi di nayaka watak wunut, rasanya lebih tepat kalimat itu diterjemahkan dengan: (Pada suatu ketika ia) meminta bantuan kepada nayaka di wilayah Wunut. Pada peristiwa apa Wisnurata itu minta bantuan kepada nayaka di wilayah Wunut itu tidak ada sumber yang menerangkan. [2] Moh. Oemar, “Prasasti Munduan”, Makalah pada seminar Sejarah Nasional II,Yogyakarta, 1970. [3] OJO, V dan VI; J.G. de Casparis, Prasasti Indonesia II, hlm. 211 – 243. [4] Prasasti Indonesia I, 1950, hlm. 124 – 126. Memang ini merupakan kesimpulan yang logis. Akan tetapi, harus dicari contoh – contoh perubahan gelar rakai yang dapat cukup meyakinkan. Selama ini perubahan gelar rakai itu terbatas pada para pejabat tinggi kerajaan dan para pangeran, misalnya rakai wka naik menjadi rakai halu atau sekali dijumpai dalam zaman Dharmmawangsa Airlangga seorang Rakai Pangkaja naik menjadi Rakai Halu, tetapi ini memang anugerah raja kepada adiknya, yang memang ada hak untuk menyandang gelar halu, Selama ini perubahan gelar rakai yang menyangkut pergantian daerah lungguh sebagai penguasa daerah biasa (bukan pejabat tinggi kerajaan di pusat) belum pernah dijumpai. Dalam hal ini alasan de Casparis adalah bahwa disalah satu prasasti pernah disebutkan wihara i garung, dan mungkin karena amat terkenalnya biara di Garung itu, daerah Garung juga disebut Patapan (=pertapaan) (Prasasti Indonesia I, hlm. 125). Sampai sekarang ada kota kecamatan yang bernama Garung di lereng barat Gunung Sindoro, disebelah utara Wonosobo. Dari nama – nama tempat di pelbagai prasasti diperoleh kesan bahwa Patapan harus dicari di sebelah timur Gunung Sindoro dan Sumbing. |