Sejarah Kerajaan Mataram Kuno |
Kerajaan Mataram Kuno - Halaman 22 / 25 |
Identifikasi ini memang sulit dibuktikan secara meyakinkan, kecuali kalau pada suatu ketika dijumpai nama Rakai Garung pu Palar sezaman dengan Rakai Patapan pu Palar. Bahwa nama Rakai Patapan itu berubah lebih mudah menerangkannya. De Casparis mengemukakan pendapat bahwa nama Pu Manuku itu dipakai oleh orang – orang yang telah mengundurkan diri dari pemerintahan, seperti Rakai Patapan dan Rakai Pikatan. Masih dapat ditambah lagi dengan Rakarayan Kalangbungkal Dyah Manuku didalam prasasti Kasugihan tahun 829 Saka (8 Nopember 907 M), yang mungkin dapat diidentifikasikan dengan Rakai Watuhumalang yang sudah mengundurkan diri dari pemerintahan. [[1]] Akan tetapi, dengan munculnya Rakai Patapan pu Manuku didalam prasasti Munduan tahun 807 M, keterangan itu menjadi kurang meyakinkan. [[2]] Rakarayan i Garung sendiri pernah juga mengeluarkan prasasti, yaitu prasasti Garung tahun 741 Saka (21 Maret 819 M). Didalam prasasti ini ia tidak memakai gelar sri maharaja. Akan tetapi, disitu dikatakan bahwa perintahnya diturunkan kepada Sang Pamgat Amrati pu Mananggungi, agar daerah Mamrati dibebaskan dari beberapa jenis pungutan. [[3]] Jadi, kalaupun dia bukan seorang raja, sekurang – kurangnya ia seorang penguasa daerah yang otonom. Dengan dimuatnya nama Rakai Garung dalam deretan nama raja – raja yang pernah memerintah di Mataram, dapatlah disimpulkan bahwa ia adalah anggota wangsa Sailendra yang tetap menganut agama Siwa, dan menjabat penguasa daerah dengan kekuasaan swatantra, pada waktu Samaratungga berkuasa. Tinggal sekarang masalah Rakai Panunggalan dan Rakai Warak. Mengenai dua tokoh ini tidak ada sumber lain yang dapat memberi keterangan, kecuali dari prasasti Mantyasih dan Wanua Tengah III yang berangka tahun 830 Saka (908 M). [[4]] Prasasti Wanua Tengah yang juga dikeluarkan oleh Rakai Watukura Dyah Balitung seperti halnya prasasti Mantyasih memuat daftar nama – nama raja Mataram Kuno. Nama – nama raja yang disebutkan dalam kedua prasasti tidak sama. Jika dalam prasasti[1] Boechari pernah menyokong pendapat itu dengan mengatakan bahwa mungkin kata manuku, yang didalam kamus Jawa Kuno diartikan menyerang dapat juga dianggap mengandung arti yang sama dengan manungku (puja) atau manekung dalam bahasa Jawa sekarang, yang berarti mengheningkan cipta, bersemedi, dan lain – lain (Boechari, “Prof. Dr. R.M. Ng. Poerbatjaraka. Ahli Epigrafi perintis bangsa Indoneisa”, MISI, djilid II, no. 2, 1964, hlm. 124, catatan no. 4). [2] Meskipun demikian, untuk sementara identifikasi Rakai Patapan pu Palar dengan Rakai Patapan pu Manuku dapat diterima. Bagian nama itu, yaitu garbhajanmanama, dapat berubah – ubah sesuai dengan perubahan kegiatan dari orang yang memakainya. Dapat saja Rakai Patapan pada tahun 807 M memakai nama Pu Palar karena sedang . baru menyerang musuh, sedang pada tingkat terakhir hidupnya ia memakai nama Pu Manuku dalam pengertian bersemedi, yaitu setelah ia mengundurkan diri dari segala kegiatan keduniawian. [3] R. Ng. Poerbatjaraka, “Trascripties van koperen platen”, OV, 1920, hlm. 136; R. Goris, “De Oude Javaansche inscriptie uit het Sri-Wedari museum te Soerakarta”, OV, 1928, hlm. 65. [4] Prasasti ini belum diterbitkan, akan tetapi pernah dibaca oleh Kusen dan Boechari pada tahun 1983 ketika prasasti ditemukan. |