Sejarah Kerajaan Mataram Kuno |
Kerajaan Mataram Kuno - Halaman 23 / 25 |
Mantyasih, daftar tersebut hanya menyebutkan urutan nama – nama raja yang memerintah di Medang (rahyang ta rumuhun ri mdang ri poh pitu) dan gelar mereka saja, dalam prasasti Wanua Tengah III selain nama – nama mereka juga memuat kapan raja – raja tersebut naik takhta. Selain itu, nama – nama raja yang disebut lebih banyak jumlahnya dari yang disebut dalam prasasti Mantyasih, juga ada nama raja yang berbeda seperti Rakai Panunggalan yang disebut dalam prasasti Mantyasih setelah Rakai Panangkaran dan sebelum Rakai Warak, dalam prasasti Wanua Tengah III nama itu tidak ada dan sebagai gantinya ada tokoh yang disebut Rake Panaraban (784 – 803 M). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Rakai Panunggalan sama dengan Rakai Panaraban. Sri Maharaja Watuhumalang dalam prasasti Mantyasih disebut sebagai Rake Wungkalhumalang dyah jbang dalam prasasti Wanua Tengah III. Mengingat kata watu sinonim dengan wungkal, dipastikan bahwa Rake Wungkalhumalang dyah Jbang adalah Watuhumalang (894 – 898 M). Sementara itu, Sri Maharaja Rakai Warak dalam prasasti Mantyasih, dalam prasasti Wanua Tengah III disebut Rake Warak Dyah Manara. Setelah meninggal ia dipusarakan di Kelasa (san lumah i kelasa). Ada empat raja yang tidak disebutkan dalam prasasti Mantyasih, yaitu Dyah Gula (5 Agustus 827 – 24 Januari 828 M), Dyah Tagwas (5 Pebruari – 27 September 885 M), Rake Panumwangan Dyah Dawendra (27 September 885 – 27 Januari 887 M), dan Rakai Gurunwangi Dyah Badra yang hanya menjadi raja selama 28 hari sebelum melarikan diri dari keratonnya. Menurut Kusen perbedaan daftar nama – nama raja dalam prasasti Mantyasih dan Wanua Tengah III disebabkan oleh perbedaan latar belakang dikeluarkannya prasasti. Prasasti Mantyasih diterbitkan dalam rangka melegitimasikan dirinya sebagai pewaris takhta yang sah, sehingga yang disebutkan hanya raja – raja yang berdaulat penuh atas seluruh wilayah kerajaan. Dyah Gula, Dyah Tagwas, Dyah Dewandra, dan Dyah Badra tidak dimasukkan dalam daftar karena mereka tidak pernah berdaulat penuh diwilayah kerajaan Mataram Kuno. Hal ini terlihat dari singkatnya masa pemerintahan mereka karena digulingkan dari takhta. Prasasti Wanua Tengah III dikeluarkan sehubungan dengan perubahan – perubahan status sawah sebagai sima di Wanua Tengah, sehingga semua penguasa yang mempunyai sangkut paut dengan perubahan status sawah disebutkan. Nama Sanjaya sebagai cikal bakal kerajaan Mataram Kuno pun tidak disebutkan karena status sawah di Wanua Tengah III sebagai sima baru dimulai pada masa pemerintahan Rake Panangkaran. [[1]] Kembali kepada prasasti Mantyasih, mungkin gelar sri maharaja yang diberikan kepada Rakai Panunggalan dan Rakai Warak itu agak berlebihan; sebab dalam kenyataannya yang mengeluarkan prasasti dengan gelar maharaja adalah anggota wangsa Sailendra yang beragama Buddha. Dapatlah diperkirakan bahwa sejak Rakai Panangkaran berpindah agama ke agama Buddha Mahayana dengan mendatangkan guru dari India atau Sri Lanka, ia berkuasa sebagai maharaja dengan mendirikan bangunan – bangunan suci kerajaan, seperti candi Plaosan, Sewu, danBorobudur. Sementara itu, anggota wangsa Sailendra yang lain yang tetap menganut agama Siwa berkuasa sebagai kepala – kepala daerah atau raja – raja kecil dengan daerah[1] Lihat Kusen, “Raja raja Mataram Kuno dari Sanjaya sampai Balitung, sebuah rekonstruksi berdasarkan Prasasti Wanua Tengah III”, Berkala Arkeologi, Tahun XIV, Edisi Khusus 1994, hlm. 92. |