Sejarah Kerajaan Mataram Kuno |
Kerajaan Mataram Kuno - Halaman 24 / 25 |
kekuasaan masing – masing secara otonom. Seperti dalam prasasti Sang Hyang Wintang, Rakai Patapan pu Palar menyebut daerah kekuasaannya dengan yang rajya diraksa iya sabanakna yang desa itas tatah purwwa daksina pascima uttara itas tatah, tetapi nama – nama desa didalam prasasti itu dan didalam prasasti Kayumwungan, wilayah kekuasaan Rakai Patapan itu memang terbatas. Demikian pula halnya dengan Rakai Panunggalan dan Rakai Warak. [[1]] Jadi, dalam sejarah kerajaan Mataram tidak pernah ada dua wangsa, yang satu asli Indonesia beragama Siwa, yang selama ini disebut Sanjayawangsa, yang lain berasal dari luar Indonesia dan beragama Buddha, yang selama ini disebut Sailendrawangsa, melainkan hanya satu wangsa, yaitu wangsa Sailendra, yang anggota – anggotanya ada yang beragama Siwa dan ada yang beragama Buddha Mahayana. Dapunta Selendra, pendiri wangsa ini, sampai kepada raja Sankhara menganut agama Siwa, lalu Rakai Panangkaran berpindah ke agama Buddha Mahayana karena takut akan guru ayahnya yang dianggapnya tidak benar (anrta). Disinilah lalu timbul dua cabang dari wangsa ini. Sebagian masih tetap menganut agama Siwa, seperti Rakai Panunggalan, Rakai Warak, dan Rakai Garung, dan mungkin dalam deretan anggota wangsa Sailendra yang tetap menganut agama Siwa ini dapat dimasukkan Bhanu dan Rakai Patapan. Rakai Panangkaran yang berpindah agama ke Buddha Mahayana memerintah sebagai Maharaja cukup lama, sekurang – kurangnya sejak kira – kira tahun 750 sampai sekitar tahun 792 M. Ia digantikan oleh Samaratungga, yang mempunyai anak sekurang – kurangnya dua orang. Yang kedua, mungkin dari permaisuri, ialah Balaputradewa. Mungkin Rakai Patapan pu Palar, sekalipun ia membantu memberikan tanah – tanah sebagai sima bagi pembangunan candi oleh Samaratungga dan anaknya, berambisi untuk menjadi maharaja. Dalam hal ini rupa – rupanya lalu diadakan perkawinan antar keluarga, yaitu Pramodawarddhani, putri mahkota, dikawinkan dengan Rakai Pikatan, anak Rakai Patapan pu Palar, yang tetap menganut agama Siwa. Setelah Samaratungga meninggal atau mengundurkan diri dari pemerintahan, Rakai Pikatan menggantikannya sebagai maharaja di Medang. Karena ia menganut agama Siwa, ia memerintahkan membangun candi kerajaan yang lain yang berlandaskan agama Siwa, yaitu Loro Jonggrang di Prambanan. Ini diketahui dari prasasti Siwagerha tahun 778 Saka (12 Nopember 856 M). [[2]] Kemudian untuk menunjukkan bahwa ia tidak ingin sama sekali mengabaikan candi kerajaan yang dibangun oleh Rakai Panangkaran, yaitu candi Plaosan Lor, dan mungkin juga untuk[1] Suwadji Syafei pernah mengemukakan pendapat bahwa mungkin sekali Jayawarman II dari Kamboja dapat diidentifikasikan dengan Rakai Panunggalan (Suwadji Syafei, “What historical relay=tions were there between Cambodia and Indonesia from the eight to the ninth century”, Majalah Aekeologi, Th. I no. 1, 1977, hlm. 31 – 41). Pendapat ini kurang meyakinkan karena Rakai Panunggalan didalam prasasti Mantyasih disebut diantara rahyang ta rumuhun ri mdang ri poh pitu = yang diperdewakan dahulu di Medang di Poh Pitu; dengan perkataan lain Rakai Panunggalan itu berkuasa dan meninggal serta kemungkinan – kemungkinan yang lain. Mungkin saja seorang rakai yang lain diluar yang disebut didalam daftar raja – raja dalam prasasti Mantyasih yang berpetualang ke Komboja dan berhasil menjadi raja disana. Kalau keterangan dalam Cerita Parahyangan mengenai serangan Sanjaya ke Khmer itu dianggap mengandung kebenaran, mungkin ada seorang pangeran Khmer yang ikut pasukan Sanjaya kembali ke Jawa, mendapat pendidikan dosini, lalu pada suatu ketika ia kembali ke Kamboja. Ingat misalnya kasus Adityawarman, yang setelah mengabdi di Majapahit lalu kembali ke Malayu menjadi Maharaja dinegeri leluhurnya sendiri itu. [2] J.G. de Casparis, Prasasti Indonesia, II, hlm. 280 – 330 |