Sumber Pustaka |
1. Ajaran Turun-Temurun. Kebudayan Jawa, sebagai bagian dari kebudayaan Nusantara, mempunyai sejarah yang panjang an khasanah yang kaya, meliputi baik kebudayaan lahir maupun kebudayaan batin. Apa yang dikenal sebagai ajaran – ajaran dapatlah dipandang sebagai bagian dari kebudayaan batin, meliputi berbagai petunjuk mengenai hidup, kehidupan dan penghidupan, yang menyangkut hubungan manusaia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya, manusia dengan sejarah dan lingkungannya, serta manusia dengan dirinya sendiri. Ajaran – ajaran tersbut diangkat dari pengamatan atas pengalaman – pengalaman. Ajaran tersebut disampaikan secaraturun temurun melalui tradisi lisan, dan ketika tradisi tulis telah pula menjadi bagian dari Kebudayaan Jawa, maka ajaran – ajaran kebudayaan batin itu berjalan melalui kurun waktu yang panjang dan terus – menerus, turun temurun, hingga saat ini melalui baik tradisi lisan, maupun tradisi tertulis, dan didukung terutama oleh masyarakat dan keluarga – keluarga Jawa yag menghayati ajaran – ajaran ini. 2. Centhini. Adalah judul dari naskah kompilasi yang memuat kisah dan ajaran – ajaran, muncul pada permulaan abad ke 19, Naskah ini dikenal dengan nama Serat Centhini. Kitab ini disusun oleh Sri Susuhunan V, dimulai sejak beliau masih berkedudukan sebagai Putra Mahkota. naskah ini terdiri dari 12 jilid dan ditulis dengan huruf Jawa. Di dalam naskah ini termuat dialog – dialog, yang mengungkapkan pandangan, sikap serta ajaran mengenai hidup manusia, hubungannya dengan diri sendiri, dengan sesama, masalah keluarga, hubungan suami – isteri, dan mengenai hubungan manusia dengan Tuhan Yang Mahaesa. Di dalamnya terkandung pula refleksi religius yang sifatnya populer, walaupun tidak jarang mendalam dan mendasar sifatnya, Naskah ini memuat pula penggambaran – penggambaran yang sifatnya kadang – kadang amat kongkret. 3. Cipta Hening. "Cipta" artinya pikiran atau budi. "Hening" artinya jernih, bersih. Jadi "Cipta Hening" berarti budi atau pikiran yang jernih, bersih. Cipta Hening adalah nama yang diberikan kepada Arjuna ketika Arjuna sedang bertapa di bukit Indraloka. Kisah ini terdapat didalam naskah Arjunawiwaha, yang dikarang oleh Empu Kanwa disekitar tahun 1030, pada Zaman Raja Erlangga dari Kerajaan Kahuripan di Jawa Timur, yang memerintah dari tahun 1019 – 1042. Naskah ini berbentuk kakawin (puisi), dan dikenal sebagai salah satu kesusasteraan yang indah. Naskah ini tidak sepenuhnya sama dengan kisah Arjunawiwaha dari India. Didalam naskah ini diceritakan bagaimana Arjuna bertapa dengan maksud agar kelak Pandawa akan dapat memenangkan perang Bharatayudha, Didalam lakutapanya itulh Arjuna, sebagai Begawan Cipta Hening, digoda oleh berbagai macam godaan: berupa kekuatan – kekuatan yang mengerikan baik yang tampak maupun tidak tampak, dan juga dalam bentuk bidadari dan segala kesenangan duniawi. Arjuna dapat menguasai godaan tersebut, kemudian diminta banyuannya oleh para dewa untuk memusnahkan Raja Niwatakawaca. Bersama dengan Dewi Supraba, Arjuna dapat menunaikan tugasnya. 4. Dewaruci. Adalah nama seorang Dewa yang menjadi inti pujaan Bima. Dewaruci juga merupakan sebuah judul dari naskah sastra Jawa, dikarang oleh seorang pujangga kenamaan dari Surakarta, yaitu Yasadipura I, ditulis disekitar abag ke-18. Sementara itu terdapat pula naskah lain yang dikenaldengan naskah Suluk Dewaruci. Disamping itu masih dikenal pula tradisi yang menyebutkan adanya naskah Dewaruci berpusat kepada kisah mengenai Bima yang mencari "tirta amerta" (air yang menyebabkan manusia tidak akan mati). Untuk itu Bima berjuang sekuat tenaga . naik turun gunung, masuk hutan belantara, sampai akhirnya masuk kedalam lautan samudra. Didalam samudra inilah sesudahnya mengalami pergumulan dahsyat, Bima bertemu dengan dewanya, yaitu Dewaruci. Didalam pertemuan itu Bima memperoleh berbagai ajaran mengenai kesempurnaaan hidup. 5. Ranggawarsita. Nama seorang pujangga ternama dari Zaman , Surakarta, pada abad ke-19. Ranggawarsita adalah cucu dari Yasadipura II, dan merupakan keturunan dari pujangga Surakarta yang ternama pula, yaitu Yasadipura I. Banyak naskah ditulis oleh Ranggawarsita, terutama yang tergolong kedalam kebudayaan batin. Didalam naskah – naskahnya juga banyak terkandng wawasan kesejarahan Jawa. Buku – buku yang ditulis oleh Ranggawarsita antara lain : Serat Paramayoga, Pustaka Raja Parwa, Aji Pamasa, Cemporet, Jakalodhang, Wirid, Bharatayudha, Kalatidha. 6. Jakalodhang. Jakalodhang adalah judul sebuah buku yang ditulis didalam bahasa Jawa oleh seorang pujangga Surakarta yang termasyur, yaitu Raden Ngabehi Ranggwarsita. Buku Jakalodhang merupakan sebuah naskah yang ditulis dalam bentuk tembang (puisi). Didalamnya termuat kesejarahan pola – pola jalannya sejarah (jangka) mulai dari Zaman Kalabendu sampai kepada Zaman Mulya. Oleh sementara buku ini dipandang sebagai buku yang memuat ramalan – ramalan sejarah. naskah ini ditulis disekitar awal abad ke-18 dan dikenal pula karena ditandai dengan sebuah Candrasengkala yang berbunyi: "Wiku Sapta Ngesthi Ratu". 7. Kalatidha. Kalatidha adalah nama sebuah buku yang ditulis oleh Raden Ngabehi Ranggawarsita. Ditulis dalam bahasa Jawa dan dalam bentuk tembang (puisi). Buku ini memuat wawasan kesejarahan, dan karenanya juga kadang – kadang dipandang sebagai buku ramalan sejarah Jawa, khususnya mengenai keadaan tanah Jawa. Didalam buku ini dikenal istilah – istilah seperti misalnya Zaman Rubeda, Zaman Edan dan lain sebagainya. Salah satu petuah yang dikenal secara luas dari naskah ini adalah ajaran untuk :eling lan waspada", Buku ini ditulis disekitar abad ke-19. 8. Jayabaya. Jayabaya adalah nama seorang Raja dari Kerajaan Kediri (jawa Timur). Memerintah disekitar tahun 1130 – 1160. Pada zaman ini kesusasteraan Jawa mengalami perkembangan yang amat pesat, sehingga tidak jarang dinamakan sebagai zaman keemasan bagi perkembangan sastra dan kebudayaan Jawa. Sementara menyebutkan zaman ini sebagai Zaman Kencana I. Pada zaman ini pula dua orang pujangga yang kenamaan, yaitu Empu Sedah dan Empu Panuluh menulis naskah Bharatayudha. Jayabaya tidak jarang juga menjadi nama yang mengandung misteri maupun arti terutama didalam wawasan kesejarahan Jawa. Zaman Jayabaya akan terus terulang kembali didalam jalan sejarahnya kebudayaan Jawa. 9. Nitisastra. Nitisastra salah satu dari kitab suluk, yaitu naskah – naskah yang banyak memuat ajaran kebatinan, ajaran keagamaan, yang berkembang pada Zaman Demak. 10. Suluk Sela. Merupakan salah satu dari kitab suluk, yaitu naskah – naskah yang banyak memuat ajaran kebatinan, ajaran keagamaan, yang berkembang pada zaman Demak. 11 Tri Darma Pangeran Samber Nyawa. Pangeran Samber Nyawa tidak lain adalah Raden Mas Said, yaitu salah seorang kerabat Surakarta yang menentang Belanda, dan sesudah terjadinya Perjanjian Salatiga tahun 1757 ia memperoleh sebagian dari Kerajaan Surakarta, dan bergelar Mangkunegara I. Rumus Tri Darma sebagaimana banyak dikenal masyarakat luas itu adalah sebagai berikut : "Rumangsa Melu Handarbeni" (merasa ikut memiliki), "Rumangsa Melu Hangrungkebi" (merasa ikut bertanggung jawab), "Mlat Sarira Hangrasa Wani" (mawas diri dan berani). didalamnya terkandung ajaran tentang sikap kita terhadap tugas. 12. Wedhatama. Wedhatama adalah nama sebuah buku, dan dikenal sebagai Serta Wedhatama. Naskah ini merupakan karya Mangkunegara IV (pertengahan abag ke-19), ditulis dalam bahasa Jawa dalam bentuk tembang. Buku ini ditulis untuk kepentingan pendidikan. maka itu didalam naskah ini terdapat banyak ajaran mengenai kebudayaan batin seperti misalnya, mengalahkan hawa nafsu, budi pekerti, sifat – sifat baik dan sifat – sifat tidak baik, mengenai pengetahuan, pergaulan dan lain sebagainya lagi. Begitu pula mengenai hubungan antara manusia dan Tuhan. Didalam naskah ini tersurat berbagai ajaran yang secara turun – temurun menjadi penghayatan didalam kebudayaan Jawa. 13. Wulangreh. Wulangreh adalah nama sebuah buku, dan dikenal sebagai Serat Wulangreh. Naskah ini adalah karya Pakubuwana IV dari Surakarta, awal abad ke-18, ditulis dalam bahasa Jawa dan berbentuk tembang. Naskah ini dimaksudkan pula sebagai naskah pendidikan. Maka memuat ajaran – ajaran yang banyak berhubungan dengan kebudayaan batin, pengekangan hawa nafsu, budi pekerti, kebaikan, pengetahuan dan juga mengenai hubungan antara manusia dan Tuhannya. |