| Makalah Pengombyong (#09) |
|
Karakter Berpilir Positif Melawan Korupsi Dalam Sastra Lisan dan Terobosan Inovatif Pembelajaran Bahasa Jawa di SLTA DIY, JATENG, DAN JATIM: Oleh Suwardi Endraswara Abstrak: Berpikir positif adalah modal hidup. Berpikir positif tidak hanya menjadi modal mengkaji dunia, tetapi juga jalan hidup itu sendiri. Salah satu karakter berpikir positif orang Jawa adalah upaya keras melawan korupsi. Karakter itu dituangkan ke dalam sastra lisan, dalam bentuk parikan, dongeng, tembang, dan ungkapan indah (gaya bahasa). Bentuk karakter berpikir positif meliputi empat aspek perlawanan terhadap korupsi, yaitu: 1. aspek preventif terhadap budaya korupsi, 2. aspek pengobatan para koruptor, dan 3. aspek restorasi pola-pola nalar Jawa yang gemar korup, 4. aspek upaya memenjarakan koruptor agar jera.
Keempat aspek tersebut sesungguhnya dapat menjadi alternative pembelajaran inovatif bahasa Jawa di SLTA yang memperhatikan aspek pragmatic sastra. (1) wulan purnama dan Keduanya adalah symbol buah berpikir positif, ketika orang Jawa bersikap hati-hati. Hati-hati (ati-ati). Hati adalah sentral berpikir positif,jika orang akan selamat. Maka, kalau ada lubang di tengah jalan, ada pencopet, ada pencuri, ada jambret, ada lahar, dan lain-lain muncul tulisan ”Awas hati-hati” bukan “awas kaki-kaki”, dan “awas mata-mata”. Yang dipersoalkan selalu hati sebagai jalur keselamatan. 1. ada niat para pemegang kebijakan pembelajaran bahasa Jawa, memilih materi yang cermat, yang membangun karakter berpikir positif, 2. ada niat untuk melakukan inovasi pembelajaran, dengan metode yang khas, agar siswa tidak bosan, 3. ada niat untuk menanamkan budaya anti korupsi, melawan korupsi, dari batin yang jernih.
Dari tiga catatan tebal itu, muncul temuan bahwa sastra lisan mampu mengubah pikiran negatif (kotor) para koruptor, agar lebih arif, demi kesejahteraan, kemaslahatan, dan ketenteraman hidup.
(1) berpikir negatif dan Setiap hari, karakter kedua hal selalu perang, tarik-menarik, ingin mencari menang. Orang Jawa akan diburu terus-menerus, bertaruh, akan memilih negatif atau positif. Hal ini persis dalam simpingan wayang kulit, antara kanan (positif) dan kiri (negatif) selalu berperang. Masalahnya, dalam wayang mengikuti pola prototype yang negatif selalu kalah. Padahal, realitas hidup tidak selalu demikian. Berpikir positif kadang-kadang kalah dengan berpikir negative. (1) menjadi wong manis (orang baik, jujur) dan Bukankah sebenarnya orang Jawa tahu, memiliki karakter berpikir positif bahwa manis itu lebih indah, menenteramkan, dibanding lamis? Saya yakin, orang Jawa memiliki energi berpikir positif, yang manis, indah, mempesona atau dalam bahasa mistik kejawen disebut memayu hayuning bawana. Khusus persoalan memayu hayuning bawana, sebenarnya telah dirinci nilai-nilainya di kalangan Yogyakarta. (a) suci dan Maksudnya, bila manusia memilih jalan hidup yang suci, manis, jernih, akan mendapatkan kemuliaan hidup (mukti). Biarpun pilihan berpikir positif itu sulit, terjal, seperti menanti jamur yang tumbuh di musim kemarau (kaya ngenteni thukuling jamur ing mangsa ketiga), kalau dicanangkan terus dalam lubuk hati, akan mudah tercapai. Oleh karena, di dunia ini memang ada tiga jalur pilihan hidup, yang harus dipilih yaitu
1. jalan hidup yang nikmat, penuh dengan godaan, mungkin manis secara lahiriah, 2. jalan hidup yang dilaknat, yaitu hidup yang ke arah lamis,cidra, tidak jujur, dan 3. jalan hidup yang selamat (slamet), yaitu jalan kesucian.
Godaan yang paling berat, adalah ketika orang Jawa bersenang-senang. Ketika orang tersebut menikmati kesuksesan hidup, ketika bersuka ria, dan ketika orang Jawa lupa, diperlukan berpikir positif. Menurut lagu Ayo Praon karya Ki Nartosabdo (Saprodjo, 2002:2) cukup tajam penggambarannya. Yakni, saat orang Jawa bermain di tengah laut, akan lupa waktu. Yang unik, dalam lagu itu ada ungkapan jitu yaitu adhik njawil mas jebul wis sore. Kalau saya perhatikan, ungkapan “adhik njawil” tidak lain merupakan konsep berpikir positif Jawa yang disebut eling. Eling adalah iman Jawa. Secara lahir, yang “njawil” adalah adik, tetapi sesungguhnya itu merupakan daya batin orang Jawa. Pada saat orang Jawa hampir lupa mengarungi hidup, sering ada rasa eling (mak plelik), itulah nurani.
a. teken, b. tekun, dan c. tekan.
Teken, artinya hidup perlu landasan (falsafah), aturan harus ditaati. Tekun, artinya rajin, sungguh-sungguh, tidak pernah mau menyelewengkan apa saja (tumemen). Tekan, artinya akan tercapai cita-citanya, yaitu hidup tentrem.
a. prasaja, artinya tidak mengusahakan hal yang bukan semestinya, hingga selalu berserah diri, b. segala sesuatu telah ada yang mengatur, sehingga mau nrima,tidak nggrangsang, dan selalu menganggap positif pemberian Tuhan, c. berpikir positif akan membentuk pola hidup yang selalu arif, wicaksana, dan menuju pada ketenteraman hidup
Hidup tidak lagi harus ditanggapi sebagai sebuah perebutan, nyolongan, dan keserakahan. Hidup orang Jawa berusaha menanggapi keputusan yang ada adalah pepesthening urip.
(1) materi perlu disiapkan dengan mengacu pada kurikulum yang sederhana, agar bahasa Jawa tidak menjadi virus lagi, (2) kurikulum perlu disederhanakan, yang dapat diterima semua pihak, agar bahasa Jawa tidak dianggap sulit, (3) metode dicari yang inovatif-kreatif, (4) materi, oleh karena diharapkan bersifat integratif, sebaiknya karakter berpikir positif tidak membebani materi pokok,(5) evaluasi pembelajaran yang dimuati karakter berpikir positif, sebaiknya tidak memberi beban.
Kedua, terkait dengan upaya inovasi, meliputi:
1. perlu ditafsirkan ulang beberapa ungkapan Jawa, sehngga dapat 2. guru-guru yang tidak cakap, yang mengajar hanya itu-itu saja,
Ketiga, pihak birokrasi dan teknokrasi pembelajarna, sebaiknya segera memberlakukan kurikulum muatan local, khususnya di Jatim, agar karakter berpikir positif dapat dimasukkan sebagai muatan. 1. aspek preventif terhadap budaya korupsi, 2. aspek pengobatan para koruptor, dan 3. aspek restorasi pola-pola nalar Jawa yang gemar korup, 4. aspek upaya memenjarakan koruptor agar jera.
Keempat aspek tersebut sesungguhnya dapat menjadi alternatif pembelajaran inovatif bahasa Jawa di SLTA yang memperhatikan aspek pragmatick sastra. 1. ada niat para pemegang kebijakan pembelajaran bahasa Jawa, memilih materi yang cermat, yang membangun karakter berpikir positif, 2. ada niat untuk melakukan inovasi pembelajaran, dengan metode yang khas, agar siswa tidak bosan, 3. ada niat untuk menanamkan budaya anti korupsi, melawan korupsi, dari batin yang jernih.
Dari tiga catatan tebal itu, muncul temuan bahwa sastra lisan mampu mengubah pikiran negatif (kotor) para koruptor, agar lebih arif, demi kesejahteraan, kemaslahatan, dan ketenteraman hidup. ♦ Endraswara, Suwardi. 2003. Mistik Kejawen. Yogyakarta: Narasi. ♦ _________________. 2010. 30 Metode Pembelajaran Bahasa dan ♦ Hutomo, Suripan Sadi. 1993. Pantun Kentrung. Jakarta: Yayasan Obor ♦ Saprodjo, Gito. 2002. Primbon Cakepan Tembang Lengkap. Surakarta: ♦ Sukatman. 2010. Teka-Teki Jawa sebagai Warga Tradisi Lisan Dunia. ♦ Wacik, Jero. 2010. Berpikir Positif Modal Hidup Saya. Jakarta: Ekslusif |













