| Makalah Pengombyong (#11) |
|
Ajaran Moral Dalam Serat Wedtama Dalam Rangka Pembentukan Pekerti Bangsa Oleh Hardiyanto Abstrak: Fenomena munculnya tindak korupsi di Indonesia yang sering diekspose oleh media masa sungguh memprihatinkan. Kondisi itu diperparah bahwa pelaku-pelaku tindak korupsi di antaranya para birokrat maupun anggota legislatif. Pelaku-pelaku itu seharusnya menjadi panutan dalam berperilaku bagi bangsa yang dipimpin, namun sebaliknya melakukan tindakan tercela. Tindakan tercela tersebut merupakan perilaku amoral yang dapat menurunkan citra para pemegang kebijakan dalam bernegara dan berbangsa, Hal itu kalau dibiarkan terus menerus sangat berbahaya bagi kelangsungan bernegara. Solusi terhadap kondisi yang memprihatinkan itu perlu mensosialisasikan kandungan ajaran moral dari Serat Wedhatama. Kandungan ajaran moral dalam Serat Wedhatama berupa ajaran hidup bertenggang rasa, bagaimana menganut agama secara bijak, menjadi manusia seutuhnya, dan menjadi orang berwatak kesatria. Kandungan itu perlu dikaji dan dikomunikasikan kepada generasi penerus bangsa. Untuk itu, peranan guru bahasa Jawa di sekolah perlu menjadikan bahasa Jawa sebagai pelajaran yang menyenangkan dan mengkaji butir-butir ajaran moral yang ada dalam Serat Wedhatama. Pengkajian diharapkan memudahkan pemahaman tentang kandungan isi di dalamnya serta menjadikan penuntun perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Tuntunan perilaku yang berasal dari Serat Wedhatama harus disajikan dengan media yang menarik, sehingga juga menarik para peminat untuk mempelajarinya, menghayati, dan menjadikan tuntunan perilaku. Bagi para pemimpin perlu juga dalam forum-forum komunikasi ketika ada acara saling silaturahmi diajak untuk mengkaji, menghayati, sehingga mempengaruhi perilaku yang luhur demi keberlangsungan bernegara dan berbangsa. Kata kunci: ajaran moral Serat Wedatama, pembentukan pekerti bangsa. 1. Pendahuluan Fenomena munculnya tindak korupsi di Indonesia yang sering diekspose oleh media masa sungguh memprihatinkan. Kondisi itu diperparah bahwa pelaku tindak korupsi di antaranya para birokrat maupun anggota legislatif. Pelaku- pelaku itu seharusnya menjadi panutan dalam berperilaku bagi bangsa atau rakyat Indonesia yang dipimpin, namun sebalikanya melakukan tindakan tercela. Tindakan tercela tersebut merupakan perilaku amoral yang dapat menurunkan citra para pemegang kebijakan dalam bernegara dan berbangsa. Salah satu media cetak yang terbit di Yogyakarta menurunkan berita bahwa demokrasi yang dibangun dalam sepuluh tahun terakhir sangat mengecewakan masyarakat. Kebebasan yang tanpa batas, tidak menyejahterakan, melahirkan politik uang, menghasilkan pemimpin yang korup. Kebebasan yang dirasakan tanpa batas, tidak menyejahterakan rakyat, menyuburkan politik uang, menghasilkan pemimpin yang tidak amanah. Semua itu merupakan hasil dari sistem demokrasi yang semara-mata menekankan prosedur dan tidak berorientasi pada pengembangan nilai-nilai luhur serta tidak mengedepankan rakyat (KR, 19 Juni 2011: hal, 1). Di samping itu, Eko Santosa (2009) menjelaskan bahwa budaya malau nyaris tidak ada lagi, dengan alasan moderenisasi dan upaya eksplorasi pemenuhan kebutuhan ekonomi hidup, dengan berbagai macam carapun dilakukan di antaranya dengan cara negatif. Hal penjelasan di atas kalau dibiarkan terus menerus sangat berbahaya bagi kelangsungan bernegara dan berbangsa. Solusi terhadap kondisi yang memprihatinkan itu perlu disosialisasikan kandungan ajaran moral dalam serat Wedatama. Selanjutnya, ajaran moral dalam serat Wedatama perlu dipahami dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari agar terjadi keselarasan dalam kehidupuan berbangsa dan bernegara 2. Konsep Moral dan Pekerti Manusia dibentuk oleh kesusilaan yang berarti bahwa manusia hidup dalam norma-norma yang membatasi tingkah lakunya, yang menunjukkan bagaimana seharusnya bertingkah laku dalam masyarakat (Widyawati, 2010: 37). Apabila seseorang telah memenuhi syarat-syarat kesusilaan, maka ia dapat dikatakan baik dari segi kesusilaan. Manusia Indonesia dikatakan bermoral apabila ia tidak hanya mementingkan kehidupan jasmani saja, melainkan juga yang rohani, bersama-sama dalam keseimbangan antara kebutuhan individu dan masyarakat, antara kedudukannya sebagai makhluk yang mandiri dan sebagai makhluk Tuhan (Natanagara via Widyawati, 2010: 37). Selanjutnya, dalam menjadikan munusia yang utama sikap lahir dan sikap batin itu seimbang, maka manusia harus mengikuti asas dasar yang dijadikan landasan asas keseimbangan dan asas keselarasan lahir batin Konsep, prinsip, atau nilai yang mendasari keselarasan dan keseimbangan tersebut antara lain mawas diri, budi luhur, tepa slira, mrawira, rumangsan (Hadiatmaja, 2011: 55). Mawas diri artinya meninjau ke dalam yaitu dalam, bicaranya, dan perilakunya itu sudah baik. Apakah ucapannya itu tidak menyinggung harga diri orang lain, tidak menyakiti hati orang lain. Ia sadar bahwa dirinya itu mungkin masih banyak kekurangan sehingga tidak merasa lebih dari orang lain. Kalau seseorang itu ingin mawas diri harus bebar-benar jujur, Kejujuran terhadap hati nurani yang menjadi jaminan seseorang itu jujur terhadap dirinya sendiri. Kejujuran terhadap dirinya sendiri itu tentunya berimplikasi jujur terhadap orang lain. Menurut Suwardi Endraswara (2010: 173) mawas diri adalah kunci keberhasilan seorang pemimpin. Pemimpin hendaknya mampu mengolah hati dengan cara mawas diri (mulat sarira). Dalam kaitannya ini seseorang mengenal tiga falsafah psikologis mawas diri, yaitu sikap rumangsa hardabeni, wani hangrungkebi, mulat saliea hangrasa wani. Artinya, merasa memiliki (negara), berani membela negara demi keadilan dan kebenaran, serta mau mawas diri. Pemimpin yang mau berbuat demikian, akan bisa rumangsa (mampu merasakan) penderitaan rakyat, Dengan mengenal tiga falsafah psikologis itu tentunya seorang pemimpin melindungi rakyat, memikirkan kesejahteraan rakyat. Sementara itu, budi luhur merupakan sikap baik yang ada pada seseorang. Orang yang berbudi luhur selalu menerima rasa syukur yang diberikan oleh Tuhan. Mereka selalu menjauhkan sikap buruk, seperti: dengki, iri hati, mencampuri urusan orang lain, tipu daya. Orang yang berbudi luhur tentunya berimplikasi, dan memilikiiiii disegani orang lain, berwibawa, atau berkharisma. Tepa slira adalah kesadaran diri bahwa ia tidak akan melakukan sesuatu andaikata ia diperlakukan semacam itu akan terhina, sakit hati. Sesuai dengan ungkapan bahasa Indonesia ukur baju badan sendiri, artinya usaha seseorang untuk dapat merasakan kalau sesuatu hal diterapkan pada dirinya sendiri. Dengan kata lain seseorang yang mempunyai tepa slira ia akan berusaha untuk menempatkan diri dalam keadaan oranglain, sehingga ia bisa merasakan seandainya hal itu menimpa dirinya sendiri. Orang yang mempunyai sifat tepa slra tentunya ia juga mempunyai sifat sabar dan jujur. Mrawira yaitu orang yang bermurah hati dan menjaga dirinya. Orang yang mrawira selalu menjaga gengsi sesuai dengan kedudukan dan martabatnya. Orang yang selalu menjaga kedudukan dan martabatnya tentunya mempunyai sifat menjauhkan dari perbuatan tercela. Orang yang mau mawas diri, dan memiliki sifat budi luhur, tepa slira, dan mrawira mereka terungkap sebagai orang yang tenang lahir dan batin, hatinya bersih, yang terpancar pada ulat (sinar roman muka). Mereka kalau duduk kakinya tidak ditaruh di atas meja, kalau berdiri tubuh lurus, tangan tidak beracak pinggang, pandangan mata lurus atau tidak jelalatan, mulut terkatup rapat atau tidak menjap-menjep. Rumangsan adalah sikap perasa bahwa mereka sebagai manusia sebagai makhluk Tuhan selalu dicatat gerak geriknya dan perbuatannya. Mereka selalu merasa takut berdosa. Di samping itu, sebagai manusia ia juga merasa bahwa segala gerak gerik dan tingkah lakunya itu diawasi orang lain sehingga mereka merasa khawatir kalau perbuatannya itu tercela di mata orang lain. Mereka malu berbuat salah, karena kalau berbuat cela atau aib itu akan menjadi pergunjingan dalam pergaulan dalam masyarakat. Selanjutnya, pekerti di sini diartikan sebagai perbuatan atau perilaku. Dengan demikian, yang dimaksud moral dalam kaitannya pekerti dalam makalah ini adalah perbuatan baik atau jujur dalam berperilaku (Hardiyanto, 2009). 3. Ajaran Moral dalam Serat Wedatama Norma atau ajaran moral yang terkadung dalam serat Wedatama yang dapat digunakan sebagai panduan atau pegangan agar seseorang menjadi yang sempurna atau janma utama, yaitu orang yang susila. Gambaran sebagai janma utama itu contohnya seperti raja Mataram yaitu Panembahan Senopati yang dilukiskan oleh KGPAA Mangkunagara IV dalam pupuh sinom bait satu dan dua seperti terurai di bawah ini. 1. Nulada laku utama. Tumrape wong tanah Jawi. Wong agung 2. Samangsane pasamuan. Mamangun marta martani. Sinambi
Terjemahannya
1. Begitulah manusia utama. Bagi kalangan orang Jawa. Orang 2. Dalam setiap pertemuan. Selalu membangun rasa yang
Dalam menjadikan manusia utama, yaitu manusia harus memiliki sikap lahir dan sikap batinnya itu seimbang. Oleh karena itu, manusia harus mengikuti asas dasar sebagai landasan hidup yaitu asas keseimbangan dan asas keselarasan lahir dan batin. Prinsip atau nilai yang mendasari keselaran dan keseimbangan dalah hidup seperti mawas diri, tepa slira, mrawira, dan rumangsan. Seorang raja harus memikiki sifat utama karena raja sebagai panutan, pelindung rakyat, pemberi rakyat atau memikirkan kesejahteraan rakyat, hal itu terindikator pada gatra pertama dan gatra terakhir pada bait pertama yang berbunyi nulada laku utama ;mencontolah perilaku yang baik atau utama’ dan amemangun karyenak tyasing sesama ‘membuat senang sesama orang’. Sementara itu, gatra pertama dan kedua dalam bait kedua merupakan indikator usaha sang raja dalam mencitakan kebahagian bersama. Demikian salah satu gambaran ajaran moral yang terdapat dalam serat Wedatama. Dengan demikian, seseorang atau pimpinan bangsa atau negara mempunyai sifat utama yang seperti dicontohkan Panembahan Senopati, tentunya mereka menjauhkan diri dari perbuatan tercela.
1. Mingkar mingkure angkara. Akarana kerenan mardi siwi. 2. Jinejer neng wedatama. Mrih tan kemba kembenganing
Terjemahannya
1. Menjauhkan diri dari nafsu angkara. Karena berkenaan mendidik 2. Disajikan di Wedatama agar jangan kekurangan pengertian atau
Untuk berbuat baik terletak pada gatra pertama bait satu yang berbunyi mingkar mingkure angkara ‘ menjauhkan diri dari perbuatan atau nafsu angkara’, sedangkan agama suatu hal yang hakiki terletak pada terakhir bait yang berbunyi agama ageming aji ‘agama sebagai pegangan utama’, Sementara itu, orang dalam pergaulan di masyarakat harus memiliki etika terletak pada gatra enam dan tujuh yang berbunyi samangsane pasamuan ‘pada waktu dalam pertemuan’ gonyak ganyuk nglelingsemi ‘sering bertindak salah dan memalukam’. Gatra keenam dan ketujuh bait kedua itu mengimplikasikan orang harus memiliki etika dalam pergaulan atau komunikasi di dalam masyarakat. Masalah agama yang merupakan hal yang hakiki dalam kehidupan manusia juga ada terletak pada pupuh sinom bait tiga puluh satu. Hal itu dapat dilihat pada tembang di bawah ini,
1. Marma den taberi kulup. Angulah lantiping ati. Rina wengi den 2. Pangasahe sepi samun. Ayaw esah ing salami. Samangsa wis
Terjemahannya
1. Oleh karena itu rajinlah anakku. Belajar menajamkan perasaan, 2. Cara mempertajam di alam sepi. Jangan berhenti selamanya.
Kutipan bait yang menunjukkan tuntunan atau nasehat dimulai dari gatra pertama bait pertama berbunyi marma den taberi kulup ‘oleh karena itu rajinlah anakku’. Bait dua, tiga, empat, dan lima merupakan harapan untuk menjalankan dalam rangka menuju tujuan dari nasehat yang tersirat pada gatra pertama tersebut. Selanjutnya, gatra keenam yang berbunyi supaya dadi utami ‘agar menjadi orang yang utama atau baik’ merupakan harapan dari nasehat itu. ♦ Anjar Any. 1984. Menyingkap Serat Wedatam. Semarang. Aneka Ilmu. ♦ Eko Santosa. 2009. Membangun Etika dan Pembentukan Jati Diri Bangsa ♦ Handayani. 2011. Penggunaan Media Video dalam Pembelajaran Bahasa ♦ Hardiyanto. 2009. Karma Phala Sastra Jawa Kuno dalam Perspektif ♦ Suwardi Endrswara. 2010. Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta. ♦ Sarjana Hadiatmaja. 1996. Pendidikan Budi Pekerti dalam Konteks ♦ Sarjana Hadiatmaja. 2011. Etika Jawa. Yogyakarta. Grafika Indah. Tim Penyususn Kamus. 1996.. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. ♦ Wiwien Widyawati. 2010. Etika Jawa. Yogyakarta. Pura Pustaka. |













