| Makalah Pengombyong (#10) |
|
“ILIR-ILIR” SUNAN KALIDJAGA: Abstrak Sunan Kalidjaga, seorang wali sanga penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad XV—XVI Masehi, menciptakan tembang dolanan anak-anak “Ilir-ilir”. Tembang “Ilir-ilir” tidak sekadar lagu permainan anak-anak yang bersifat menyenangkan, tetapi sebuah tembang yang bernilai edipeni dan adiluhung. Tembang ini digunakan sebagai sarana berdakwah bagi Sunan Kalidjaga dalam rangka menyebarluaskan agama Islam di pulau Jawa pada masa itu. Mengingat masyarakat yang tinggal di Pulau Jawa pada umumnya adalah masyarakat agraris, petani, dan masih dipengaruhi kuat oleh budaya Animisme, Dinamisme, Hindhu, Budha, dan kepercayaan lainnya, maka tembang dolanan anak-anak itu digubah dengan menggunakan simbol-simbol masyarakat agraris di pedalaman Pulau Jawa, seperti tandure, sumilir, cah angon, blimbing, lunyu, dodot, seba, dan gedhe rembulane. Nilai edipeni tembang “Ilir-ilir” terletak pada struktur fisik tembang yang melodius sehingga nikmat dirasakan dan mengandung nilai hiburan. Nilai adiluhung tembang “Ilir-ilir” terletak pada filosofi kandungan makna sebagai pembentukan pekerti bangsa yang disampaikan secara simbolik atau kias. Pekerti bangsa yang tersirat dalam tembang “Ilir-ilir” adalah manusia harus segera bangun jiwanya: sadar, percaya, dan taat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Setelah bangun jiwanya, manusia harus segera bersesuci dengan lima watak utama, panacasila: rila, narima, sabar, temen, dan budi luhur, sebagai bekal menghadap kepada Tuhan Yang Maha Esa di istana Taman Kemuliaan Abadi. Delapan watak keutamaan itulah yang setiap harinya harus diolah oleh manusia dalam melaksanakan tugas dan kewajiban hidup di dunia. Nilai-nilai edipeni dan adiluhung tembang “Ilir-ilir” ini dapat dipakai sebagai sumber kearifan pembentukan pekerti bangsa yang beradab, bermartabat, dan berbudi luhur sehingga kelak bangsa Indonesia mencapai puncak kejayaan dunia. Kata Kunci: tembang, simbolik, edipeni, adiluhung, pekerti bangsa. 1. Pendahuluan Akhir-akhir ini, bangsa Indonesia disibukkan oleh berbagai kepentingan material keduniawian sehingga melupakan kearifan pembentukan pekerti bangsa. Hal ini disebabkan oleh sikap hidup pragmatis pada sebagian besar masyarakat Indonesia yang mengakibatkan terkikisnya nilai-nilai luhur budaya bangsa. Demikian halnya dengan budaya kekerasan dan anarkisme sosial yang turut serta memperparah kondisi sosial budaya bangsa. Kondisi dan situasi bangsa Indonesia saat ini seolah-olah telah dirasuki zaman edan, kalabendhu, kalatidha (Ranggawarsita) atau zaman retu (Soenarto Mertowardojo). Budaya bangsa adiluhung dan edipeni sebagai nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom), bahkan kearifan budaya yang santun, saling menghormati, arif-bijaksana, dan religius, seakan-akan terkikis dan tereduksi oleh gaya hidup instan dan modern. Masyarakat sangat mudah tersulut emosinya, pemarah, brutal, anarkisme, kasar, dan vulgar, tanpa mampu mengendalikan hawa nafsunya. Penonjolan perasaan kecewa dan emosi yang dilampiaskan dengan kemarahan membabi buta: hantam krama dan urusan belakang, berakibat fatal dan menghancurkan. Fenomena ini dapat menjadi representasi melemahnya pekerti bangsa yang terkenal dengan ramah, santun, penuh kasih sayang, saling menghormati, saling asah, asih, dan asuh, serta berbudi pekerti luhur atau berbudi pekerti mulia. Sebagai bangsa yang beradab dan bermartabat, situasi dan kondisi yang demikian itu jelas tidak menguntungkan bagi masa depan bangsa dan negara Indonesia, khususnya dalam melahirkan generasi muda masa depan bangsa yang: 1. cerdas bijak bestari (mursid), 2. terampil dan cendekia (sugih kagunan lan pangawikan), 3. berbudi pekerti luhur (luhur budinipun), 4. berderajat mulia (luhur derajatipun), 5. berperadaban mulia (mulya gesangipun), serta 6. berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Oleh karena itu, dibutuhkan paradigma pendidikan kejiwaan yang berorientasi pada kearifan budaya pembentukan pekerti bangsa, yang tidak sekadar memburu kepentingan kognitif (pikir, nalar, dan material duniawi), tetapi juga memperhatikan dan mengintegrasikan persoalan-persoalan moral dan keluhuran budi pekerti bangsa. Salah satu media pendidikan kejiwaan yang berorientasi membangun pekerti bangsa itu ialah melalui pendidikan dan pengolahan jiwa dengan memahami dan mengaplikasikan makna tembang-tembang Jawa yang banyak mengandung falsafah hidup, petuah, wejangan, dan nilai-nilai kebajikan lainnya. Salah satunya adalah memahami dan mengaplikasikan makna tembang “Ilir-ilir” karya Sunan Kalidjaga yang diciptakan semasa abad XV—XVI Masehi.
1. mangerti, penalaran, pengertian, berhubungan dengan logika; 2. makarti, berkaitan dengan pelaksanaan, laku, tindak kerja; 3. pakerti, mengolah budi pekerti agar berderajat luhur dan mulia; dan 4. mastuti ing Widhi, melaksanakan kebaktian kepada Tuhan Yang
Atas dasar wejangan laku hidup empat perkara itulah dakwah Sunan Kalidjaga terasa sejuk dan menenteramkan umatnya. Sunan Kalidjaga dalam berdakwah, menyebarluaskan agama Islam, mampu memadukan budaya Jawa yang sinkretis dengan akidah agama Islam yang disertai kearifannya. Dakwah-dakwahnya tidak pernah ada yang bertentangan dengan adat-istiadat Jawa. Oleh karena itu, teladan dan ajaran Sunan Kalidjaga yang disertai dengan kebijakan dapat digunakan sebagai sumber kearifan budaya dalam pembentukan pekerti bangsa. Salah satu dakwah yang mengandung ajaran mulia adalah tembang “Ilir-ilir”, yang dipercaya sebagai karya Sunan Kalidjaga. Tembang “Ilir-ilir” diyakini mengandung falsafah hidup yang edipeni dan adiluhung. Akan tetapi, tidak semua orang memahami dan mengerti akan makna keedipenian dan keadiluhungan tembang “Ilir-ilir”; pilih jalma kang mangerti marang surasane tembang kasebut. Apalagi mau melangkah ke makarti, pakerti, hingga ke mastuti ing Widhi, tentu jalan itu akan semakin licin, pelik, dan sukar sekali. * Banoe (2003), * Basral (2010), * Chodjim (2003), * Harto (2003), * Idrus (1995), * Mulyani (2005), * Mulyono (1978), * Nadia (2002), * Nadjib (1999), * Paradise (2009), * Purwadi (2005 dan 2009), * Setiawan (2003 dan 2004), * Sulaiman (2009), * Supadjar (1993), * Sylado (2008), * Tim Media Pusindo (2008), * Utomo (2007), dan * Wiratmoko (2000).
Buku-buku yang memuat perihal tembang “Ilir-ilir” tersebut ada yang berjenis kamus, ensplopedia anak, cerita rakyat, novel remaja, kumpulan tembang daerah, bagian dari kisah Sunan Kalidjaga, pembahasan dunia wayang, dan ulasan khusus tentang ajaran Sunan Kalidjaga. Jadi, penyebarluasan tembang “Ilir-ilir” ini tidak terbatas untuk konsumsi anak-anak dan dunia Jawa, tetapi juga meluas untuk kalangan remaja, orang tua, dan tersebar ke seluruh dunia. Judul, batasan, teks tembang, dan ulasan tentang tembang “Ilir-ilir” dapat dibaca, dilihat, diakses, diunduh, dan didengarkan melalui dunia maya atau penyebarluasan yang terekam dalam kaset, cakram padat, plisdis, dan hardis komputer.
1. ‘sifat batin manusia yang memengaruhi segenap pikiran dan perbuatan’, ‘watak’; 2. ‘cara berbuat’, ‘tingkah laku’, ‘kelakuan’; dan 3. ‘cara khas seseorang dalam beraksi terhadap berbagai macam fenomena’ (KBBI, 2001: 855).
Atas dasar pemahaman makna pekerti tersebut bahwa ‘perangai’ ‘tabiat’ ‘akhlak’ ‘watak’ bangsa yang kurang baik, haruslah diolah, dididik, dan dilatih (digulawenthah) agar menjadi watak budi pekerti luhur, mulia, beradab, dan bermatabat.
♦ Banoe, Pono. 2003. Kamus Musik. Yogyakarta: Kanisius. ♦ Basral, Akmal Nasery. 2010. Sang Pencerah. Jakarta: Mizan Pustaka. ♦ Chodjim, Achmad. 2003. Mistik dan Makrifat Sunan Kalidjaga. Jakarta: ♦ de Jong, S. 1976. Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: ♦ Harto, Mas. 2003. Petualangan Si Gun 2. Cetakan kedua 2007. Depok: ♦ Idrus, H.A. 1995, Kitab Asrar Walisanga. Jakarta: Bahagia. ♦ Mertowardojo, Soenarto. 1954. Sasangka Jati. Jakarta: Paguyuban ♦ ---------- 1960. Bawa Raos Ing Salebiting Raos. Jakarta: Paguyuban Ngesti Tunggal. ♦ ---------- 1964. Taman Kamulyan Langgeng. Jakarta: Paguyuban Ngesti ♦ Mulyani, Intan. 2005. Nyeni Tuh Kayak Gini, Lho!. Bandung: DAR ♦ Mulyono, Sri. 1978. Apa dan Siapa Semar. Jakarta: Gunung Agung. ♦ Nadia, Asma. 2002. Derai Sunyi. Bandung: DAR Mizan. ♦ Nadjib, Emha Ainun, dan Haydar Yahya, Ahmad Fuad Effendy. 1999. Ikrar ♦ Paradise, Gendhis. 2009. Ensklopedia Seni dan Budaya Nusantara. ♦ Pradopo, Rachmat Djoko. 1994. Prinsi-Prinsip Kritik Sastra. ♦ Purwadi. 2005. Sejarah Sastra Jawa. Yogyakarta: Gelombang Pasang. ♦ ---------- 2009. “Kisah Sunan Kalidjaga” dalam Sejarah Walisanga. ♦ Santosa, Puji. 1993. AKidung Rumeksa Ing Wengi@ dalam Jaya Basa ♦ ---------- 2009. “Dua Kidung dalam Perbandingan” dalam Pangsura: ♦ ---------- 2004. Memoar Pulau Buru. Magelang: Indonesia Tera. ♦ Soehadha, M. 2008. Orang Jawa Memaknai Agama. Yogyakarta: Kreasi ♦ Sudaryanto, et al., 2001. Kamus Pepak Basa Jawa. Yogyakarta: Badan ♦ Sulaiman, Tasirun. 2009. Wisdom of Gontor. Bandung: Mizania. ♦ Damarjati. 1993. Nawangsari. Yogyakarta: Media Widya Mandala. ♦ Sylado, Remy. 2008. Novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok ♦ Tim Media Pusindo. 2008. Kumpulan Lagu Daerah: Persembahan untuk ♦ Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. 2001. Kamus ♦ Utomo, Sutrisno Sastra. 2007. Kamus Lengkap Jawa—Indonesia. ♦ Wiratmoko, Y.B. 2000. Cerita Rakyat dari Ngawi (Jawa Timur). Jakarta:
|
















