Makalah Pengombyong - (#20) |
“Falsafah Kalatidha” Abstrak.
1. mengungkap makna filsafati isi serat Kalatidha karya Ranggawarsita, 2. mengaktualisasi dan merevitalisasi falsafah Kalatidha tersebut guna menghadapi perkembangan dan globalisasi kehidupan dewasa ini.
Atas dasar tujuan tersebut, permasalahan yang dihadapi adalah bagaimana makna filsafati isi serat kalatidha karya Ranggawarsita, dan bagaimana mengaktualisasikan dan merevitalisasikan substansi isi seratKalatidha dalam menghadapi perkembangan dan globalisasi kehidupan saat ini.
1. Substansi isi serat Kalatidha adalah ajaran filosofis tentang kearifan atau kebijaksaan menghadapi berbagai macam permasalahan kehidupan manusia. 2. Ajaran filosofis tersebut sangat relevan untuk diaktualisasikan dan direvitalisasikansebagai cermin kearifan dalam mengadapi perkembangan dan globalisasi kehidupandewasa ini.
Kata kunci : Falsafah kalatidha, Cermin kearifan, Globalisasi.
Pemikiran yang arif dan bijaksana ini, kiranya perlu dijadikan acuan dalam menghadapi perkembangan dan globalisasi kehidupan dewasa ini. Pemikiran yang arif bijaksan ini ternyata mampu meredam segala macam gejolak, lahir maupun batin, sehingga akan dapat dicapai ketenangan dan ketenteraman di dalam kehidupan. Bukan hanya kehidupan di dunia, tetapi juga kehidupan di akhirat, sesuai dengan falsafah atau pandangan hidup manusia / masyarakat orang Jawa.
a. Keluarga Ranggawarsita dianggap mengkhianati keluarga Paku Buana IX. Karena peristiwa ditangkapnya Paku Buana VI (orang tua PB. IX) oleh Belanda, diduga karena pemberitahuan Ranggawarsita II (ayah R.Ng. Ranggawarsita) yang telah lebih dulu ditangkap Belanda. Peristiwa ini menyebabkan Paku Buana IX tidak senang dan sangat membenci keluarga R.Ng. Ranggawarsita. b. Ketika permaisuri Paku Buana IX sedang hamil, Ranggawarsita diminta untuk menebak, apakah putranya nanti laki-laki ataukah perempuan. Ranggawarsita mengatakan bahwa putera baginda nanti akan memiliki sifat ‘hayu’. Paku Buana IX merasa sedih, karena ia sesungguhnya menginginkan putera laki-laki. Tetapi setelah bayi lahir, puteranya itu bukan perempuan tetapi laki-laki. Dengan peristiwa ini Ranggawarsita dianggap menipu raja. Walaupun Ranggawarsita telah berusaha memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud sifat ‘hayu’ itu bukan harus perempuan, tetapi laki-lakipun mempunyai sifat ‘hayu’. Namun Paku Buana IX tetap merasa kecewa berat terhadap Ranggawarsita. c. Kecurigaan Paku Buana IX terhadap Ranggawarsita, mengingat bahwa Ranggawarsita memiliki banyak teman dan sahabat, ditambah sifatnya yang merakyat. Dikhawatirkan hal tersebut dimanfaatkan Ranggawarsita untuk menghasut rakyat untuk melawan Belanda dan merebut kekuasaan tahta kerajaan (Anjar Any, 2002:77). d. Konflik antara Ranggawarsita dengan Paku Buana IX yang disebabkan oleh masalah kotak kecil berbentuk peti mati, disebut lepak - lepak. Pada suatu hari Ranggawarsita diminta untuk menebak apakah lepak-lepak tersebut kosong atau isi (sebelumnya lepak-lepak tersebut dibuat kosong). Ranggawarsita mengatakan bahwa lepak-lepak tersebut ‘isi’. Setelah Ranggawarsita menjawab ‘isi’, Paku Buana IX merasa telah dapat mengalahkan Ranggawarsita. Tetapi setelah dibuka, ternyata Ranggawarsita benar, bahwa lepak-lepak itu isi, dan isinya adalah rokok dika tali sutra, rokok yang diikat dengan tali sutera (Brotokesowo, 1950:17-18).
Di samping ada konflik dengan Paku Buana IX, Ranggawarsita juga mengalami konflik dengan Belanda. Konflik tersebut, antara lain disebabkan oleh:
a. Adanya peristiwa ‘delik pers’, ketika Ranggawarsita menjadi redaktur majalah Bramartani, dalam sebuah edisi muncul tulisan dalam bahasa Jawa yang berisi kritikan pedas terhadap pemerintah Belanda. Ketika residen menanyakan siapa yang bertanggung jawab atas tulisan itu, Jones Pourtier, pemimpin surat kabar itu, menimpakan kesalahan itu kepada Ranggawarsita. Karena dialah yang membidangi semua artikel yang ditulis dalam bahasa Jawa, dan bahkan ia menduga itu tulisan Ranggawarita sendiri. Setelah dilacak, terbukti bahwa tulisan itu bukan tulisan Ranggawarsita, tetapi tulisan R.Purwowijaya, hanya namanya tidak dicantumkan. Meskipun demikian sebagai pertanggungjawaban seorang redaktur, Ranggawarsita mengundurkan diri atau dipaksa mengundurkan diri, sebagai redaktur surat kabar itu (Anjar Any, 1990:67-70, Margana, 2004:178). b. Belanda meragukan loyalitas Ranggawarsita karena selain dia adalah putera pembrontak, Ranggawarsita juga dianggap tipis loyalitasnya kepada Belanda karena menolak untuk dikirim ke negeri Belanda, untuk menjadi pengajar bahasa Jawa di sana, walaupun ditawarkan gaji yang cukup besar (Margana, 2004:178).
Peristiwa-peristiwa tersebut menunjukkan adanya konflik, mulai dari konflik batin atau psikhis, sampai konflik lahir atau fisik, sehingga menyebabkan kerenggangan antara Ranggawarsita dengan rajanya, dan dengan penguasa pemerintah penjajahan Belanda. Karena kekecewaan inilah di duga Ranggawarsita kemudian menciptakan serat Kalatidha. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila di dalam serat Kalatidha banyak terdapat ungkapan - ungkapan yang menunjukkan kekecewaan tersebut.
Apabila isi yang terkandung di dalam bait ke dua serat Kalatidha tersebut dibandingkan dengan kondisi bangsa dan Negara Indonesia pada saat ini, jelas sekali adanya kemiripan. Bangsa Indonesia, khususnya masyarakat orang Jawa, di dalam sejarah perkembangannya sejak jaman revolusi mengusir penjajah Belanda sekitar tahun 1945-1949, kemudian disusul masa perjoangan menegakkan Negara Kesatuan RI. antara tahun 1950-1959, masa yang dikenal dengan Orde Lama atau lebih dikenal sebagai periode demokrasi terpimpin antara 1959-1965/1966, masa Orde Baru yang juga lebih dikenal dengan masa demokrasi Pancasila tahun 1966-1998, sampai munculnya gejolak reformasi 1998 sampai sekarang, benar-benar dapat dijadikan sebagai tanda berlakunya kondisi jaman edan tersebut. Hal ini dapat diketahui dari kenyataan bahwa mulai dari kepala pemerintahannya (Raja atau Presiden), para Menteri dan semua Pegawai Pemerintahan, semuanya baik dan mencita-citakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Namun ternyata semua itu tidak menjadi penghalang bagi datangnya kalabendu, masa krisis dalam segala bidang. Seperti krisis politik yang terjadi pada tahun 1955-1959, 1965/1966, krisis moneter yang terjadi pada sekitar tahun 1998, kemudian disusul krisis ekonomi, krisis hukum, krisis moral dan krisis mental, dan sebagainya. Bahkan sekarang ini banyak orang berkata sebagai krisis multidimensional, krisis dalam segala bidang kehidupan (IPOLEKSOSBUD- HANKAMRELHU). Krisis ideologi, krisis politik, krisis ekonomi,krisis sosial dan budaya, krisis ketahanan dan keamanan, bahkan juga krisis religi dan krisis di bidang hukum.
Keadaan seperti inilah yang berkembang di dalam kehidupan masyarakat orang Jawa pada dewasa ini. Keadaan yang hampir mirip dengan keadaan yang dialami oleh Ranggawarsita tempo dulu. Oleh karena itu, apabila Ranggawarsita memiliki cara-cara yang mujarab guna mengatasi keadaan, cara-cara itu perlu kita pakai sebagai acuan, guna menghadapi perkembangan pada saat ini. Seperti yang tampak dalam bait 7 baris 7-9 berikut ini.
♦ Kamadjaja. 1964. Zaman Edan, Suatu Studi tentang Buku Kalatidha dari ♦ Margana, S. 2004. Pujangga Jawa dan Bayang-Bayang Kolonial. ♦ Mulyoto. 2005. Humanisme Dalam Serat Kalatidha, Suatu Pendekatan ♦ Poerwadarminta, W.J.S. 1939. Baoesastra Djawa. Batavia : J.B.Wolters ♦ Puruhito. 2011. Revitalisasi dan Reinterpretasi Nilai-Nilai Pancasila, ♦ Purwadi. 2003. Membaca Sasmita Jaman Edan, Sosiologi Mistik R. Ng. ♦ Simuh. 1988. Mistik Islam Kejawen R.Ng. Ranggawarsita. Jakarta : UI ♦ Sista Nandini. 2011. Revitalisasi Pancasila Sebagai Ideologi Negara ♦ Suwardi Endraswara. 2003. Mistik Kejawen. Jogjakarta : Penerbit ♦ Umar Khayam. 1989. Transformasi Budaya Kita. Pidato Pengukuhan |