| Makalah Pengombyong (#01) |
|
Pembelajaran Sastra Lisan Jawa di Sekolah sebagai Alternatif Pembentukan Karakter PENDAHULUAN
(1) anonim, (2) materi cerita kolektif, tradisional, dan berfungsi khas bagi masyarakatnya, (3) memunyai bentuk tertentu dan varian, (4) berkaitan dengan kepercayaan, dan (5) hidup pada masyarakat yang belum mengenal tulisan (Hutomo, 1986:1).
Saat ini, pembicaraan sastra lisan mulai mengemuka seiring dengan munculnya konsepsi tentang kearifan lokal (local wisdom) (Ahmadi, 2010:17) yang berusaha menggali dunia lokal agar tidak hilang dan tergerus oleh arus modernisme yang pragmatis.
1. wejangan luhur yang diberikan kepada anak-anaknya berkait dengan 2. sindiran/kritikan terhadap orang yang akan/telah melakukan perbuatan yang
Sluman slumun slamet
Bertolak dari kutipan tersebut tampak secara implisit bahwa orang yang kaya raya tersebut tidak menghargai si miskin. Karena itu, filosofinya, secara catharsis, kita harus menghargai orang-orang, meskipun orang tersebut orang miskin. Kebanyakan, masyarakat sekarang sangat menghargai orang kaya, sedangkan orang miskin sangat tidak dihargai. Hal tersebut tidak lepas dari pepatah lama, ada gula ada semut, di mana ada susuatu yang yang manis/menguntungkan, orang akan datang berduyun-duyun ke sana. Namun, sebaliknya, jika ada sesuatu yang tidak menguntungkan, orang akan berusaha untuh menjauhinya.
Berdasarkan pemaparan di muka dapat disimpulkan bahwa sastra lisan Jawa sangatlah penting dalam kaitannya dengan pembentukan karakter pada anak siswa/siswi di sekolah. Karena itu, diharapkan, ada sinergi antara guru, murid, masyarakat, dan penentu kebijakan dalam kaitannya dengan pembelajaran sastra lisan di sekolah. Jika sastra lisan Jawa diajarkan di sekolah, anak-anak akan mengenal secara implisit/eksplisit representasi pendidikan karakter yang ada di sekolah. Dengan demikian, akan terbentuk karakter yang cerdas, beretika, dan beriman.
♦ Ahmadi, Anas. 2010a.” Legenda Kera Sakti dari Cina: Kajian ♦ __________. 2010b. “Revitalisasi Bahasa dan Sastra Lisan Madura di ♦ Bartlet, F.C. (1965) Some Experiment on the Introduction of the ♦ Alwi, Hasan. 2000. “Pelestarian Bahasa Daerah. Risalah Kongres ♦ Danandjaja, J. 1997. Folklor Indonesia. Jakarta: Grafiti. ♦ Daryanto. 1999. Basa Jawa Pepak. Surabaya: Apollo. ♦ Endraswara, E. 2005. Tradisi Lisan Jawa. Yogyakarta: Narasi. ♦ Geertz, C. 2003. Pengetahuan Lokal. Terjemahan. Merapi: Yogyakarta. ♦ Hidayat, K. 2000. Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara. Pustaka Agung: ♦ Hutomo, S.S. 1989. “ Perkembangan Cerita Rakyat Sampai saat ini dan ♦ __________. 1991. Mutiara yang Terlupakan: Pengantar Studi Sastra ♦ Ismail, T. 2000. Tentang Cara menjadi bangsa yang Rabun dan Lumpuh ♦ Goodenough, W.H. 1981. Culture, Language, and Society. Benjamin ♦ Kisyani. 2009. “Bahasa Daerah di Indonesia: Meretas Jalan untuk ♦ Koentjaraningrat. 1992. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. ♦ Rahimsyah. Tt. Cerita Rakyat Jawa Barat. Mitra Cendekia: Surabaya. ♦ Muadz, H. 2000. “Bahasa Daerah sebagai Bahasa Pengantar dan sebagai ♦ Thaha, Z. 2000 “Kedudukan dan Fungsi Bahasa Daerah dalam Era ♦ Thomas, L. & Wareing, S. 1999. Language, Society, and Power. ♦ Yudiono, K.S. & Kismarmiati. 2001. Cerita Rakyat dari Kudus. Jakarta: |













