| Makalah Pengombyong (#02) |
|
Tembang Jawa sebagai Sumber Kearifan Lokal 1. Pendahuluan Belakangan ini muncul fenomena kecenderungan anak-anak usia remaja gemar menyanyikan lagu orang dewasa. Kegemaran itu mungkin saja muncul karena faktor keindahan syairnya, ketampanan atau kecantikan penyanyinya, atau karena faktor keunikan dan keindahan musiknya. Faktanya, ketika diadakan ajang pemilihan anak atau remaja berbakat di bidang seni suara, mereka cenderung memilih judul lagu untuk orang dewasa yang bertemakan percintaan antara pria dan wanita. Dalam konteks kegiatan belajar-mengajar di sekolah, fenomena seperti ini pun sudah sering terjadi. Lagu anak-anak “Ambilkan Bulan, Bu” sudah jarang terdengar di antara siswa sekolah dasar. Keadaan seperti itu pun terjadi pada tingkatan sekolah yang lebih tinggi, yaitu sekolah menengah pertama (SMP). Kecenderungan siswa SMP menyukai lagu bertemakan cinta lebih besar lagi. Hal itu didasari suatu kenyataan bahwa banyak di antara siswa SMP yang sudah mengenal istilah “cinta” walaupun baru sebatas “cinta monyet”. Di kalangan siswa-siswi SMP, lagu “Cinta kan Membunuhku” karya De Massiv lebih populer daripada lagu bertema semangat kebangsaan “Bangunlah Pemudi-Pemuda”. Para remaja itu baru akan mempelajari lagu-lagu bertemakan semangat kebangsaan dan cinta tanah air ketika akan merayakan hari bersejarah seperti peringatan hari kemerdekaan. Setelah usai perayaan, usai pula upaya pengenalan lagu-lagu bertemakan semangat kebangsaan dan cinta tanah air yang dapat membentuk karakter berkebangsaan. Pada pertengahan tahun 2011, muncul fenomena baru di kalangan remaja, yaitu munculnya perwujudan cinta tanah air berupa dukungan moral bagi tim nasional kesebelasan sepak bola melalui lagu “Garuda di Dadaku”. Namun, lagu yang membangkitkan semangat kebangsaan itu tidak berumur panjang. Ketika prestasi tim nasional kesebelasan sepak bola Indonesia menurun, lagu “Garuda di Dadaku” itupun terkalahkan kepopulerannya oleh lagu “Alamat Palsu”. Keberadaan lagu-lagu yang diminati oleh para siswa, terutama siswa SMP, sebenarnya dapat dijadikan salah satu bahan ajar di sekolah. Terkait pula dengan kearifan lokal, makalah ini akan mengupas pemikiran tentang keberadaan tembang Jawa sebagai sumber kearifan lokal dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa. Makalah ini membatasi uraian pembahasan pada pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa melalui pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMP. Pembahasan tentang pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa akan dikaitkan dengan pengembangan kurikulum bahasa dan sastra Indonesia di SMP. Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengembangkan nilai budaya dalam PBKB melalui pengajaran bahasa dan sastra Indonesia dalam bentuk kearifan lokal. Penulis memiliki harapan agar peserta didik, terutama di tingkat SMP, dapat mengembangkan karakter diri pribadi menuju karakter bangsa melalui terjemahan syair-syair tembang Jawa dalam pengajaran bahasa dan sastra Indonesia. 2. Tembang Jawa sebagai Sumber Kearifan Lokal Suwardi Endrawara dalam bukunya yang berjudul Tradisi Lisan Jawa: Warisan Abadi Budaya Leluhur menggolongkan tembang dalam genre tradisi lisan Jawa sebagai salah satu bentuk puisi. Menurutnya, puisi, sebagai tradisi lisan yang berupa syair-syair rakyat, memiliki beberapa bentuk, di antaranya adalah: (a) nyanyian rakyat, yaitu puisi yang dilagukan rakyat seperti halnya lagu dolanan anak, (b) parikan (pantun Jawa), yaitu sajak semi terikat, dan (c) tembang, yaitu puisi yang terikat oleh aneka aturan, seperti tembang gehe dan macapat. Namun, dalam makalah ini dipilih makna istilah tembang yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Dalam KBBI, kata tembang memiliki dua makna, yang pertama bermakna syair yang diberi berlagu (untuk dinyanyikan)- nyanyian- yang kedua bermakna puisi. Jadi, makna tembang Jawa dalam makalah ini adalah lagu Jawa sesuai pemaknaan dalam KBBI. Seperti yang ingin dicapai dalam tujuan penulisan, yaitu mengembangkan karakter diri pribadi menuju karakter bangsa melalui terjemahan syair-syair tembang Jawa dalam pengajaran bahasa dan sastra Indonesia. Ketertarikan penulis kepada tembang Jawa sebagai salah satu bahan ajar pada pengajaran bahasa dan sastra Indonesia bukanlah tanpa alasan. Kita pasti hampir sepakat bahwa dalam tembang Jawa terdapat nilai-nilai moral yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam membentuk siswa yang berkarakter. Hal itu pun berkaitan dengan konsep kearifan lokal yang kini mulai sering kita dengar. Menurut F.X. Rahyono, sebuah kearifan lokal merupakan kecerdasan yang dihasilkan berdasarkan pengalaman yang dialami sendiri sehingga menjadi milik bersama. Kearifan (lokal) budaya Jawa, misalnya, merupakan wujud kecerdasan yang dihasilkan oleh pengalaman hidup masyarakat Jawa itu sendiri. Oleh karena itu, penulis berpandangan bahwa pengalaman hidup masyarakat Jawa yang tertuang dalam bentuk tembang atau lagu Jawa dapat member pencerahan baru bagi pengajaran sastra, terutama yang berkaitan dengan syair, pantun, puisi, atau lagu. Sebenarnya, ketika berbicara tentang kearifan lokal, penulis menawarkan sebuah wacana tentang pengajaran sastra di sekolah, dalam hal ini di SMP. Pengajaran sastra yang dimaksud adalah pengajaran sastra berbasis kearifan lokal, yaitu pengajaran sastra yang tidak hanya menggunakan pengalaman hidup masyarakat Jawa (dalam tembang Jawa) saja seperti yang akan dibahas dalam makalah ini, tetapi juga pengalaman hidup masyarakat (dalam bentuk tembang) daerah lain yang populer di kalangan anak-anak atau remaja. Namun demikian, perlu juga mencermati makna lagu atau syair yang dipilih untuk sumber kearifan lokal. Di Jakarta, dalam beberapa tahun terakhir, pernah “booming” lagu “Cucak Rowo” yang syairnya apabila dicermati berkesan kurang baik untuk usia anak-anak dan remaja. Lagu “Cucak Rowo” menjadi lebih populer ketimbang lagu “Tombo Ati” yang lebih awal dikenal masyarakat sebagai lagu religi berbahasa Jawa. 3. Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMP Usia remaja adalah usia yang rentan memperoleh pengaruh-pengaruh dari lingkungan sekitarnya. Seperti juga yang kita ketahui melalui berita di media massa cetak dan elektronik, era globalisasi telah membawa dampak besar bagi pergaulan antarremaja. Dampak era globalisasi itu seperti dua sisi mata uang, satu berdampak positif, satu berdampak negatif. Dalam mengikuti perkembangan usia remaja, perlu disadari bahwa usia remaja -usia siswa sekolah menengah pertama (SMP) yang berkisar antara 11 sampai 16 tahun- adalah masa-masa sulit bagi para remaja tersebut dalam mengendalikan emosinya. Seperti yang dikatakan oleh Piaget, masa-masa seperti itu sebagai masa peralihan, yang mengubah seseorang dari usia anak-anak menjadi usia dewasa. Sebagai peserta didik yang masih berada pada masa peralihan, para siswa SMP perlu mendapat asupan ”vitamin” bagi pertumbuhan jiwanya. Salah satu pengajaran yang dapat disisipi vitamin itu adalah pengajaran sastra. Dalam buku Sastra dalam Empat Orba (Agus R.Sarjono: 2001), B.P. Situmorang mengatakan bahwa pengajaran sastra yang perlu diajarkan kepada para siswa agar para siswa mampu menikmati, menghayati, memahami, dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa.. Hal ini dapat memupuk jiwa estetis, jiwa keindahan, jiwa yang mengandung unsur-unsur moral (etika), untuk mengalihkan kenakalan remaja serta menyalurkannya ke arah yang lebih positif melalui apresiasi seni. Dalam Model Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Mata Pelajaran Bahasa Indonesia yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional dan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) disebutkan bahwa pendekatan pembelajaran sastra yang menekankan apresiasi sastra adalah pendekatan apresiatif. Karena sastra ada untuk dibaca, dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan. Pemanfaatan inilah yang kemudian digunakan untuk pengembangan PBKB melalui pengajaran sastra. Pengajaran sastra di sekolah memiliki peranan yang sangat besar terutama bagi pengembangan keterampilan berbahasa, pengetahuan pengalaman tentang kehidupan, pengembangan kepribadian dan pembentukan watak, dan pemberi kesejukan dan ketenangan hati bagi kehidupan manusia. Inilah yang harus disadari oleh para guru ketika melaksanakan rancangan pembelajaran yang dibuat berdasarkan silabus tersebut. Silabus Mata Pelajaran Bahasa Indonesia SMP yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional dan Badan Standar Nasional Pendidikan itu memuat 35 kompetensi dasar (KD) bidang studi bahasa dan sastra Indonesia di kelas VII, 37 KD di kelas VIII, dan 35 KD di kelas IX. Namun, pembahasan pada makalah ini hanya mengambil kompetensi dasar bidang sastra yang berkenaan dengan tembang (syair dan puisi) saja, yaitu nomor KD 8.1, 15.1, 16.1, dan 16.2 di kelas VII (materi pantun dan puisi), nomor KD 15.2, 16.1, dan 16.2 di kelas VIII (materi puisi), dan nomor KD 5.1, 5.2, dan 6.2 di kelas IX (materi syair dan lagu). 4. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Tujuan pendidikan nasional itu merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Oleh karena itu, rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi dasar dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa. Untuk mendapatkan wawasan mengenai arti pendidikan budaya dan karakter bangsa perlu dikemukakan pengertian istilah budaya, karakter bangsa, dan pendidikan. Menurut KBBI, budaya adalah pikiran- akal budi, karakter artinya sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain; tabiat; watak, dan pendidikan artinya proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dl usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan- proses, cara, perbuatan mendidik. Sedangkan dalam Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya untuk Membentuk Daya saing dan Karakter Bangsa terbitan Balitbang, Kemdiknas budaya, karakter, dan pendidikan diartikan sebagai berikut. “Budaya adalah keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan manusia yang dihasilkan masyarakat. Sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan itu adalah hasil dari interaksi manusia dengan sesamanya dan lingkungan alamnya. Sistem berpikir, nilai, moral, norma dan keyakinan itu digunakan dalam kehidupan manusia dan menghasilkan sistem sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, sistem pengetahuan, teknologi, seni, dan sebagainya.” Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter bangsa. Oleh karena itu, pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui pengembangan karakter individu seseorang. Pendidikan adalah proses pewarisan budaya dan karakter bangsa bagi generasi muda dan juga proses pengembangan budaya dan karakter bangsa untuk peningkatan kualitas kehidupan masyarakat dan bangsa di masa mendatang. Dalam proses pendidikan budaya dan karakter bangsa, secara aktif peserta didik mengembangkan potensi dirinya, melakukan proses internalisasi, dan penghayatan nilai-nilai menjadi kepribadian mereka dalam bergaul di masyarakat, mengembangkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera, serta mengembangkan kehidupan bangsa yang bermartabat. Berdasarkan pengertian budaya, karakter bangsa, dan pendidikan yang telah dikemukakan di atas maka pendidikan budaya dan karakter bangsa dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada diri peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya,menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat, dan warganegara yang religius, nasionalis, produktif dan kreatif . Atas dasar pemikiran itu, pengembangan pendidikan budaya dan karakter sangat strategis bagi keberlangsungan dan keunggulan bangsa di masa mendatang. Pengembangan itu harus dilakukan melalui perencanaan yang baik, pendekatan yang sesuai, dan metode belajar serta pembelajaran yang efektif. Sesuai dengan sifat suatu nilai, pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah usaha bersama sekolah- oleh karenanya harus dilakukan secara bersama oleh semua guru dan pemimpin sekolah, melalui semua mata pelajaran, dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya sekolah. KETERKAITAN NILAI PBKB DAN INDIKATOR UNTUK SMP
5. Tembang Jawa sebagai Sumber Kearifan Lokal dalam Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Perhatikan syair lagu berikut ini.
♦ Budihastuti, Exti. 2010. “Telaah Silabus Pengajaran Sastra di SMP Depdiknas. 2007. Model Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran ♦ Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia. ♦ Endraswara, Suwardi. 2005. Tradisi Jawa Lisan: Warisan Abadi Budaya ♦ Purwadi. 2006. Sejarah Sastra Jawa. Yogyakarta: Panji Pustaka ♦ Piaget, Jean. 1988. Antara Tindakan dan Pikiran. Jakarta: PT Gramedia. ♦ Rahyono, F.X. 2009. Kearifan Budaya dalam Kata. Jakarta: Wedatama ♦ Sarjono, Agus R.. 2001. Sastra dalam Empat Orba. http://a9usbudiikip.files. |















