Makalah Komisi - C - (#20) |
Pemakaian Bahasa Jawa dalam Keluarga Jawa di Manado Abstrak
1. suami dan istri sama-sama berasal dari Jawa (keluarga murni) 2. suami atau istri, salah satunya berasal dari Jawa (keluarga campur)
Tabel di atas menunjukkan bahwa angka sapaan mas atau mbak untuk kakak kandung terlihat tinggi. Pada wawancara lebih lanjut dapat diketahui bahwa pada keluarga murni Jawa, sebagian besar kakak kandung responden tinggal/berada di Jawa. Tabel 2 Penggunaan sapaan mas dan mbak dalam keluarga campur di Manado
Dua tabel di atas menunjukkan bahwa di kalangan keluarga Jawa, sapaan mas dan mbak sudah tidak produktif lagi. Jika dikaitkan dengan panggilan mas dan mbak yang lebih condong untuk memanggil pedagang kaki lima atau pedagang keliling, rupanya kedua sapaan itu sudah tidak mengandung prestise atau kebanggaan. Hal itu menyebabkan keluarga Jawa di Manado baik yang keluarga murni maupun yang keluarga campur jarang menggunakannya untuk sapaan yang bermakna penghormatan. Pada tabel 2, angka sapaan mas atau mbak untuk kakak kandung tinggi. Pada wawancara lebih lanjut dapat diketahui bahwa kakak kandung responden kebanyakan tinggal/berada di Jawa. Namun, dapat kita lihat pada responden suami atau istri yang berasal dari Manado, sebagian besar memanggil mas atau mbak pada pedagang dan sebagian kecil untuk lainnya. Perhatikan juga pada tabel 2 untuk responden suami/istri yang berasal dari Jawa sudah sedikit yang memanggil mas atau mbak pada orang Jawa selain pedagang. Pada wawancara lebih lanjut dapat diketahui bahwa responden "tidak tega" memanggil mas atau mbak pada orang Jawa selain pedagang (misalnya kepada PNS atau pegawai di sektor formal lainnya). Dengan demikian, sapaan mas dan mbak di Manado lebih utama untuk menandai pedagang asal Jawa5. A. Menguatnya Sapaan "Pak/Bu Lik" dan "Pak/Bu Dhe" Masih berdasar pada teori mengenai sapaan yang mengandung bentuk penghormatan atas perbedaan status sosial, jabatan, budaya, usia, dan tingkat keformalan tuturan, berikut ini pembahasan mengenai penggunaan sapaan "Pak/Bu Lik" dan "Pak/Bu Dhe" yang bersaing dengan penggunaan "Om" dan "Tante" pada keluarga Jawa di Manado. "Om sopir, kita turung di muka neh!" (Om sopir (angkot), saya turun di muka situ ya!) Contoh kalimat di atas sering kita dengar pada pembicaraan antara penumpang dan sopir angkutan kota di Manado. Sapaan "Om" digunakan oleh masyarakat Manado untuk memanggil laki-laki yang lebih tua yang (biasanya) tidak bekerja di sektor formal (kantoran) atau digunakan untuk orang yang benar-benar mempunyai hubungan kekerabatan dengan orang tuanya. Demikian halnya dengan sapaan "Tante". Akan halnya dengan mereka yang bekerja di sektor formal, orang memanggil dengan sebutan "Pak/ Bu" atau untuk guru biasa dipanggil dengan "Encik/Meneer". Bagi kalangan keluarga Jawa di Manado, panggilan "om" dan "tante" yang biasa digunakan untuk panggilan pada orang-orang biasa (nonpriyayi pada masyarakat Jawa) memengaruhi penggunaan "Pak/Bu Lik" dan "Pak/Bu Dhe". Rupanya keluarga Jawa di Manado menjadi merasa kurang bergengsi saat memanggil kerabat atau orang Jawa yang ada di Manado dengan sebutan 'om" atau "tante" sehingga terpilihlah sapaan ""Pak/Bu Lik" dan "Pak/Bu Dhe". Berikut ini data responden mengenai penggunaan "Pak/Bu Lik" dan "Pak/Bu Dhe" yang meliputi 100 responden keluarga murni dan 100 responden keluarga campur. Tabel 3 Penggunaan sapaan "Pak/Bu Lik" dan "Pak/Bu Dhe" dalam keluarga murni Jawa di Manado
Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar responden menggunakan sapaan "Pak/Bu Lik" dan "Pak/Bu Dhe" dari pada "om" dan "tante"6 kecuali untuk pedagang keliling/kaki lima masih lebih banyak yang menggunakan sapaan mas atau mbak. Tabel 4 Penggunaan sapaan "Pak/Bu Lik" dan "Pak/Bu Dhe" dalam keluarga campur di Manado
Tabel 4 di atas menunjukkan bahwa responden asal Jawa lebih banyak menggunakan sapaan "Pak/Bu Lik" dan "Pak/Bu Dhe" untuk keluarga dari Jawa dan sapaan "om" dan "tante" untuk keluarga dari pihak Manado. Sementara responden asal Manado hampir seimbang menggunakan sapaan "Pak/Bu Lik" dan "Pak/Bu Dhe" serta "om" dan "tante". Tabel 3 dan 4 di atas menunjukkan bahwa panggilan untuk orang Jawa oleh orang Jawa lebih cenderung menggunakan "Pak/Bu Lik" dan "Pak/Bu Dhe" atau "Pak" dan "Bu" dari pada sapaan "om" dan "tante". Panggilan "om" dan "tante" digunakan oleh orang Jawa hanya untuk memanggil orang (kerabat) dari Manado. Pembahasan mengenai melemahnya penggunaan mas dan mbak serta meningkatnya penggunaan "Pak/Bu Lik" dan "Pak/Bu Dhe" oleh keluarga Jawa di Manado tersebut menguatkan asumsi bahwa penggunaan bahasa Jawa sangat dipengaruhi oleh prestise atau kebanggan para penuturnya. Hal ini menarik untuk dikaji karena kewibawaan dan kebanggaan berbahasa Jawa sangat tergantung pada konteks sosial dan bobot nilai budaya Jawa yang dapat diungkap oleh bahasa Jawa. A. Pergeseran Bahasa Dalam berbagai kajian, pergeseran bahasa (daerah) lebih banyak disebabkan oleh munculnya industri atau desakan dari lingua franca (penelitian Keller, 1964; penelitian Mkilifi, 1978; penelitian Cooper, 1989). Kondisi kebahasaan dalam sebuah keluarga suatu saat akan mengalami fase intergenerasi. Fase intergenerasi adalah proses kebahasaan yang melibatkan tiga generasi: generasi pertama (G1) menguasai bahasa A sebagai bahasa pertama. Generasi kedua (G2) menguasai bahasa B sebagai bahasa kedua lebih baik dari bahasa A. Generasi ketiga (G3) menjadikan bahasa B sebagai bahasa pertama dan tidak lagi mengenal bahasa A (Sumarsono, 1993). Itu semua berkaitan dengan sikap bahasa sebagaimana didefinisikan Crystal (1997) yang memengaruhi pandangan baik atau buruk sebuah bahasa jika disandingkan dengan bahasa lain. Berikut ini jawaban responden atas kemampuan berbahasa Jawa oleh keluarga murni Jawa di Manado. Tabel 5 Kemampuan Berbahasa Jawa keluarga murni Jawa di Manado
Catatan: hanya ada 15 orang responden yang orang tuanya tinggal di Manado Tabel 6 Kemampuan Berbahasa Jawa dalam keluarga campur di Manado
Catatan: hanya ada 5 orang responden Jawa yang orang tuanya tinggal di Manado Tabel 5 dan 6 menunjukkan pergeseran signifikan atas penguasaan bahasa Jawa oleh tiga generasi. Generasi pertama dan kedua untuk responden asal Jawa hampir 100% masih menguasai bahasa Jawa. Namun, pada generasi ketiga, baik responden yang berasal dari keluarga murni maupun dari keluarga campur semuanya telah mengalami penurunan tajam atas kemampuan berbahasa Jawa. Terjadinya penurunan pemakaian bahasa Jawa pada keluarga Jawa di Manado tersebut menandai turunnya prestise atau gengsi bahasa Jawa atau menurunnya sikap bangga atas bahasa Jawa. A. Penyebab Pergeseran Kesimpulan sementara mengenai turunnya prestise atau gengsi bahasa Jawa atau menurunnya sikap bangga atas bahasa Jawa di atas dapat diperkuat dengan melakukan survei terhadap perilaku keluarga (terutama generasi kedua) atas penggunaan bahasa Jawa. Survei itu dilakukan dengan mengajukan pertanyaan kepada responden berupa: 1) apakah bahasa Jawa dipakai dalam komunikasi suami-istri; 2) apakah bahasa Jawa digunakan saat berkomunikasi dengan anak-anak; 3) apakah anak-anak menggunakan bahasa Jawa saat berkomunikasi; dan 4) apakah orang tua mengajarkan bahasa Jawa kepada anak. Berikut ini jawaban responden atas pertanyan-pertanyaan tersebut. Tabel 7 Apakah bahasa Jawa dipakai dalam komunikasi suami-istri dalam keluarga murni Jawa di Manado
Tabel 8 Apakah bahasa Jawa dipakai dalam komunikasi suami-istri dalam keluarga campur di Manado
Tabel 9 Apakah bahasa Jawa dipakai dalam komunikasi dengan anak-anak dalam keluarga murni Jawa di Manado
Tabel 10 Apakah bahasa Jawa dipakai dalam komunikasi dengan anak-anak dalam keluarga campur di Manado
Tabel 11 Apakah bahasa Jawa dipakai dalam komunikasi anak-anak dalam keluarga murni Jawa di Manado
Tabel 12 Apakah bahasa Jawa dipakai dalam komunikasi anak-anak dalam keluarga campur di Manado
Tabel 13 apakah orang tua mengajarkan bahasa Jawa kepada anak dalam keluarga murni Jawa di Manado
Tabel 14 apakah orang tua mengajarkan bahasa Jawa kepada anak dalam keluarga campur di Manado
Tabel 7—14 di atas menguatkan simpulan bahwa sikap keluarga Jawa di Manado terhadap bahasa Jawa telah mengalami penurunan secara signifikan. Bahkan, hal itu juga terjadi pada keluarga murni Jawa. Salah satu penyebab kuat menurunnya penggunaan bahasa Jawa adalah keengganan mengajarkan kepada anak turunnya. Berdasarkan survei, responden masih menggunakan bahasa Jawa saat berbicara dengan sesama orang Jawa, meskipun tidak (sebagian kadang-kadang saja) saat berbicara dengan anak. Berikut ini survei penggunaan bahasa Jawa saat berkomunikasi dengan sesama orang Jawa di Manado. Tabel 15 apakah bahasa Jawa digunakan saat berkomunikasi dengan sesama orang Jawa di Manado
Catatan: survei berdasarkan penggunaan bahasa Jawa saat tidak ada pihak ketiga (pengguna bahasa lain) Pada wawancara selanjutnya dapat diketahui bahwa jawaban kadang-kadang menggunakan bahasa Jawa karena ada beberapa kosa kata atau situasi yang memang harus diucapkan dengan bahasa Manado. Akan halnya dengan jawaban tidak, sebagian besar responden telah lebih dari 25 tahun tinggal di Manado dan jarang pulang ke Jawa. A. Simpulan Penggunaan bahasa Jawa di kalangan keluarga Jawa baik yang keluarga murni maupun keluarga campur (Jawa—Manado) telah mengalami penurunan cukup signifikan hanya dalam fase tiga generasi, bahkan pada generasi kedua (anak) bahasa Jawa sudah jarang digunakan. Hal itu terjadi karena berdasarkan hasil survei sebagian besar responden tidak menggunakan bahasa Jawa saat berkomunikasi dengan anak dan tidak mengajarkan bahasa Jawa kepada anaknya. Rupanya keluarga Jawa di Manado telah melakukan pembiaran atas perkembangan bahasa Jawa. Pembiaran itu terlihat dari tidak adanya upaya pemertahanan bahasa Jawa oleh penutur. Pembiaran itu bisa terjadi karena bahasa Jawa sudah dianggap tidak bergengsi lagi seperti kasus menurunnya penggunaan mas dan mbak atau kurangnya sarana untuk melakukan tindakan pemertahanan bahasa seperti organisasi Jawa, kesenian Jawa, adat-istiadat, dan lain-lain. Sebenarnya cukup banyak peluang untuk mempertahankan bahkan memperkuat bahasa Jawa di Manado seperti kasus naiknya gengsi sapaan "Pak/Bu Lik dan Pak/Bu Dhe". Namun, karena tidak ada lembaga atau organisasi yang memerhatikan hal ini, usaha mempertahankan dan memperkuat penggunaan bahasa Jawa di Manado belum bisa dilakukan. A. Saran Pemertahanan bahasa Jawa di Manado tidak bisa dilakukan tanpa melibatkan kekuatan budaya Jawa yang adiluhung. Bahasa Jawa tanpa budaya Jawa tidak akan mampu memuat atau menampung ide dan gagasan penuturnya saat bertemu dengan budaya lain. Demikian sebaliknya, budaya Jawa tidak akan mampu diterjemahkan oleh bahasa lain selain bahasa Jawa. Oleh karena itu, upaya pemertahanan bahasa Jawa di Manado harus dibarengi dengan perilaku budaya Jawa baik yang kasat mata maupun yang ada dalam batin setiap manusia Jawa. Untuk itu perlu dibentuk organisasi-organisasi kebudayan Jawa, adat-istiadat Jawa, seni Jawa, dan sebagainya. Organisasi-organisasi itu akan menggugah semangat berbahasa Jawa yang memuat kebudayaan Jawa hasil ide atau gagasan batin insan Jawa di manapun ia berada. Organisasi-organisasi itu diharapkan mampu membuat perencanaan yang baik mengenai pemertahanan bahasa Jawa sebagai media pengungkap budaya Jawa. Daftar Pustaka ♦ Chaer, Abdul dan Agustina. 1995. Sosiolinguistik, Perkenalan Awal. ♦ Crystal, D. 1997. A Dictionary of Lingusitics and Phonetics. Cambridge: Blackwell Publishers Inc. ♦ Fasold, R. 1987. The Sociolinguistics of Society. Oxford, UK: Blackwell. ♦ Iskar, Suhendar. 2006. “Aspek-Aspek Budaya dalam Komunikasi Bahasa”. Dalam laman http:www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0505/07/khazanah/lainnya04.htm as retrieved on 16 Nov 2006. ♦ Sumarsono.1993. Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan di Bali. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. BIODATA Ratun Untoro lahir di Bantul, Yogyakarta pada 23 Maret 1974. Beristri Elvanny, orang asli Manado yang mahir berbahasa Jawa dengan satu anak, Pramunditya, usia 2 tahun yang sedang belajar berbicara dengan bahasa Indonesia, bahasa Jawa, bahasa Manado, dan bahasa Inggris. Menyelesaikan S1 di Fakultas Sastra jurusan Sastra Nusantara UGM tahun 1999, S2 ilmu humaniora selesai tahun 2007 di universitas yang sama dan saat ini sedang memulai studi S3 Kajian Tradisi Lisan juga di universitas yang sama. Pada tahun 2000 ditugaskan oleh Pusat Bahasa, Depdiknas ke Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Utara sampai sekarang. Selain belajar menulis di berbagai jurnal dan media massa, ia juga dipercaya menjadi kepala subbagian tata usaha di instansi tempat ia bekerja sejak tahun 2008. Tulisan-tulisannya mengenai bahasa, sastra, dan budaya antara lain termuat di harian Manado Post, Tribun Manado, dan Komentar serta jurnal-jurnal kebahasaan dan kesastraan. Sering menjadi narasumber di televisi dan radio lokal serta menjadi pemateri di Badan Diklat Keagamaan di Manado. Agak aktif mengikuti berbagai seminar nasional dan internasional baik sebagai pemakalah maupun peserta. Tiga tulisan terakhir berjudul “Novel Ayu Manda sebagai Media Pembelajaran BIPA” dimuat di Buletin Pengajaran BIPA edisi April 2011 terbitan IALF Bali; “Marxisme dalam Karya Pramoedya: sebuah Kritik atas Kritik Hoen” dimuat dalam Kandai jurnal bahasa dan sastra terbitan Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara edisi Mei 2011; dan “Kemandirian Budaya sebagai Kekuatan Bangsa, sebuah Kajian Terhadap Novel Ayu Manda” dimuat dalam Sawerigading jurnal bahasa dan sastra terbitan Balai Bahasa Ujung Pandang edisi April 2011. Pernah juga mengisi tulisan di Widyariset terbitan LIPI, Cibinong.
Bandingkan dengan kecenderungan penggunaan “om” dan “tante” di Jawa yang oleh sebagian masyarakat dianggap lebih bergengsi. |