Ki-demang.com : Kongres Bahasa Jawa 5

Kaca Ngajeng

logo-kbj5


ikon-buku-tamu

Kesekretariatan

Alamat-Sekretariat
Badan-Pekerja
Rencana-Kerja
Jadwal-Kongres

Pendaftaran

Pendaftaran-(B-Indonesia)
Pendaftaran-(Bhs-Jawa)
Pendaftaran-(Carakan)

Data & Seleksi Makalah

Data-Abstrak-Makalah
Teknis-Penulisan-Makalah
Hasil-Seleksi-Makalah

Isi Makalah

Makalah-Kunci
Makalah-Komisi-A
Makalah-Komisi-B
Makalah-Komisi-C
Makalah-Komisi-D
Makalah-Komisi-E
Makalah-Pengombyong

Rekomendasi - KBJ 5

Isi-Rekomendasi-KBJ-5

Daftar Peserta

Peserta-Luar-Negeri
Peserta-Institusi-Lembaga
Peserta-DI-Yogyakarta
Peserta-Jawa-Timur
Peserta-Jawa-Tengah
Rekap-Peserta

Galeri Foto - KBJ 5

Galeri-Foto-KBJ-5

  Jumlah Pengunjung

1863026
Hari ini     :Hari ini :19
Kemarin     :Kemarin :118
Minggu ini   :Minggu ini :855
Bulan ini   :Bulan ini :713
s/d hari ini   :s/d hari ini :1863026
Jumlah Kunjungan Tertinggi
02-23-2025 : 310
Pengunjung Online : 5

Kontak Admin.

email-kidemang

Makalah Komisi - C - (#41)

 

Fenomena Bahasa Tegal Dalam Tingkah Laku
Bontot Sukandar


Bahasa sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari tersebut dapat mempermudah setiap orang dalam berinteraksi terhadap sesama. Bahasa sebagai alat komunikasi, adalah bahasa yang digunakan sebagai alat berinteraksi (menjalin sebuah komunikasi) atau hubungan antara dua manusia atau lebih, sehingga pesan yang dikmaksudkan dapat dimengerti. bahasa juga sebagai alat beradaptasi, bahasa yang digunakan dalam proses komunikasi dan interaksi sehari-hari dapat sebagai sarana beradaptasi. Sebagai contoh saat berada di suatu daerah yang baru dikenal, kita dapat menggunakan bahasa daerah setempat sebagai alat berinteraksi terhadap lingkungan dan masyarakat untuk belajar menyesuaikan diri terhadap lingkungan tersebut. Saat menjalin komunikasi dengan sesama tentu saja kita membutuhkan sesuatu yang bisa membuat lawan bicara memahami maksud yang akan disampaikan, maka kita perlu bahasa ungkap (lisan) adalah bahasa mempunyai fungsi ekspresif, dimaksudkan untuk mampu menggungkapkan atau menggambarkan sebuah maksud ,gagasan dan juga perasaan. Selain ada bahasa ungkap (lisan), tentu saja kita juga memerlukan bahsa tulis dimaksudkan sebagai alat pengatur atau pengontrol terhadap sesuatu. Bahasa tulis juga penting untuk terus mengontrol keberadaan bahasa, seperti dalam laporan UNESCO dalam penelitiannya tentang eksistensi bahasa ibu (daerah) dewasa ini dalam setiap tahun lebih dari 5 bahasa ibu punah. Hal ini dikarenakan bahasa tulis tak berjalan dalam komunitas masyarakat.
bahasa sebagai media aktualisasi sikap memegang peranan penting dalam membentuk karakter diri. Tingkah laku memang erat dengan bahasa. Ungkapan budi bahasa dan tutur kata selalu mengacu pada tingkah laku, tabiat, budi pekerti akhlak dsb. Oleh karena itu tingkah laku tergambar dalam budi bahasa,ditengah kerumunan budaya global yang saling bersaing untuk memikat manusia, terkadang manusia kehilangan jati diri, hilangnya jati diri tersebut mengakibatkan karakter diri lemah, karakter yang melemah membawa pengaruh yang negative diantaranya berkurangnya ketegasan diri. Akibatnya masyarakat kita cenderung mudah marah, tidak sopan, brutal sehingga menjadi cerminan masyarakat yang berbudaya tidak tampak dalam perilaku dan tutur kata.
Diera global dewasa ini, dimana jarak dan waktu hanyalah merupakan sekat tipis menjadikan perikehidupan masyarakat kuat saling mempengaruhi. Kondisi yang demikian menjadikan tak satupun bahasa-bahasa didunia mampu survive bertahan hidup tanpa pengaruh bahasa lain, bahkan terdapat beberapa bahasa ibu (daerah) tak mampu hidup, akhirnya punah tergilas derap perkembangan dan kemajuan peradaban. Maka agenda Kongres Bahasa Jawa sangatlah penting untuk tetap menjaga eksistensi bahasa jawa sebagai akar kultur jawa, jati diri etnik jawa, lambang kebanggan daerah dan sarana pergaulan dalam keluarga dan masyarakat. Biro Pusat Statistik (1983) menyebutkan bahasa jawa masih dipakai oleh sebagian terbesar masyarakat Indonesia yaitu sebanyak 59,4 juta, bahasa sunda 22,1 juta, bahasa madura 6,2 juta dan minang 3,5 juta.
Perdana menteri Singapura Lee Kwan Yew pernah menciptakan kampanye penggunaan bahasa Mandarin untuk mengurangi penggunaan bahasa Inggris melalui Bulan Mandarin setiap tahun di bulan Oktober sejak th 1979. imperialisme budaya yang menyusup di negara-negara berkembang menciptakan semua serba barat. Meskipun bahasa Indonesia yang merupakan bahasa nasional di Indonesia disahkan pada 28 oktober 1928, yaitu bertepatan pada saat sumpah pemuda. Dalam segi bahasa nasional berfungsi sebagai Lambang identitas nasional, lambing kebanggan kebangsaan, sebagai alat pemersatu komunikasi dan juga pemersatu sebagai bangsa yang multi suku, ras, agama pun tak bisa lepas dari pengaruh budaya imperialisme. Sikap westernisasi ini di respon dengan upaya melestarikan  identitas masyarakat masing-masing daerah baik berupa kebudayaan, bahasa maupun rasial. Ini mengisyaratkan kepada kita bahwa dalam usaha melestaraikan bahasa jawa tetap harus memperoleh perhatian bersamaan dengan kepedulian kita terhadap bahasa nasional Indonesia.

Bahasa Jawa mempunyai beberapa dialek, yang bisa dibedakan dari ciri-ciri tertentu. Sepintas perbedaan itu dapat dilihat dari ucapan dan kosakatanya. Namun, dua hal itu belum mewakili ciri perbedaan secara keseluruhan sebelum dikaitkan dengan pembicaraan struktur dialeknya.  
“Bahasa jawa mempunyai 4 dialek dan 13 subdialek. dialek-dialek itu adalah: Banyumas, Pesisir Utara, Surakarta dan Jawa Timur. Adapun subdialek-subdialek itu meliputi : Purwokerto, Kebumen, Pemalang, Banten Utara, Tegal, Semarang, Rembang, Surakarta, Yogyakarta, Madiun, Surabaya dan Banyuwangi.” (Uhlenbeck, 1972:75)   

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta tahun 1981 pernah menerbitkan hasil penelitian Suwadji, Slamet Riyadi, Dirgo Sabariyanto, dan Gina. Mereka itu meneliti Struktur Dialek Bahasa Jawa di Pesisir Utara Jawa Tengah (Tegal dan sekitarnya). Mereka mengakui hal itu bukan penelitian pertama mengingat pada tahun 1903, AHJG Walbeehn, sarjana berkebangsaan Belanda meneliti hal serupa, Het Dialect van Tegal (Dialek Tegal).
Dialek Tegal merupakan salah satu kekayaan bahasa Jawa. Meskipun memiliki kosakata yang relatif sama dengan bahasa Banyumas, pengguna dialek Tegal tidak serta-merta mau disebut kelompok ngapak, karena beberapa alasan antara lain perbedaan intonasi, pengucapan dan makna kata. Pertama kali mendengar bahwa bahasa tegal sebagai bahasa ngapak-ngapak, pada tahun 80 an banyak mahasiswa Tegal yang kuliah di Jogja, Solo dan Semarang sering mengeluh dengan adanya sebutan sebagai mahasiswa ngapak-ngapak. Sehingga sampai sekarang dialek Tegal dianggap masuk dalam bagian bahasa ngapak-ngapak yang secara umum dianggap bahasa kasar serta dipertautkan dengan kelas ’’rendah’’, bahasa kaum proletar. Bagaimana pun keberadaan bawasa Jawa dialek Tegal maupun Banyumas tetap harus diakui, dihormati dan dikembangkan, oleh karena dialek itu adalah ragam bahasa yang secara nyata hidup dan menjadi alat komunikasi efektif didalam kehidupan bermasyarakat masing-masing.  Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Hindia Belanda tahun 1811 pernah melakukan penelitian di Jawa, yang ditulisnya dalam buku The History of Java. Dalam buku tersebut Raffles menulis antara lain, yang membedakan dialek Tegal dengan dialek bahasa Jawa lainnya, bahasa Jawa Tegal diucapkan dengan cara memanjangkan (bunyi) vokal, misalnya,’’Nang keeeene, kyehhh ( disini, nih).

Entah siapa yang memulai setiap kali bicara bahasa Tegal selalu diidentikkan dengan bahasa  ngapak-ngapak. Padahal dalam kosakata dialek Tegal tidak ditemui kata ngapak, atau yang mirip. Pada dialek Banyumas kata ngapak  tidak memiliki arti ’’jelas’’, hanya diambil dari dialek yang mewakili ciri-ciri Banyumas, ’’Ora ngapa-ngapa’’ (tidak apa apa). Orang Banyumas mengucapkannya, ’’Ora ngapak-ngapak’’. Barangkali dari sinilah istilah ’’ngapak-ngapak’’ muncul. Sedangkan  orang Tegal mengucapkannya, ’’Ora papa’’ atau ’’ora apa-apa.’’

Tegal adalah salah satu kota yang terletak di pesisir utara pulau jawa, kota kecil hanya memiliki 4 (empat) kecamatan. Tetapi menjadi sebuah kota yang memiliki mobilitas tinggi, bukan saja di sektor perekonominya, tetepi juga disektor lainnya. Hal ini disebabkan Tegal sebagai kota lintas Jakarta - Surabaya, juga sebagai jalur lintas selatan (Tegal-Purwokerto). Dengan letak kota yang dipertigaan wilayah, bukan saja sebagai kota lintas, tetapi juga sebagai kota transit. Sehingga memungkinkan selalu terjadinya interaksi berbagai orang dari berbagai daerah, memungkinkan juga masuknya pengaruh bahasa (dialek). Bahasa Tegal dipakai bukan saja oleh warga Tegal, tetapi dipakai juga oleh masyarakat Brebes bagian timur, sedangkan Brebes bagian barat dipengaruhi bahasa Sunda (Cirebon) dan bagian selatan dipengaruhi Banyumas, seperti didaerah kecamatan Bumiayu sampai pada perbatasan wilayah Banyumas. Bahasa Tegal juga dipakai di Slawi (kab Tegal) dan sebagian masyarakat Pemalang bagian barat.

Sebagai warga dari sebuah kota lintas sekaligus kota transit, orang Tegal tak mudah terpengaruh dengan orang-orang pendatang, terutama dengan bahasanya. Namun orang Tegal sangat mudah untuk meniru (menyesuikan diri) dalam pemakaian bahasa dari daerah lain, bagi pendatang sangat sulit untuk cepat menguasai bahasa (dialek) Tegal. Sehingga dalam hal ini, setiap orang (yang bukan orang Tegal) memakai bahasa Tegal dianggapnya lucu, padahal hakekatnya bukan sebuah hal yang lucu, tetapi dibalik sebagai bahan melucu tersembunyi hal kekaguman bagi yang (dianggap) berhasil menirukan bahasa Tegal. Memang tidak dipungkiri, bahwa sebagian besar menganggap bahwa bahasa Tegal menjadi (sebagai) bahasa lawakan. Hal tersebut bisa dimaklumi karena bahasa Tegal lebih pada ekspresinya, sehingga bila diucapkan oleh orang yang bukan orang Tegal berkesan lucu. Angger wong wis nyekel ekspresine bahasa Tegal, nganggo bahasa apa bae ya krasa ekspresif. Bahasa Cina, Arab, Inggris, utawa bahasa Indonesia dewek - Puisi Lisan Tegalan, Dalsikum - karya Eko Tunas.  ( kalau orang sudah memegang (memahami) ekspresinya bahasa Tegal, memakai bahasa apa saja ya terasa ekspresinya. Bahasa Cina, Arab, Inggris atau bahasa Indonesia sendiri - Puisi Lisan Tegalan. Dalsikum - karya Eko Tunas).

Berangkat dari ketidakpahaman pada ekspresi bahasa Tegal, para pelawak memanfaatkannya sebagai bahan lawakan. Seperti Cici Tegal yang bukan orang Tegal, Parto Patrio, sesekali Warkop juga memakai dan masih banyak lagi deretan artis yang memakai bahasa Tegal sebagai bahan lawakan. Dampak dari itu semua ada beberapa orang yang merasa minder dengan bahasa Tegal, seperti terjadi pada seorang figuran disebuah sinetron misteri pada tahun 96, bahkan ada beberapa public figure yang juga mempunyai perasaan yang sama. Padahal sebagai bahasa, bahasa Tegal  yang sebagian  orang menyebut sebagai bahasa Jawa dialek Tegal, sebagaimana bahasa daerah lain juga merupakan bahasa yang "serius". Ia merupakan pencerminan karakter orang Tegal dan sekitarnya yang juga berkecenderungan serius. Sementara itu ada juga penilaian tentang bahasa Tegal sebagai bahasa jawa kasar, padahal dalam bahasa Tegalpun ada tatanan bahasa halus. Seperti “kwe badogen sisan ben wadukmu njeblug” (itu makan sekalian agar perutmu meledak) ini kalimat bahasa tegal yang kasar, sedangkan “kwe panganen sisan ben wareg” (itu makanlah sekalian supaya kenyang) ini kalimat bahasa Tegal halus. Bahasa Tegal juga bisa lebih ekpresif, mari kita baca salah satu puisi.

Mendeme Enyong Minggir  

Mendeme enyong minggir dislentik raine kowen nang waktu subuh
nang bunderan wong wadon sing nganggo rok kebul karo mambune bir
keguyur kangen sing duwur cangkeme mung bisa mingkem
raine kowen ngobong kabeh kepenginan nang kamar sing atis
ngilangena kabeh suara wong wadon sing nganggo rok kebul
tetabuhan tembangan nekakkena kepenginan nang kotak nafsu birahi 
ngraketaken wong wadon sing nganggo rok kebul karo kanca batir
ndepe-ndepe angin nggeret raine kowen wutuh
kaya wayah bengi ngukir kembang kanggo mbuka rahasia 
eben mung ora ngimpi nyekel kembang sing nang njero botol
eben mung ora ngimpi kangen kaya nyanyian manuk gagak
eben mung dudu gunung sing kesimpen nang dada
tegal, 010110.

 

Mabukku Menepi

 

Mabukku menepi disentil wajahmu disubuh waktu
dilingkaran wanita bergaun asap dan aroma bir
bermandi dingin diriku memuncak pada diam mulutku
wajahmu membakar segala ingin diruang dingin
tepikan segala desah wanita bergaun asap
lagu mengalir riuh berkotak birahi

baurkan wanita bergaun asap segala teman
mengendap angina menyeret wajahmu penuh
seperti malam memahat bunga menguak rahasia
agar tak mimpi menyentuh bunga dalam botol
agar tak rindu sekedar nyanyian gagak
agar tak gunung menyimpan sedada

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


“saking ekspresife bahasa ibu sing siji kiye luwih-luwih sebagai mata jiwa. Saking blakasutane, bahasa Tegal luwih-luwih biasa ngetokena uneg-uneg utawa pikiran sajujur-jujure, ora nganggo tedeng aling-aling apa-apa. Malah watek sing kaya Bima nang wayange kiye bahasa mata jiwa kuwe nggawa wong Tegal nduwe sifat waninan. Kaya Bima sing dikongkon njegur segara ya gelem. Nyilem nang dasar laut ya ketemune Dewa Ruci.” (karena ekspresifnya bahasa ibu yang satu ini lebih-lebih sebagai mata jiwa. Karena Blakasuta, bahasa Tegal lebih bisa mengeluarkan perasaan dan pikiran yang paling jujur tanpa ada yang ditutupi. Memiliki watak seperti Bima dalam pewayangan ini bahasa mata jiwa membawa orang Tegal mempunyai watak berani. Seperti Bima yang disuruh masuk ke lautan juga mau. Menyelam di lautan ketemu dengan Dewa Ruci - dalam makalah Bakuten Si jon Wis Dadi Wong Indonesia- Eko Tunas)

Fenomena berani dalam perwatakan orang Tegal yang digambarkan Eko Tunas tidak berlebihan, terbukti dengan keberanian Ki Enthus Susmono yang mendapat julukan Dalang Edan, berani memunculkan ekspresi bahasa Tegal dalam disulukannya, diantawacananya, lebih-lebih digoro-goronya. Seperti bila Ki Enthus Susmono mengeluarkan ekspresi Tegalnya dalam memainkan wayang yang dianggap kasar sampai berdiri, menginjak-nginjak bahkan menyobek-nyobek tokoh wayang yang angkara murka. Kejujuran ekspresi Ki Enthus Susmono sebagai dalang yang memunculkan ekpresi orang Tegal, memang awalnya mendapat sorotan miring dari para dalang yang lebih senior. Keberaniannya untuk terus memunculkan ekspresi itu, maka sekarang ini mendapat julukan “dalang edan”.

Keberanian itu dilakukan juga oleh Eko Tunas yang melakukan pentas monolog dengan menggunakan bahasa Tegal. “Enyong bae tau nglakoni kelililing nggawakena monolog Tegalan. Dadi seni teater monolog tapi nganggo bahasa Tegal. Malah tau dipentasna nang kota-kota sing bahasane bandekan utawa nang Jakarta sing bahasane lu gue. Jare sing nonton menarik. Menarik nang kene kira-kira artine ya monolog nganggo bahasa Tegal krasa luwih ekspresif, timbang nganggo bahsa Indonesia. ”Kata Eko Tunas. (saya juga pernah melakukan keliling membawakan monolog Tegalan. Jadi seni teater monolog tetapi memakai bahasa Tegal. Bahkan pernah dipentaskan di kota-kota yang berbahasa bandekan atau di Jakarta yang memakai bahsa lu gue. Menurut yang menonton sangat menarik, disini kira-kira artinya monolog memakai bahasa Tegal terasa lebih ekspresif dibanding memakai bahsa Indonesia).

Menjaga eksistensi bahasa tegal
Pasal 32 UUD 45 ayat (2) bahasa jawa disebut bahasa daerah. Ditetapkan dalam pasal itu bahwa “ negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. ”Selanjutya dalam penjelasan pasal 36 ditetapkan bahwa “di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri, yang dipelihara oleh  rakyatnya dengan baik-baik, bahasa-bahasa itu dihormati dan dipelihara juga oleh Negara. Bahasa-bahasa itupun merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup.”

Sebagai warga disebuah daerah tentunya sangat bangga dengan bahasa ibu, demikian juga dengan orang  Tegal banyak seniman terus menghidupkan kembali bahasa Tegal agar tak menjadi sekedar bahasa komunikasi sehari-hari warga Tegal. Tetapi lebih luas lagi dipahami diberbagai kota di Indonesia dan juga bukan lagi sebagai bahasa lawakan. Seperti (alm) Parto Tegal (aktor film angkatan Ratno Timur) pada tahun 77 an berperan sebagai seorang perwira polisi yang memberantas sindikat narkotika dalam serial sintron (pada saat itu memakai istilah TV play) di TVRI dan juga berperan sebagai  seorang letnan dalam film Letnan Harahap. Ketika kembali ke kampung halamannya mendirikan Teater Warung Tegal bersama (alm) Sujai.S dan Hadi Utomo berusaha mendongkrak bahasa Tegal dengan membuat sandiwara radio guyon tegalan dari tahun 1991 - tahun 1996 telah menjadi salah satu acara yang menjadi pilihan pendengar dari Pekalongan hingga Cirebon. perjuangan Parto Tegal dalam mengembangkan bahasa Tegal mengalami kemacetan ketika mulai mendapat job-job sinetron dari Jakarta, hingga pada tahun 1997 meninggal dunia, yang paling mengagumkan dari almarhum adalah menyimpan rapat nama aslinya Suparto Prayitno, karena lebih bangga dengan nama Parto Tegal.

Upaya menjaga kepunahan bahasa ibu yang kini tengah berlangsung dan mengembangkan bahasa Tegal para pelaku kesenian dan pemerintah melakukan berbagai cara. Pemerinta kota Tegal juga telah 5 tahun lebih melakukan pembuatan film-film documenter dengan tema-tema nasional tetapi dialognya memakai bahasa Tegal. Pementasan monolog dengan bahasa Tegalpun bukan hanya Eko Tunas, tetapi sekarang telah dilakukan pula oleh aktor-aktor teater Tegal. Bahkan beberapa moment upacara memakai bahasa Tegal. Trend penggunaan bahasa daerah yang dilakukan oleh para komedian di televise tak hanya bahasa Tegal, sebelumnya bahasa batak dan Madura. Namun untuk bahasa Tegal banyak persepsi yang muncul dari itu semua, seperti yang dilakukan oleh para komedian itu adalah bahasa (dialek) banyumasan, bukan bahasa Tegal. Tetapi masyarakat telah terlanjur mengatakan sebagai bahasa Tegal.

Sebagai sebuah gerakan melahirkan alternatif medium tutur, Sastra Tegalan bolehlah disebut berhasil merebut perhatian publik. Menulis dengan bahasa ibu bagi sastrawan Tegal dapat menjadikan mereka menemukan jatidirinya. Namun kegairahan ini perlu disikapi secara hati-hati. Jangan sampai semangat Tegalan mengendurkan semangat produktif menulis dalam teks-teks yang bersifat ‘nasional’, baik dalam hal penggunaan bahasa Indonesia maupun pencapaian estetika baru dalam panggung sastra nasional. Apalagi banyak kalangan menilai produksi sastra dari Tegal mengalami kemunduran. Selain diramaikan sastrawan veteran, nyaris tak lahir generasi baru sastrawan Tegal hari-hari ini. Gerakan Sastra Tegalan tentu bukan untuk menjauhkan sastrawan Tegal dari panggung sastra nasional.
Usaha banyak seniman Tegal yang antara lain dipelopori Lanang Setiawan dalam usaha mendudukan ketegalan mereka dalam sastra. Sastra Tegalan “diproklamasikan” sejak tahun 1994, ketika Lanang Setiawan mengalih bahasakan puisi W.S Rendra Nyanyian Angsa menjadi Tembangan Banyak. Usaha Lanang ini diikuti banyak sastrawan Tegal lain seperti Rofie Dimyati yang menerjemahkan Rick dari Corona menjadi Rick Sing Corona, disusul Nurhidayat Poso yang menerjemahkan Laki-Laki dan Perempuan (F. Rahardi) menjadi Wong Wadon Karo Wong Lanang, juga puisi Emha Ainun Nadjib Lima Menit Saja, Lima Menit Saja menjadi Lima Menit Bae, Lima Menit Bae oleh M. Enthieh Mudakir. Masih ada Sajak Orang Tua tentang Bandung Lautan Api (Rendra) yang diterjemahkan menjadi Sajak Wong Tuwa Tikruk-Tikruk Soal Bandung Segara Geni oleh Nurngudiono.

Karya-karya ini kemudian dibukukan dalam Roa, Kumpulan Sajak Penyair Indonesia Terjemahan Tegalan (Lanang Setiawan (ed), Mimbar pengajian Seni Budaya Tegal, 1994) dan untuk pertama kalinya dibacakan di depan publik sastra pada acara Pentas Sajak Penyair Indonesia Terjemahan Tegalan di Taman Budaya Surakarta (kini Taman Budaya Jawa Tengah) Solo tanggal 28 Juli 1994. Publik sastra terperanjat. Sebagian menganggap usaha ini memiliki daya pikat, dianggap kreatif mengalihbahasakan puisi kedalam bahasa yang selama ini kerap diasosiasikan sebagai bahasa lawakan di panggung komedi kita, sebagai sesuatu yang tak terpikirkan sastrawan lain sebelumnya. Tak sedikit pula yang menganggap langkah ini mendompleng karya-karya penyair yang sudah mapan. Menanggapi respons publik sastra, sastrawan Tegal tak patah arang. Mereka kemudian menjawab dengan menerbitkan sejumlah buku dan antologi Puisi Tegalan, kali ini karya mereka sendiri. Berturut-turut kemudian terbit, antara lain Kumpulan Puisi Tegalan, Penyair Angkatan Tegal-Tegal (SL Gaharu, Lanang Setiawan (ed), Tegal-Tegal, 2005), Brug Abang, Kumpulan Puisi Tegalan (Dwi Ery Santoso, Dewan Kesenian tegal, 2006) hingga yang terbaru Ngranggeh Katuranggan, Kumpulan Puisi Tegalan (Lanang Setiawan (ed), Dewan Kesenian Tegal, 2009).
Atas kerja keras kesenian Lanang Setiawan dalam mempopulerkan Tegalan sebagai genre baru sastra untuk kurun waktu lebih dari 15 tahun terakhir. Menulis untuk sejumlah antologi puisi Tegalan dan naskah novel Tegalan, penghargaan Sastra Rancage 2011 untuk Sastra Jawa Dialek Tegalan menjadi semacam lifetime achievement award bagi Lanang Setiawan, usahanya memajukan kesusastraan Tegal yang secara generik disebut Sastra Tegalan. Harus diakui Lanang Setiawan memang banyak berada di belakang usaha penerbitan karya Sastra Tegalan. Selain menjadi editor rupa-rupa antologi Puisi Tegalan, Lanang menerbitkan kumpulan Puisi Tegalannya sendiri bertajuk Nggayuh, menulis naskah Novel Tegalan Meradang (sebelumnya berjudul Tegal Bledukan), Kamus Tegalan, kumpulan tulisan 99 Wangsalan Tegalan, naskah sandiwara radio untuk episode di Radio Serenada Slawi, kumpulan kolom Anehdotegalan yang terbit setiap pagi di Harian Pagi Nirmala Post sebelum harian ini gulung tikar yang saat itu menjadi Redaktur Budaya. Ia juga menulis naskah drama campuran Bahasa Tegalan dan Indonesia yang ia beri judul Ni Ratu, Ken Angrok Gugat, Suti Gandrung, dan Lenggaong, Asmara Nyi Ronggeng. Bahkan yang disebut terakhir menjadi salah satu bahan Indonesianis asal Australia Richard Curtis dalam penulisan disertasinya. Lanang Setiawan juga menulis lagu Tegalan, diantaranya Rika Tega Enyong Tega, Lagi Kedanan dan terutama Tragedi Jatilawang.
Selain Lanang Setiawan ada juga Nurngudiono yang mengembangkan lagu-lagu tegalan dalam kemasan musik kreatif. Selain pernah mendirikan Kelompok Musik Ngiongsoran pada tahun 1987, juga mendirikan KMSWT (Kelompok Musik Sastra Warung Tegal) pada tahun 1996. Hingga sekarang masih rutin tampil tidak hanya dalam ajang apresiasi seni ansich, tetapi juga ditanggap dalam acara-acara seremonial. Kehidupan KMSW pernah difilmkan menjadi sebuah film dokumenter. Tujuannya untuk dijadikan referensi budaya sebagai memperkaya khasanah kajian proses berkesenian yang ada di tengah masyarakat. Sedangkan syair lagu-lagu yang ditulis setelah dialihbahasa kedalam syair berbahasa Inggris oleh pengamat kebudayaan dari Australia, Richard Curtis. Lagu-lagu tersebut dibawa kenegeri kanguru, dijadikan bahan kajian seni di sebuah universitas di Australia.

Nurngudiono selain suka bermusik, juga menulis lirik dan membuat lagu hingga berhasil rekaman. Album pertamanya ‘Kembang Geni’ (bersama Lanang Setiawan). Disusul dengan album kedua ‘Babon Ngoyok-oyok Jago’. Kemudian membuat lagu ‘Tegal Keminclong Moncer Kotane’. Lagu tersebut dijadikan ikon kota Tegal. Lagu ‘Babon Ngoyok-oyok Jago’ tercipta setelah mencermati perkembangan kehidupan masyarakat dan jaman yang semakin jungkir balik, sebagaimana pernah diramal pujangga Ronggowarsito ratusan tahun silam. Lagu itu menggambarkan fenomena jaman watu itu. Kehidupan sosial masyarakat yang tidak lagi sesuai dengan tata adat kehidupan bernilai positif. Kehidupan masyarakat yang melanggar adat kebiasaan alias jaman edan itu tersirat dalam syairnya:

Babon ngoyok-oyok jago                (ayam betina mengejar-ngejar jago)
jamane jaman edan                         (jamannya jaman edan)
akeh babon ngoyok-oyok jago     (banyak ayam betina mengejar-ngejar jago)
sing bener dadi salah                     (yang benar jadi salah)
sing salah dadi bener                     (yang salah jadi benar)
jamane jaman edan                       (jamannya jaman edan)


Janji pancen gampang                   (janji memang gampang)
ngomong pancen gampang            (ngomong memang gampang)
sing penting ana buktine                (yang penting buktinya)
sing penting ana nyatane               (yang penting kenyataannya)
suradadi kotane                             (suradadi kotanya)
sing penting nyatane…….              (yang penting kenyataannya)

Hal yang paling membuat Nurngudiono merasa trenyuh sekaligus bangga, lantaran lagu ‘Dolanan Rakyat’ yang iramanya enak dinikmati, syairnya penuh satire meski tidak teramat vulgar, ternyata disukai kaum demonstran. Termasuk para mahasiswa, pada era reformasi lagu itu menjadi yel-yel favorit dan dikumandangkan di tengah-tengah orasi politik di berbagai kota.

Dolanan rakyat                    (mainan rakyat)
rakyate nggo dolanan          (rakyatnya untuk mainan)   
aja kaya kuwe                      (jangan seperti itu)
aja dolanan rakyat….          (jangan mainan rakyat)

Syair-syair Nurngudiono yang diilhami dari pergulatannya dengan masyarakat pedesaan inipun awalnya mementaskan lagu-lagu tersebut di kampung-kampung memberikan dampak positif seperti apresiasi murni dari masyarakat sehingga kesan yang dirasakan lebih awet.bermanfaat untuk menghibur masyarakat dengan sajian yang mendidik dan bermoral dapat langsung dinimati masyarakat. Karena itu, mantan Ketua DKT ini beranggapan, panggung desa itu lebih besar dari gedung kesenian bahkan panggung seni manapun. Di pelataran kampung di antara rumpun bambu meski alat penerangnya mengandalkan cahaya bulan purnama ataupun sederet obor bambu. Sedangkan para penontonnya bukan pejabat tinggi serta para pengusaha. Melainkan para tetangga di sekitaranya. Dengan cara seperti itu, justru ekpresi dalam berkesenian semakin cermat. Karena audiennya orang-orang yang polos. Ketika lucu ya tertawa. Ketika tidak paham ya melongo. Bahkan ikut bergoyang tanpa rikuh saat ada sajian lagu yang menyentilnya untuk bergoyang. Alasan itu, sehingga diprakarsai sebuah pementasan seni di kampung. Dan tercetuslah adanya Kampeong Seni Desa Bedug.
Dalam upaya menghidupkan kembali bahasa Tegal para pelaku kesenianpun terus memacu karya-karya bukan hanya dengan bahasa Indonesia, tetapi juga diimbangi dengan bahasa Tegal. Setelah Parto Tegal ada Dimas Riyanto pencipta lagu yang biasa membuat lagu-lagu pop berbahasa Indonesia, sejak tahun 1978 yang kemudian tahun 1992 memulai menciptakan lagu-lagu berbahasa Tegal. Pada tahun 1994 album “Nyong Cinta Padamu” meledak dipasaran yang kemudian disusul dengan lagu “Ana Crita Ana Kanda”, “Plesiran Nang Tegal” tahun 1995,  “Mbokan Jodhone” tahun 2009. hingga sekarang masih terus berkreasi dalm lagu-lagu berbahasa Tegal. Dalam bidang ini Dimas Riyanto tak sendirian, sebelumnnya ada Najeeb pada tahun ’80 melejitkan lagu tegalan yang pertama kali “Man Draup’ sebuah karya yang menumental dan sebagai barometer untuk lagu-lagu tegalan berikutnya. Lagu “Man Draup” berkisah tentang seorang tukang becak, karena sebagian besar kaum urban dari Tegal memang di Jakarta sejak tahun 60-an banyak warga Tegal yang berpenghidupan sebagai tukang becak dalam perjalanan berikutnya muncullah Warteg (Warung Tegal). Usaha Najeeb menghidupkan bahasa Tegal lewat lagu-lagu ini jauh sebelum lagu-lagu dangdut cirebonan yang sekarang merebak di pasaran.

Bahasa (dialek) Tegal diperkenalkan menjadi bahasa yang lebih memiliki greget dalam riuhnya kreativitas para seniman melalui ‘perlawanan’ terhadap bahasa ‘wètanan’. Salah satunya menterjemahkan puisi-puisi nasional ke dalam bahasa Tegalan dan membacakannya di Teater Arena Taman Budaya Surakarta, 28 Juli 1994 lalu yang kemudian disusul pemetasan di berbagai kota. Tidak mengherankan kalau kemudian sejumlah literature terbitan Tegal, kaset sandiwara, naskah-naskah drama dan lagu-lagu Tegalan serta tulisan para sastrawan Tegal telah terdokumentasi di perpustakan ‘School of Social Sciences Curtin University, Kent St. Bentley, 6102 WA, Perth Australia Barat’. Hal ini dilakukan Dr. Richard Curtis, seorang peneliti bahasa dan budaya lokal yang dalam tesisnya ‘Popular Performance and Wong Cilik Sentiment In Tegal During The 1990s’ banyak mengambil referensi sastra dan budaya Tegalan.

Para pelaku seni di kota Tegal tak pernah surut untuk terus mengembangkan bahasa ibu ini dengan berbagai cara dilakukan, antara lain dengan mengajak para pejabat eksekutif dan legeslatif  yang biasa memakai bahasa Indonesia ataupun bahasa jawa standar mulai dirangkul untuk lebih menggeluti bahasa Tegal. Dimulai dengan diajak untuk membaca puisi bahasa tegal. Ini menandakan bahwa Tegalan sudah mendapat tempat. Tidak mengherankan kalau bahasa Tegal itu kemudian banyak dipakai untuk himbauan-himbauan, jingle iklan radio berbahasa Tegal, kaset dan VCD lagu-lagu Tegalan, brosur, spanduk promosi sampai pada slogan ‘Tegal Keminclong Moncèr Kotané’ dan Kabupaten Tegal dengan ‘Ngangeni lan Mbetahi’. Bahasa Tegal telah menjadi sebuah kebanggaan dan jatidiri masyarakat Tegal.

Bahasa prokem
Bahasa (dialek) Tegal yang lebih pada bahasa pergaulan tidak ketinggalan dengan daerah lain yang memiliki bahasa prokem yang botabenenya adalah basa gaul yang konon di Tegal berkembang sejak perang kemerdekaan melawan belanda sebagai bahasa sandi. Pada tahun 70-80 an di Tegal muncul 2 bahasa prokem yang sering dipakai dalam pergaulan anak-anak muda.

1. Pola pembentukan bahasa gaul Tegal menggunakan distribusi fonem.
   Contoh kata jasak berasal dari kata bapak (bapa). Di sini huruf B
   digeser (diganti) dengan huruf J, dan huruf P diganti dengan huruf S.
   Sementara huruf hidup (vokal) tidak mengalami perubahan.
   Kosa kata bahasa gaul Tegal
   Asal kata    Bahasa Gaul Tegal
   enak yekan     
   Meneng (diam)    trekeng     
   Uwong (orang)    tong     
   ngomong    nyotong     
   Beleh/Ora (tidak)    jegeh     
   minum    nyikung     
   Ana (ada)    yaka     
   Edan (gila)    yerak     
   duit    cut    

2. Pola pembentukan bahasa gaul Tegal dengan suku kata yang dibalik.
    Kosa kata bahasa gaul Tegal
    Asal kata    Bahasa Gaul Tegal     
    Mangan (makan)    nganma     
    Nginung (minum)    nungngi     
    Lunga (pergi)    nganlung     
    Teka (dating)    kate     
    Sikil (kaki)    kilsi     
    tangan    nganta     
    motor    tormo     
    mobil    bilmo     
    Dalan (jalan)    landa   

Kata prokem sendiri merupakan bahasa pergaulan kalangan tertentu agar dalam berkomunikasi satu sama lain secara rahasia. Agar kalimat mereka tidak diketahui oleh kebanyakan orang, mereka merancang kata-kata baru dengan cara yang dikehendai/disepakati. Masing-masing komunitas (daerah) memiliki rumusan sendiri-sendiri. Pada dasarnya bahasa ini untuk memberikan kode kepada lawan bicara. Belakangan ini bahasa prokem mengalami pergeseran fungsi dari bahasa rahasia menjadi bahasa pergaulan anak-anak remaja. Dalam konteks kekinian, bahasa pergaulan anak-anak remaja ini merupakan dialek bahasa non-formal yang terutama digunakan disuatu daerah atau komunitas tertentu.
Dari sebuah keberanian orang Tegal menjadi kreatif dan bahasa Tegal terus berkembang Misalnya, untuk menyebut ‘kikir’ atau ‘pelit’, orang Tegal membuat istilah ‘tainé digorèng’. Untuk mengungkapkan ‘tidak tahu diri’ dengan istilah ‘kaya ora weruh sing nggèyong’ dan ada juga istilah dlawèran itu dari kata ‘dlèwèr’ yang berarti alir, dengan awalan huruf ‘N’ menjadi ‘ndlawèr’ artinya mengalir. Ketika diimbuh akhiran ‘AN’ menjadi dlawèran. Sehingga orang yang berkata-kata dengan mengalir begitu saja dari mulutnya tanpa dipikir dan tidak ada bukti, disebut ‘dlawèran’.
bahasa Tegal adalah sebuah karakter yang keras dan lugas, vulgar dan blakasuta. Karakter yang menjadikan keunikan bahasa Tegal dalam penebalan fonem pada beberapa huruf serta pelafalan dengan cengkok dan gaya bahasa yang spesifik. Kosakata bahasa Jawa baku yang berubah total seperti teka menjadi anjog, nyruduk menjadi numbleg, nglongok menjadi nglodod, rusak menjadi bodol, dan ratusan kosakata lainnya dengan fonem yang ditebal-tebalkan. Hal ini menyebabkan bahasa Tegal terdengar ‘kasar’..
“Bahasa Tegalan tidak akan punah! Ini menandakan bahwa Tegalan sudah mendapat tempat. Saya sedang menginventarisasi kosakata dan idiom yang digunakan dalam bahasa Tegal. Sudah ratusan yang terkumpul sampai sekarang belum kelar dan tidak akan selesai. Permasalahannya, perkembangan kosa kata Tegalan itu liar dan ‘dlawèran’ tak pernah mandeg!”  kata Hadi Otomo yang selalu menjadi rujukan dalam penggalian bahasa Tegal dan masih terus mencari kata dari bahasa tegal yang sekarang ini telah jarang digunakan

(*)
(dari berbagai sumber)

ikon pdf


kds penutup
wangsul-manginggil 

  • < 39 Basa Jawa Pantura Ora Kecatet nanging Tembang lan Geguritane Ngrambah Nuswantara
  • 42 Parikan minangka Idhentitas lan Sarana Regulasi Sosial ing Masyarakat Surabaya >

Ki-demang.com : Kongres Bahasa Jawa 5, Dibuat oleh: Ki Demang Sokowaten About - Privacy