| Makalah Kunci (#02) |
|
Simbol Dan Filsafat Jawa - Transformatif Dan Sinkretis I. Pengantar
Transformasi di sini didefinisikan sebagai peralihan atau pergantian yang terjadi pada struktur permukaan (surface structure) dari suatu perangkat simbol, sementara struktur dalamnya (deep structure) tetap. Konsep transformasi di sini diambil dari bi-dang ilmu bahasa (linguistik). Transformasi terlihat cukup jelas pada bahasa. Kalimat-kalimat “Silahkan saudara pergi ke kota”, “Silahkan pergi ke kota”, “Pergilah ke kota”, dapat dilihat sebagai kalimat-kalimat yang merupakan transformasi satu dari yang lain, dengan struktur dalam atau “pesan”, yang tidak berubah. Relasi transformasional di antara tiga kalimat ini terlihat dengan lebih mudah jika kita menyusun kalimat-kalimat tersebut sebagai berikut
Silahkan ……….. pergi ke kota ..…………………Pergilah ke kota
Kula badhe dateng kitha I will go to the town
Sinkretisasi dapat disa-makan dengan penyesuaian (adaptasi) (Ahimsa-Putra, 2008), yang merupakan sebuah proses “combining original and foreign traits either in harmonious whole or with reten-tion of conflicting attitudes which are reconciled in everyday behavior according to spe-cific occasions (Beals, 1953: 630). Saya sendiri mendefinisikan sinkretisasi sebagai upaya untuk mengubah, menyatukan, menyelaraskan dua atau lebih seperangkat prin-sip atau simbol yang berbeda atau berlawanan sedemikian rupa sehingga terbentuk suatu perangkat prinsip atau perangkat simbol baru, yang berbeda dengan perangkat-perangkat prinsip atau simbol sebelumnya (Ahimsa-Putra, 2001: 355).
Simbol berupa gagasan merupakan simbol yang paling abstrak, dan karena itu tidak dapat diamati. Simbol-simbol yang berupa gagasan ini hanya dapat diketahui kebera-daannya melalui perwujudannya yang relatif paling akurat, yakni bahasa. Dalam hal ini perlu dipahami betul perbedaan bahasa sebagai perangkat simbol dengan gagasan se-bagai perangkat simbol. Kata-kata seperti “kapitalisme”, “komunisme”, “liberalisme” “ek-sistensialisme”, dan sebagainya, semuanya memiliki makna-makna terentu yang dapat kita nyatakan dengan relatif jelas. Oleh karena itu, itu semua dapat dikatakan sebagai simbol dalam wujud “bunyi”, karena yang kita tangkap pertama kali adalah bunyi kata “kapitalisme”, “komunisme”, “liberalisme” dan sebagainya, yang maknanya dapat kita paparkan sedemikian rupa, sehingga orang lain mengerti makna kata-kata tersebut. Makna kata itulah yang kita maksud dengan gagasan tentang “kapitalisme”, “komunis-me”, “liberalisme” dan sebagainya.
Bahasa dalam perangkat simbol berupa bunyi yang dihasilkan oleh manusia melalui kerongkongan dan mulutnya telah memungkinkan manusia bercakap-cakap dengan mudah dan cepat, dan proses komunikasi dapat berlangsung melalui sarana-sarana seperti telepon, radio, televisi dan sebagainya. Dengan adanya bahasa inilah komunitas, masyarakat dan kebudaya-an dalam kehidupan manusia terbentuk. Dengan kata lain, sistem simbol berupa baha-sa inilah yang telah memungkinkan manusia mencapai kemanusiaannya.
Pandangan-pandangan itu pula yang mendorong para ahli bahasa dan ahli antropologi -yaitu para ahli etnolinguistik- berupaya keras untuk melestarikan bahasa-bahasa yang ada di dunia dengan cara mencatat dan merekam bahasa-bahasa tersebut. Kelestarian suatu kebudayaan sangat ditentukan oleh keles-tarian bahasa yang mendukungnya, karena gagasan-gagasan, pandangan hidup, nilai-nilai, norma-norma dan berbaga aturan lainnya, yang bersifat abstrak umumnya tersim-pan dalam bahasa. Dalam konteks pandangan seperti inilah bahasa dan sastra Jawa menempati kedudukan yang sangat penting bagi keberadaan dan kelestarian budaya Jawa.
Tindakan adalah perilaku yang ditujukan untuk orang lain, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Ketika seseo-rang makan dengan maksud untuk menyenangkan pihak yang lain, misalnya orang tua, maka makan di sini adalah sebuah tindakan. Ketika seseorang membaca buku dengan maksud untuk membuat gurunya senang, maka membaca buku tersebut merupakan sebuah tindakan. Untuk menekankan keterhubungan tindakan tersebut dengan orang lain, “tindakan” (action) sering juga disebut sebagai “social action” (tindakan sosial). Ak-tivitas adalah rangkaian tindakan yang diwujudkan bersama-sama dengan orang-orang yang lain, seperti misalnya menonton sepakbola, menonton televisi bareng, makan-ma-kan bareng, bersepeda bareng, dan sebagainya.
Kehidupan kita sehari-hari pada dasarnya merupakan kehidupan simbolik, karena kita selalu memaknai perilaku kita sendiri maupun perilaku orang lain; kita selalu memaknai tindakan kita sendiri maupun tindakan orang lain; kita selalu memaknai aktivitas kita sendiri maupun aktivitas orang lain. Ketika kita berinteraksi dengan orang lain, kita memaknai tidak hanya bunyi-bunyi yang keluar dari mulutnya yang ditujukan kepada kita, tetapi juga gerak-geriknya ketika dia berbicara kepada kita. Oleh karena itulah, interaksi di antara kita, di antara manusia pada dasarnya adalah interaksi-interaksi simbolik, interaksi-interaksi dengan menggu-nakan perangkat simbol sebagai sarananya.
Oleh karena itu, budaya Jawa atau kebudayaan Jawa dapat didefinisikan sebagai perangkat simbol-simbol yang digunakan oleh orang Jawa untuk melestarikan kehidup-annya, yang diperoleh melalui proses belajar dalam kehidupan mereka sebagai warga masyarakat Jawa.
Filsafat Jawa dengan demikian merupakan salah satu unsur budaya Jawa dalam wujud utama berupa gagasan-gagas-an atau pengetahuan. Sebagai gagasan, sistem filsafat Jawa ini tentu harus dapat me-wujud dalam kehidupan sehari-hari. Jika tidak, maka keberadaannya tidak akan diketa-hui. Wujud sistem filsafat ini bisa berbagai macam. Paling tidak sistem ini harus mewu-jud melalui bahasa, kemudian melalui perilaku-perilaku, tindakan dan aktivitas, dan da-lam rupa benda-benda fisik atau material. Analisis atas pewujudan-pewujudan empiris filsafat ini akan memungkinkan kita mengetahui keadaan, sifat serta dinamika filsafat tersebut.
[1]] . Dari telaah ini akan dapat kita ketahui bebera-pa ciri budaya Jawa, yang mungkin juga ada dalam budaya-budaya yang lain. Pemilih-an episode dan kisah ini bersifat acak, tetapi purposive. Artinya, episode yang dipilih adalah yang saya anggap menunjukkan ciri-ciri tertentu yang saya akan memudahkan saya menemukan sifat dan ciri tertentu dari budaya Jawa.
Transformasi Hindu – Islam
Dalam proses pencarian ini Bima menghadapi berbagai godaan baik yang berupa bujukan dan hasutan, yang datang dari saudara-saudaranya, maupun rintangan-rintangan yang lebih kongkrit sifat-nya, yang datang dari tokoh-tokoh seperti Begawan Maenaka atau Bayu Langgeng, Gajah Situbanda atau Bayu Kanitra. Namun karena kemauan yang begitu kuat, Bima akhirnya dapat mengatasi berbagai rintangan dan cobaan ini. Puncak dari kisah ini adalah ketika di tengah lautan Bima bertemu dengan tokoh yang mirip dengan dirinya sendiri, tetapi dengan ukuran badan yang jauh lebih kecil. Tokoh inilah yang dikenal se-bagai Dewaruci. Sang Bima kemudian diminta masuk ke tubuh sang Dewaruci melalui telinganya. Di itu Bima kemudian memperoleh pengetahuan dan wejangan mengenai kehidupan dan jati diri.
Dalam konteks ini asal-usul atau predikat pewayangan sebagai unsur budaya dari masa pra-Islam, dan pada glegernya mungkin dianggap bersifat Hindu-Bu-dhistis dan Jawa, menjadi tidak begitu penting lagi, sebab itu semua lantas dipandang tidak lebih dari sebuah "baju" atau wadhah yang tidak bertentangan dengan "isi", yaitu Islam itu sendiri. Dilihat dari sudut pandang ini, maka wujud fisik menjadi tidak penting. Wadhah dalam arti wujud fisik luar, bisa saja tetap Jawa atau Hinduistis, tetapi rohnya sudah Is-lam. Badan wadak orang Jawa serta pakaiannya misalnya, memang berbeda dengan orang Arab. Namun demikian hal itu tidak menghalangi orang Jawa untuk menjadi Is-lam atau bahkan menjadi lebih Islami daripada orang Arab sendiri. Di sini "isi" menjadi lebih penting daripada wadhah, sebagaimana tersirat dari apa yang dilakukan oleh nabi Khidir a.s. ketika mengajarkan ilmunya pada nabi Musa a.s. Secara lahiriah dan syari-ah (wadhah), tindakan Nabi Khidir membunuh seorang anak yang tidak bersalah, dan melobangi perahu seorang nelayan tanpa "sebab-sebab yang jelas", jelas-jelas salah. Meskipun demikian, secara "isi", artinya dilihat dari sudut pandang yang lain, tindakan nabi Khidir ternyata dapat dibenarkan dan masuk akal. Nabi Khidir sendiri melakukan semuanya atas dasar pengetahuan yang diperolehnya langsung dari Yang Maha Tahu. Di sini "isi" memang menjadi lebih penting daripada wadhah.
Dalam pembukaan kitab Babad Tanah Jawi tertulis sebagai berikut:
Batara Guru setelah mendengar peristiwa ini menjadi amat murka. Tak pandang putra sendiri, amarahnya meluap-luap kepada Wisnu. Batara tak ada ampun lagi, dan dijatuhkanlah hukuman padanya. Batara Narada segera diutus memberita-hukan kepada sang Wisnu supaya dia segera meninggalkan istana dan keraja-an, tidak boleh bertemu dengan isteri kekasih hatinya. Batara Wisnu diusir dari kadewataan dan mendapat kutukan. Baginya tak bisa lain kecuali tunduk pada ayahnda, menyerahkan seluruh takhta kekuasaan kepada Batara Narada seba-gai penggantinya. Sang Wisnu berangkat meninggalkan kerajaannya menyusup hutan. Akhirnya bertekadlah dia untuk melakukan tapa brata di suatu tempat di bawah deretan beringin kembar tujuh" (Sudibyo, t.t: 7)
"Oleh karena kesuciannya dan terbebasnya Yudhistira dari nafsu angkara murka, nafsu amarah, maka Yudhistira tidak bersedia maju perang. Untuk melindungi-nya Batara Guru memberinya sebuah ajimat yang bernama Serat Kalimusada. Ajimat ini dapat menjauhkan musuh dan memelihara ketenangan dan ketente-raman kerajaan Pandawa, dan bahkan dapat menghidupkan orang yang mati. Serat Kalimusada (Jimat Kalimusada) ini adalah sebuah teks yang ditulis dalam tulisan dan bahasa yang tidak dimengerti oleh Yudhistira. Oleh karena memiliki jimat ini maka Yudhistira tidak dapat mati atau dibunuh. Oleh karena itu pula dia tetap terus hidup berabad-abad setelah Pandawa yang lain meninggal dan ber-kelana sendirian di hutan. Setelah lama sekali berada dalam pengembaraan, Yu-dhistira bertemu dengan Sunan Kalijaga yang telah menyebarkan agama Islam. Sunan Kalijaga dapat membaca tulisan pada jimat tersebut sebab ditulis dalam bahasa Arab. Bunyi tulisan tersebut adalah "Aku bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad Rasul Allah". Dengan mengucapkan kalimat ini dan me-nerima serta meyakini kebenarannya, Yudhistira dapat mati sebagai seorang Muslim sebagaimana telah ditakdirkan oleh Allah" (Woodward, 1989).
Dari penelitiannya mengenai berbagai budaya suku-sukubangsa di Indonesia, yang didasarkan pada berbagai etnografi yang dihasilkan oleh para penjelajah, pengelana, pegawai pemerintah dan missionaris (pengInjil) yang telah datang ke Indonesia, J.P.B. de Josselin de Jong (1977) telah mengemukakan sebuah teori mengenai karakter, si-fat, corak dari kebudayaan-kebudayaan yang ada di Indonesia. Menurutnya pada kebu-dayaan suku-sukubangsa di Indonesia memperlihatkan tiga ciri utama [[12]]
VI. Penutup
¨ Ahimsa-Putra, H.S. 2000. “Islam Jawa dan Jawa Islam: Sinkretisasi Agama di Jawa”. Tembi 1 (1): 10-19. ¨ _________. 2008 (2001). Strukturalisme Lévi-Strauss, Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta:Kepel Press. ¨ _________. 2011. Menafsir Kebudayaan, Memahami Karakter (Suku)Bangsa: Perspektif Antropologi. Makalah seminar. ¨ Beals, R.L. 1953. “Acculturation” dalam Anthropology Today: An Encyclopedic Inventory, A.L.Krober (ed). Chicago: The University of Chicago Press. ¨ Benedict, R. 1989 [1934] . Patterns of Culture. Boston: Houghton Mifflin. ¨ Geertz, C. 1973. The Interpretation of Cultures. New York : Basic Books. ¨ Josselin de Jong, J.P.B. de. 1977. “The Malay Archipelago as a Field of Ethnological Study” dalam Structural Anthropology in the Netherlands, ¨ P.E.de Josselin de Jong (ed.). Martinus Nijhoff: The Hague. ¨ Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. ¨ White, L. A. 19 . The Science of Culture. New York: Farrar. [1] Beberapa analisis ini telah terbit dalam majalah Tembi 1 (1): 10-19 (2000) dan menjadi bagian dari buku saya, Struk-turalisme Lévi-Strauss, Mitos dan Karya Sastra (2001). [2]Seringkali juga air itu disebut Tirta Amarta atau Air Kehidupan. [3] Mengenai metode dakwah dan sejarah Walisongo ini bisa dibaca buku Widji Saksono (1995). Buku ini berisi pem-bahasan yang cukup lengkap tentang berbagai sumber mengenai Walisongo. [4] Dalam Al Qur'an dan hadits, tokoh Nabi Khidir ini memang juga disebut-sebut. Nabi Khidir a.s. inilah yang menurut kisah menjadi guru Nabi Musa a.s. Nabi Musa ingin berguru kepadanya. Keinginan ini semula ditolak, sebab nabi Khidir mengetahui bahwa nabi Musa tidak akan dapat sabar bersamanya, tetapi karena nabi Musa memaksa juga, perminta-annya kemudian dipenuhi oleh nabi Khidir. Namun demikian, pada akhirnya nabi Musa harus berpisah dengan nabi Khi-dir juga, sesuai dengan janji nabi Musa sendiri bahwa jika dia tidak dapat bersa-bar lebih dari tiga kali, mereka sebaik-nya berpisah, dan itu terjadi pada nabi Musa. Kisah ini sangat populer di kalangan umat Islam dan sangat digemari oleh mereka yang masuk dalam kelompok-kelompok tarekat, atau oleh mereka yang menyukai tasawuf (sufism). [5] Dalam konteks lain empat nafsu ini oleh orang Jawa sering juga dise-but sebagai sedulur papat (sedulur papat, lima pancer), dengan pancer (pusat) dirinya sendiri. Konsep ini juga terwujud dalam organisasi sosial moncopat, dan sistem ekonomi pasaran Jawa (lihat Van Ossenbruggen, 1977). [6] Pewayangan mungkin dianggap sebagai sesuatu yang tidak Islami oleh me-reka (1) yang tidak mengenal kisah-kisah pewayangan serta kisah-kisah tentang para Walisongo, yang telah mengIslamkan Tanah Jawa dengan strategi mereka yang sangat tepat; (2) yang mendefinisikan Islam sebagai ajaran-ajaran yang ada da-lam Al Qur'an, Hadits, dan pandangan para ulama Islam. [7] Di propinsi D.I.Yogyakarta, di kabupaten Kulon Progo, terdapat tempat yang disebut Suralaya, yang terletak di sa-lah satu puncak pegunungan. Pada hari tertentu (seingat saya pada tanggal satu Sura, atau Tahun Baru Jawa), tempat ini sangat ramai dikunjungi penduduk pedesaan. Dari tempat ini, kita dapat melihat candi Borobudur jauh di bawah kita. [8] "Kesulitan" dialami (mungkin) oleh mereka yang pernah mengenyam pendidikan umum dan pendidikan pesantren, tempat diajarkannya sejarah raja-raja Jawa dan sejarah agama Islam dari sudut pandang dan kerangka berfikir yang lain. [9]Sayang sekali, saya tidak mengetahui sejak kapan ceritera ini muncul dan siapa yang membuatnya. Namun me-nengok isinya tampaknya ceritera ini diciptakan untuk memudahkan proses penyebaran agama Islam di masa yang lalu. [10]Dalam dunia pewayangan sendiri (terutama wayang purwa) setahu saya tidak pernah dinyatakan secara eksplisit apa agama dari tokoh-tokoh wayang di dalamnya. [11] Sebagian orang Jawa percaya bahwa kisah wayang adalah kisah yang benar-benar terjadi di Jawa. Menurut mere-ka ini, dataran tinggi Dieng adalah padang Kurusetra tempat berlangsungnya Bharatayuda dalam kisah Mahabharata. Di kawasan ini -berbeda dengan kompleks percandian di Jawa lainnya-, candi-candi yang ada diberi nama dengan nama-nama tokoh wayang, seperi misalnya candi Bima, candi Puntadewa dan sebagainya. [12] Bagian ini saya ambil dari makalah saya “Menafsir Kebudayaan, Memahami Karakter (Suku)Bangsa: Perspektif Antropologi”, yang telah saya presentasikan dalam seminar “Psychology of the Nation”. |














