Mdang i Bhumi Mataram

beranda

ikon-buku-tamu

kerajaan-mataram-kuno

kumpulan-makalah

kumpulan-artikel

candi-yogyakarta
prambanan
   01 Kabupaten Sleman - 77
   02 Kabupaten Bantul - 7
   03 Kabupaten Gunung Kidul - 6
   04 Kabupaten Kulon Progo - 5
   05 Kota Madya Yogyakarta - 1

candi-jawa-tengah
borobudur
   01 Kabupaten Klaten - 13
   02 Kabupaten Magelang - 79
   03 Kabupaten Boyolali - 10
   04 Kabupaten Temanggung - 23
   05 Kabupaten Semarang - 14
   06 Kabupaten Banyumas - 8
   07 Kabupaten Wonosobo - 5
   08 Kotamadya Semarang - 5
   09 Kabupaten Kendal - 7
   10 Kabupaten Banjarnegara - 6
   11 Kabupaten Batang - 4
   12 Kabupaten Pemalang - 2
   13 Kabupaten Tegal - 2
   14 Kabupaten Brebes - 2
   15 Kabupaten Purwodadi - 1
   16 Kabupaten Kudus - 1
   17 Kabupaten Purworejo - 2
   18 Kabupaten Purbalingga - 1
   19 Kabupaten Kebumen - 2

 relief-borobudur
relief-O-01
01 Relief Karmawibhangga
02-Caca-Jataka-1
02 Relief Jataka

prasasti
ikon-prasasti

video
00-mataram-kuno-1
Aneka Video Medang

jumlah-pengunjung
368236
  Hari ini     :  Hari ini :374
  Kemarin     :  Kemarin :156
  Minggu ini   :  Minggu ini :526
  Bulan ini   :  Bulan ini :4225
  s/d hari ini   :  s/d hari ini :368236
Jumlah Kunjungan Tertinggi
28.10.2025 : 1113
Pengunjung Online : 31

kontak-admin
email-kidemang

Kumpulan Artikel
Tiga Prasasti Masa Balitung - Halaman : 02 / 14

II.  TINJAUAN SINGKAT SEJARAH DYAḤ BALITUNG

 

          Nama Dyaḥ Balitung dikenal sebagai salah satu dari raja-raja yang bertahta pada periode Mataram Kuno. Di antara raja-raja yang memerintah masa itu, Dyaḥ Balitung termasuk raja yang banyak mengeluarkan prasasti setelah Rakai Kayuwangi pu Lokapāla (778-804 Śaka). Sampai saat ini telah ditemukan 38 buah prasasti dari masa pemerintahan Dyaḥ Balitung (820-832 Śaka). Akan tetapi walaupun demikian belum dapat mengungkapkan secara lengkap sejarah di masa pemerintahannya yang hanya 12 tahun. Dari prasasti-prasasti tersebut, maka dapat diketahui bahwa Dyaḥ Balitung mempunyai empat gelar, yaitu:



1. Rake Watukura Dyaḥ Balitung Śrī Dharmmodaya Mahāśambhu,

2. Rakai Watukura Dyaḥ Balitung Śrī Iśwarakeśawasamarortungga,

3. Rake Watukura Dyaḥ Balitung Śrī Iśwarakeśawotsawatungga,

4. Janardanottungga Dyaḥ Balitung.

      Gelar rakai Dyaḥ Balitung menunjukkan bahwa ia seorang pangeran dari Kedu Selatan, yaitu dari daerah Watukura. Sampai saat ini nama dan letak Watukura tidak mengalami perubahan, yakni di tepi sungai Bogowonto, di kewedanaan Purwodadi, kabupaten Purworejo, Jawa Tengah (Poerbatjaraka, 1933: 514-520).



      Keterangan yang dianggap jelas mengenai identitas Dyaḥ Balitung dapat diketahui dari salah satu prasastinya, yaitu prasasti Mantyāsiḥ yang berangka tahun 829 Śaka. Di dalam prasasti itu disebutkan raja-raja Mataram Kuno yang pernah memerintah, yaitu:



1. Rakai Mataram Sang Ratu Sañjaya

2. Śrī Mahārāja Rakai Panangkaran

3. Śrī Mahārāja Rakai Panunggalan

4. Śrī Mahārāja Rakai Warak

5. Śrī Mahārāja Rakai Garung

6. Śrī Mahārāja Rakai Pikatan

7. Śrī Mahārāja Rakai Kayuwangi

8. Śrī Mahārāja Rakai Watuhumalang

lalu diikuti oleh raja yang mengeluarkan prasasti, Śrī Mahārāja Rakai Watukura Dyaḥ Balitung Śrī Dharmmodaya Mahāśambhu.

     Menurut B.J.O. Schrieke, raja-raja yang menunjukkan suatu silsilah, seperti halnya Airlangga dalam prasasti Pucangan (963 Śaka) dan Raden Wijaya dalam prasasti Kudadu (1216 Saka), sebenarnya tidak berhak penuh atas tahta kerajaan (Schrieke, 1957). Dan dalam kenyataannya Dyaḥ Balitung naik tahta karena perkawinannya, seperti yang disebutkan dalam prasasti Mantyāsiḥ. Karena dari prasasti itu diketahui bahwa pada saat Dyaḥ Balitung menikah, ia masih bergelar haji atau raja bawahan bukan srī mahārāja seperti yang disebutkan setelah ia mengeluarkan prasasti Mantyāsiḥ. Selain itu, di dalam prasasti Panunggalan (818 Śaka) [1] disebutkan bahwa Haji Rakai Watuhumalang memberi anugerah kepada ḍapunta di kabikuan Panunggalan atas hak perdikan daerah mereka. Jika benar Dyaḥ Balitung anak dari Rakai Watuhumalang, maka dapat disimpulkan bahwa Dyaḥ Balitung itu hanya anak seorang haji, bukan anak śrī mahārāja seperti yang tercantum di dalam prasasti Mantyāsiḥ. Lagipula di antara keempat gelarnya, Dyaḥ Balitung memakai kata dharmma (dharmmodaya mahāśambhu). Mengenai raja yang memakai gelar dharmma ini, R.M.Ng. Poerbatjaraka menafsirkanbahwa raja yang memakai
gelar demikian itu adalah raja yang naik tahta karena perkawinan (Poerbatjaraka, 1930: 171-183).

     Kasus Dyaḥ Balitung ini sama dengan kasus yang terjadi pada Airlangga dan Raden Wijaya. Hanya Airlangga maupun Raden Wijaya, di dalam prasastinya menyebutkan perkawinannya dengan putri raja yag memerintah sebelumnya. Sedangkan Dyaḥ Balitung tidak memberi keterangan dengan putri siapakah ia menikah? Seandainya perkawinan itu tidak mempunyai arti yang penting dalam kehidupan Dyaḥ Balitung selanjutnya, tentunya tidak akan disebut-sebut dalam prasasti Mantyāsiḥ.       

     Mengenai Dyaḥ Balitung bukan ahli waris yang sah, mungkin dapat disimpulkan dari kedudukan Dakṣa di dalam pemerintahannya. Dakṣa mempunyai kedudukan tertinggi setelah Dyaḥ Balitung, yaitu sebagai Rakryān Mahāmantri i Hino atau putera mahkota. Adapun gelar lengkapnya ialah Rakryān Mahāmantri/Mapatiḥ i Hino Śrī Dakṣottama Bāhubajrapratipakṣakṣaya.        

     Bagaimana sebenarnya hubungan Dyaḥ Balitung dengan Dakṣa? Menurut tambo dari dinasti Hsin-T'ang-Shu, raja dari Ho-Ling tinggal di kota She-P'o, tetapi salah seorang leluhurnya yang bernama Ki-Yen memindahkan ibukota kerajaan ke sebelah timur Po-Lu-Kia-Seu. Di sekitarnya ada 28 buah kerajaan kecil, dan tidak ada di antaranya yang tidak tunduk. Ada 32 pejabat tinggi kerajaan, yang terutama adalah Ta-Tso-Kan-Hiung (Groeneveldt, 1876: 13). Istilah Ta-Tso-Kan-Hiung oleh Boechari ditafsirkan sebagai "Dakṣa, saudara atau kakak (raja) yang gagah berani". Jadi dapat diartikan bahwa Dakṣa adalah saudara Dyaḥ Balitung. Mengingat Dyaḥ Balitung sebenarnya bukanlah orang yang berhak atas tahta, dan ia dapat naik tahta karena perkawinan, mungkin sekali bahwa Dakṣa adalah saudara dari istri Dyaḥ Balitung (Boechari, 1965: 53-54; 1968: 7–20; Bambang Soemadio, 1977:901).         

     Berita dari prasasti Kubu-kubu (827 Śaka) menyebutkan Dyaḥ Balitung sebagai teman dari Dakṣa. Mungkin dari keterangan ini dapat diperoleh gambaran bahwa Dyaḥ Balitung dengan Dakṣa merupakan teman sepermainan sejak kecil, dan hal ini bisa terjadi apabila Dyaḥ Balitung termasuk anggota kerabat raja yang dekat. Kemudian setelah meningkat dewasa Dyaḥ Balitung menikah dengan putri raja yang


[1]Angka tahun yang tertera di dalam prasasti Panunggalan adalah 808 Śaka, tetapi ternyata angka tahun tersebut tidak cocok dengan unsur penanggalan lainnya. Setelah diperbaiki oleh L.Ch. Damais, angka tahun itu seharusnya 818 Śaka (Damais, 1955: 168-169).


Sumber : http://epigraphyscorner.blogspot.com/search?updated-min=2014-01-01T00

 

penutup

 

  • < 01 Tiga Prasasti Masa Balitung Halaman 01
  • 03 Tiga Prasasti Masa Balitung Halaman 03 >