| Kumpulan Artikel |
| Tiga Prasasti Masa Balitung - Halaman : 05 / 14 |
|
5. tuha dagaŋ [1], wanua i dalam [2], kataṅgaran [3], pinilai [4], mapaḍahi [5], maṅiduŋ [6], hulun haji [7] dan lain sebagainya. Semuanya tidak ada yang diperkenankan datang ke sana. Hanya bhaṭāra dan bhaṭārī semata-mata yang menguasai 6. semua dari sukha duhkha [8]nya semua. Yang mendapat perintah untuk mempersiapkan pembatasan śīma itu adalah Saŋ Pamagat Pikatan (bernama) Dapunta Kośiki, penduduk desa Haji Kabikuan di Pamĕhaṅan dan Saŋ Pa- 7. magat Manuṅkuli (bernama) Saŋ Brahmāśakti. Mereka memberikan persembahan, sebagai ketentuan pada waktu membatasi śīma sejak dahulu kala. (Yaitu) kepada Rakryān Mapatiḥ i Hino pu Dakṣa Saŋ Bāhubajrapratipakṣakṣaya, Rake Halu pu 8. Bwalu Saŋ Sangrāmadurandhara, Rakai Sirikan pu Wariga Saŋ Samarabikrānta, Rakai Wka pu Kutak, Rake Pagarwsi pu Wīrabikrama, Saŋ Pamagat Tiruan pu Asaṅā SaŋŚiwa Astra, penguasa 9. desa yang diberi batas (ialah) Saŋ Pamagat Puluwatu (bernama) pu Kunir Saŋ Winīta, penduduk desa cukulan yang termasuk wilayah Tilimpik, mereka semua diberi persembahan berupa bebed [9] jenis gañjarpātra sisi satu setel dan cincin emas 10. satu buah yang beratnya 1 suwarṇa masing-masing / / lstri Saŋ (Pamagat) Puluwatu (bernama) pu Babi, penduduk desa Babahan di Puluwatu, diberi tapih sehelai dan cincin emas satu buah yang beratnya 8 māsa/ / Rakai 11. halaran (bernama) pu Basu, rake palarhyaŋ (bernama) pu Puñjaŋ, dalinan (bernama) pu Gālatha, wlahan (bernama) pu Dhepu, maṅhuri (bernama) pu Cakra, paṅkur (bernama) pu Rañjan, tawān (bernama) pu Wāra, tirip (bernama) pu Kṛṣṇa, wadihati (bernama) pu Ḍapit, ma- 12. kudur (bernama) pu Sambṛda, mereka semua diberi persembahan (berupa) bebed jenis raṅga satu setel dan cincin emas satu buah yang beratnya 8 māsa masing-masing/ / (Bagi) pengundang saŋhyaŋ kudur [10] (disediakan) bebed satu setel dan emas 4 māsa. 13. Saŋ tuhān dari Wadihati dua (orang), yaitu (saŋ tuhān) dari Miramiraḥ (bernama) si Rayuŋ (dan) dilengkapi (oleh) saŋ (tuhān dari) Halaran (bernama) si Rahula, penduduk desa Paŋramuan yang termasuk wilayah Wadihati, saŋ tuhān dari Makudur dua (orang), yaitu saŋ (tuhān dari) Asampañjaŋ (bernama) si Dharmma dan saŋ (tuhān dari) Taṅkil 14. Sugiḥ (bernama) si Manikṣa, penduduk desa Mantyāsiḥ yang termasuk wilayah Makudur, semua diberi persembahan (berupa) bebed satu setel dan emas 4 māsa masing-masing/ / Untuk (saŋ) Wadihati yang pergi memberi batas (śīma) adalah saŋ Wurukuy (bernama) si Maṅa- 15. sū [11], penduduk desa Paṇḍamuan (yang termasuk wilayah) Wadihati dan untuk (saŋ) Makudur (yang pergi memberi batas) adalah saŋ Kamalagyan (bernama) si Lalita [12], penduduk desa Palikĕt yang termasuk wilayah Makudur, semua diberi persembahan (berupa) bebed dua setel dan emas 8 māsa, ter- 16. masuk ongkos jalan masing-masing [13] / / Demikian pula dengan para juru bicara semua, (yaitu) juru bicara dari (Rakryān Mapatiḥ i) Hino (yang berkedudukan) di Kaṇḍamuhi (bernama) si Tuṅgaŋ, penduduk desa Gunuṅan yang termasuk wilayah[1]Tuha dagaŋ adalah orang-orang mengkoordinir para pedagang. [2]Wanua i dalĕm, kadang-kadang disebut sebagai watak i dalĕm, watĕk i jro atau wargga i dalĕm adalah para abdi raja yang bekerja di dalam lingkungan tembok istana. Yang termasuk ke dalam golongan ini antara lain: juru paḍahi, widu, maṅiduŋ, paṇḍak, pujut, arawaṇasta (rawaṇasta), mapayuŋan dan jaṅgi (Ayatrohaedi, 1978: 193). [3]Kataṅgaran ialah juru masak (Stutterheim, 1925a: 250). Karena kataṅgaran termasuk golongan maṅilāla drabya haji, maka lebih cenderung bila kataṅgaran ini adalah juru masak istana yang digaji dari kas kerajaan. [4]Pinilai atau disebut juga dengan pini(ŋ)lai adalah penabuh gamelan istana. Pinilai itu sendiri berarti penabuh (Stutterheim, 1925: 250). [5]Mapaḍahi adalah penabuh gendang (Kunst, 1927: 10). Tapi berhubung mapaḍahi di sini termasuk dalam daftar maṅilāla drabya haji, maka ia adalah orang yang bekerja sebagai penabuh gendang di istana. Ini dibedakan dengan mapadahi yang terdapat pada prasasti Paṅgumulan baris IIIa. 20. Di sini mapadahi berarti penabuh gendang yang mungkin harus membayar pajak dari hasil pekerjaannya itu. [6]Maṅiduŋ adalah penyanyi kidung istana, karena ia dimasukkan ke dalam maṅilāla drabya haji. [7]Hulun haji adalah orang/budak yang dimiliki raja. [8]Yang dimaksud dengan suhka duḥkha yaitu segala macam tindak pidana yang terjadi di dalam lingkungan daerah perdikan yang dikenakan hukum denda (Boechari, 1977: 14). [9]Di dalam beberapa prasasti biasanya dibedakan antara wdihan untuk laki-laki dan kain untuk perempuan. Satuan yang dipakai untuk wḍihan adalah yugala (disingkat dengan yu) yang berarti satu setel atau sepasang. Tetapi ada kalanya wḍihan yang diberikan tidak satu setel melainkan hanya sehelai. Sedangkan untuk kain dipergunakan satuan wlaḥ atau hlai yang berarti helai. Untuk membedakan wḍihan dan kain, maka di sini saya mempergunakan istilah-istilah bebed untuk kata wḍihan dan tapih untuk kata kain. [10]Saŋhyaŋ kudur merupakan suatu 'kekuatan gaib' yang sengaja didatangkan untuk mengukuhkan sumpah dan kutukan yang diucapkan oleh saŋ pamagat makudur atau wahuta hyaŋ kudur ketika upacara sedang berlangsung. [11]Tidak diketahui apa jabatan dari si Maṅasu, karena pada prasasti hanya disebutkan nama tempatnya saja. [12]Sama halnya dengan di atas, di sinipun hanya disebutkan nama tempatnya saja, sehingga tidak diketahui apa jabatannya. [13]Keterangan tentang ongkos jalan yang diberikan ketika upacara berlangsung memang terdapat di dalam beberapa prasasti. Misalnya dalam prasasti Kayu Ara Hiwaŋ (823 Śaka) pada lempeng a.13 dijumpai kalimat: hop paṅaṅkat paŋunsuŋ saŋ makudur saŋ dalukpu tanak rama ni lacira kaki muḍiṇ anak wanua i taji watak haji. Pada baris selanjutnya (a. 14-15) ditemui kalimat sebagai berikut: hop paṅaṅkat paŋunsuŋ tuhān ni kanayakān i watu tihaŋ raka waskar [tēl [recte: tāl] pu pudraka anak wanua i kasugihan watak dagihan (Brandes, 1913: 27-28). Di dalam prasasti Poḥ (827 Śaka) malah dijumpai keterangan yang lebih lengkap lagi mengenai ongkos jalan ini. Di sini disebutkan mengenai orang-orang yang mendapat ongkos jalan untuk pergi ke tempat upacara dan pulang dari tempat upacara penatapan śima[fn. *: lihat Stutterheim dalam INI, hal. 5 no. II.3 (kahop paṅaṅkat panuŋsuŋ muaŋ saŋu nira mulih iŋ sowaŋ sowaŋ).
Sumber : http://epigraphyscorner.blogspot.com/search?updated-min=2014-01-01T00 |




























