Ki-demang.com : Kongres Bahasa Jawa 5

Kaca Ngajeng

logo-kbj5


ikon-buku-tamu

Kesekretariatan

Alamat-Sekretariat
Badan-Pekerja
Rencana-Kerja
Jadwal-Kongres

Pendaftaran

Pendaftaran-(B-Indonesia)
Pendaftaran-(Bhs-Jawa)
Pendaftaran-(Carakan)

Data & Seleksi Makalah

Data-Abstrak-Makalah
Teknis-Penulisan-Makalah
Hasil-Seleksi-Makalah

Isi Makalah

Makalah-Kunci
Makalah-Komisi-A
Makalah-Komisi-B
Makalah-Komisi-C
Makalah-Komisi-D
Makalah-Komisi-E
Makalah-Pengombyong

Rekomendasi - KBJ 5

Isi-Rekomendasi-KBJ-5

Daftar Peserta

Peserta-Luar-Negeri
Peserta-Institusi-Lembaga
Peserta-DI-Yogyakarta
Peserta-Jawa-Timur
Peserta-Jawa-Tengah
Rekap-Peserta

Galeri Foto - KBJ 5

Galeri-Foto-KBJ-5

  Jumlah Pengunjung

1873898
Hari ini     :Hari ini :48
Kemarin     :Kemarin :38
Minggu ini   :Minggu ini :334
Bulan ini   :Bulan ini :1676
s/d hari ini   :s/d hari ini :1873898
Jumlah Kunjungan Tertinggi
10-28-2025 : 611
Pengunjung Online : 22

Kontak Admin.

email-kidemang

Makalah Utama (#07)

 

KESENIAN JAWA SEBAGAI

MEDIA PEMERTAHANAN BAHASA DAN SASTERA JAWA

Oleh Sri Hastanto
Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta


 

Pengantar

     Merupakan kebahagiaan dan kehormatan tersendiri bahwa se­jak kongres yang pertama sampai saat ini saya selalu diberi tu­gas untuk menyampaikan pikiran demi keberlangsungan bahasa ibu sa­ya yaitu Bahasa Jawa. Judul di atas adalah given dari pani­tia yang harus saya urai dalam kesempatan ini. Seberapa jauh Ke­senian Jawa dapat berfungsi sebagai media permertahanan Baha­sa dan Sastera Jawa akan kita lihat lewat tahapan alur pemikiran seperti tertera di bawah ini:

1.
Bahasa dan Sastera Jawa Selayang Pandang;
2.
Kesenian Jawa dan Perkembangannya;
3.
Daya Kesenian Jawa sebagai Media Pemertahanan Bahasa dan Sastera Jawa.

Kesenian Jawa seperti halnya kesenian yang lain merupakan barang hidup dan seperti kita ketahui bahwa sesuatu yang hidup itu tentu berubah. Bila perubahan itu dirasakan sebagai perkem­bangan berarti sesuatu itu masih akan bertahan hidup, tetapi bila perubahan itu dirasakan sebagai kemunduran maka lonceng ke­ma­tiannya telah berdentang.

Ketika saya masih kecil, kami sekeluarga, tetangga dan ma­syarakat sekeliling kami termasuk para tukang kayu dan tukang kebun yang bernaung di perusahaan kecil milik bapak dapat me­ng­gunakan Bahasa Jawa secara benar, baik itu gramatikanya ma­u­pun tata undha-usuk atau unggah-ungguhing ba­sa-nya.

Sekarang pengurus rumah tangga dan sopir saya Bahasa Jawa­nya sudah kacau mi­salnya:

“Pak, dalêm tak mundhut bensin kri­yin.”

Kalau itu masih bi­sa dimaklumi, lebih menyedihkan lagi mahasiswa saya berkata kepada saya: “Pak kula supé boten ngasta flashdisk.”

Baik sang sopir maupun mahasiswa sering lebih enak berbicara dengan Ba­hasa Indonesia.

Uraian di atas menunjukkan kemunduran penggunaan Ba­ha­sa Jawa dalam kehidupan sehari-hari baik secara kualitas mau­pun kuantitas. Bagaimana dengan Sastera Jawa, tidak demikian nasibnya. Secara kualitas Sastera Jawa masih terjaga baik, sebab pelakukanya adalah mereka yang fasih dalam menggunakan Ba­ha­­sa Jawa secara benar, tetapi memang sangat dirasakan kemun­dur­an kuantitasnya. Itulah situasi Bahasa dan Sastera Jawa yang dapat saya potret dewasa ini.


Bahasa dan Sastera Jawa Selayang Pandang


Sebelum lanjut saya ingin menyinggung pendapat yang kon­troversial terhadap Bahasa Jawa. Bahasa ini dengan gramatika dan tata unggah-ungguhing basa-nya sering dituduh mengandung faham feo­dal­isme. Pandangan itu menurut saya kurang pada tempatnya. A­gaknya mereka tidak dapat memisahkan kulit dan isi feodalisme itu sendiri. Berikut ini adalah contoh sikap atau pekerti feodal (isinyasikapnya dan bukan kulitnya):


Contoh-1
Diceriterakan bahwa Raden Narasoma seorang pangeran dari negeri Mandaraka membunuh bapak mertuanya Begawan Ba­­gaspati karena Narasoma malu mempunyai mertua Rak­sa­sa. Demi menjaga keningratan menantunya Begawan Ba­gaspati setuju menyerahkan nyawanya. Demikian pula Dewi Pujawati tidak mengadakan protes ayahnya dibunuh demi menjaga nama Narasoma suaminya.


Itulah watak dan pekerti feodal, bukan Narasoma atau Ba­gas­pati atau Dewi Pujawati yang feodal tetapi yang membuat ceri­tera ini menggunakan landasan feodalisme bahwa seorang ningrat itu boleh berbuat apa saja untuk menjaga keningratannya – itu salah satu contoh saja. Di ja­man modern praktek feodalisme itu masih ada di sana-sini.


1.    Situasi Bahasa Jawa


Seseorang berbicara kepada mertuanya sudah selayaknya menggunakan Basa Krama Inggil, karena sang mertua lebih tua dan dihormati sebagai bapak isterinya sejajar dengan bapaknya sen­diri walaupun seseorang itu mempunyai gelar kebangsawanan KRMT, juga gelar akademik Profesor Doktor serta menduduki ja­batan tinggi, sedangkan mertuanya bukan bangsawan dan hanya lulusan MULO. Sang mertua yang juga faham budaya Jawa tidak sembarangan memilih bahasa yang dipakai. Ia memilih mengguna­kan Basa Ngoko Krama.

Ikuti pembicaraan mereka:


Contoh-2
“Bapak kula mbêkta sarung batik kalih lêmbar, pangangkah kagêm Bapak kaliyan kagêm dik Lukas. Bapak ngêrsakakên ingkang pundi?”


“Wa, ladalah, lha kok sliramu menggalihké bangêt mênyang wong tua, aku pilih sing sogan waé. Olèhé mudhut nyang êndi iki mau, nyang Batik Keris apa Danar Hadi?”


Mereka yang menghayati budaya Jawa mendengar per­ca­kap­an tadi merasa segar, karena sangat serasi dan semua fihak memposisikan dirinya secara tepat. Sang menantu walaupun ia seorang bangsawan tinggi, juga seorang bertitel akademik tinggi, serta berkedudukan tinggi demi menghormat mertuanya ia meng­gunakan Krama Inggil. Sang mertua yang juga menghormati menantu yang serba tinggi tadi, tetapi masih mengingat bahwa sang menantu sejajar dengan anaknya sendiri maka ia menggunakan Ngoko yang memperlihatkan bahwa awunya lebih tua. Tetapi bu­kan sembarang Ngoko, ia menggunakan Ngoko Krama dengan ciri setiap kata ganti orang dan kata kerja untuk menantunya diucap­kan dengan Krama: sliramu bukan kowé, menggalihaké bukan mi­kirké, dan mundhut bukan tuku, semuanya itu ekspresi penghor­mat­an kepada sang menantu.


Uraian ini untuk menangkal bahwa Bahasa Jawa identik de­ngan faham feodalisme. Kenyataannya tidak demikian tetapi jus­tru mencari keseimbangan dalam kita hidup bermasyarakat. Mem­posisikan setiap orang secara proporsional dengan tetap menghor­mati sesama hidup kita. Kesimpulan berikutnya adalah: Baik se­ca­­ra kualitas maupun kuantitas penggunaan Bahasa Jawa mun­dur, lalu bagaimana peranan kesenian nanti dalam situasi seperti ini.


2.    Situasi Sastera Jawa


Sastera Jawa secara garis besar – seperti berbagai macam konsep sastera yang ada di dnia ini – mempunyai dua macam unsur yaitu unsur bentuk dan unsur isi. Secara garis besar pula bentuk Sastera Jawa juga ada dua macam yaitu puisi dan prosa, dalam Bahasa Jawa­nya basa pinathok dan gancaran. Isinya luar biasa banyak, setiap karya sastera mempunyai semacam pelajaran moral yang meliputi selu­ruh aspek kehidupan manusia. Ajaran itu ada yang dieks­pre­si­kan secara langsung, maupun dimasukkan ke dalam bentuk ce­rita. Ka­rena banyaknya karya sastera tidak mungkin kita rinci sa­tu persatu di dalam sebuah makalah seperti ini. Maka di sini ha­nya akan di­kupas unsur bentuknya saja, karena bentuk-bentuk itulah yang menjadi “rumah” dari isi. Bentuk-bentuk itu dengan demikian harus dijaga keberadaannya. Yang menjadi pertanyaan sekarang seberapa jauh kesenian Jawa dapat menyimpan bentuk-bentuk sastera ini.


Bentuk Puisi (Basa Pinathok)


Karya-karya Sastera Jawa dalam bentuk Basa Pinathok di antaranya adalah: Purwakanthi, Wangsalan, Têmbang atau Sêkar, dan lain sebagainya. Ketiga bentuk itulah yang seharusnya diprioritaskan untuk medapatkan perlindungan karena ketiganya mempunyai keunikan peraturan yang tidak terdapat di dalam basa pinathok lainnya seperti misalnya di dalam gêguritan. Berikut ini dipaparkan contoh-contohnya.


1.    Purwakanthi


Ada tiga macam purwakanthi yaitu Purwakanthi Swara, Pur­wakathi Sastera, dan Purwakanthi Basa yang ketiganya mempunyai aturan unik sehingga bila disajikan memancarkan kecermatan pe­miliknya dalam mengolah medium (kata-kata) yang akhirnya ter­ke­­mas dalam pancaran estetika yang khas.


a.    Purwakathi Swara


Format Purwakanthi Swara selalu terdiri dari dua frasa. Frasa pertama disebut padhang dan frasa kedua ulihan (dalam dunia musik disebut fore phrase dan after phrase). Frasa padhang dibentuk dari susunan kata yang berbentuk kalimat pendek dan harus mengandung suara atau bunyi yang dijadikan dasar penyusunan frasa ulihan. Substansi arti yang ingin disampaikan di dalam Purwakatni Sastera ini terdapat di dalam frasa ulihan.

Contoh:
“Brambang saksèn lima, berjuang dimèn merdika”


Di dalam frasa padhang ada suara ‘ang’, “èn” dan ‘a’ (bram­bang, saksèn, dan lima), di frasa ulihannya menggunakan bu­­nyi “ang”, “èn” dan “a” sebagai dasar penyusunan kalimat substansinya yaitu: berjuang dimèn merdika. Purwakanthi jenis ini biasanya juga di pathok (dibatasi atau diatur) ju­m­lah suku kata di dalam setiap frasa. Frasa padhang 6 su­ku kata dan frasa ulihan 8 suku kata. Aturan seperti ini di dalam Sastera Jawa disebut guru wilangan.


b.    Purwakanthi Sastra


Kalau purwakathi swara menyusun frasa-frasanya dengan permainan bunyi atau rima, purwakatnthi sastera memain­kan hu­ruf konsonan yang ditata agar bila disajikan akan te­rasa runtut dan ju­ga mencerminkan kecermatan penyusun­nya tanpa meninggalkan substansi yang harus disampaikan,

mi­salnya:
“Pakerti kang tata, tatag lan titis mahanani tentreming ati.”


Di sini huruf konsonan “t” ditata sedemikian rupa sehingga bila kalimat ini disajikan akan mempunyai pancaran estetis tersendiri dibanding dengan kalimat biasa. Purwakanthi Sastra biasanya dalam bentuk gancaran.Pada saatnya nanti akan dijelaskan bagaimana Purwakanthi Sastra memberi nilai tambah pada basa pinathok lainnya.


c.     Purwakanthi Basa


Purwakanthi jenis ini biasanya menempel dalam bentuk basa pinathok lainnya yaitu wangsalan yang akan dijelaskan tersendiri di bawah. Bagian ini hanya akan menjelaskan bentuk purwakanthi basa saja yaitu terdiri dari dua frasa yang kata terakhir dari frasa pertama dugunakan sebagai awal frasa kedua seperti berikut ini.


“Jalma mudha, mudané sang prabu Kresna”


Dua frasa di atas terhubung dengan manisnya karena akhir kata feasa pertama: “mudha” digunakan sebagai awal kata frasa kedua: “mudhané”


2.    Wangsalan


Wangsalan adalah sepasang frasa puitis yang berkait karena arti permainan kata misalnya:

bèbèk alit, dhasihmu mung wira-wiri


Frasa pertama terdiri dari rangkaian kata yang mempunyai arti tertentu: bèbèk alit, alit dalam Bahasa Indonesia berarti kecil, jadi bebek kecil itu menghasilkan kata “mêri”. Frasa awal itu dise­but frasa padhang.Frasa berikutnya harus mengandung kata-kata yang bernuansa bunyi kata mêri tadi: dhasihmu mung wira-wiri ya­itu kata yang dibentuk dari suara “ri” nya “mêri”. artinya: “keka­sih­mu hanya kesana-kemari” – untuk dapat melihat dirimu. Frasa ini disebut frasa ulihan. Jadi lengkapnya wangsalan itu adalah: Bè­bèk alit, dhasihmu mung wira-wiri. Wangsalan jenis ini disebut wangsalan jugag (wangsalan pendek) yang frasa pertamanya 4 su­ku kata (wanda) dan frasa keduanya 8 wanda.


Adalagi jenis wangsalan yang lain yaitu wangsalan jangkêp yang terdiri dari dua kali wangsalan jugag jadi ada dua baris kali­mat (gatra) masing-masing 4 dan 8 wanda. Kita cer­mat­i sekarang wangsalan jangkêp. Gatra pertama(frasa padhang) mengandung ka­ta-kata yang akan dijadikan kalimat pada gatra yang kedua (fra­sa uihan), misal­nya seperti terlihat dalam skema di bawah ini:


Jalma mudha, mudhané Sang Prabu Krêsna

Mumpung anom, dadya saranané praja


Jalma mudha (orang muda) dalam Bahasa Jawa = “anom”; mudha­ne Sang Prabu Kresna (Parabu Kresna dikala muda) = Nayarana. Kata “anom” disusun menjadi “mumpung anom” dan Nyarana menjadi “dadya saranane praja”.


Jenis wangsalan yang lain lagi adalah wangsalan gan­caran yang tidak terikat oleh jumlah gatra dan guru wilangan. Wangsal­an ini digunakan sebagai pemanis bahasa lisan maupun bahasa tulis gancaran, salah satu contoh adalah dialog di dalam pewa­yang­an misalnya ketika Arjuna menghadap kakeknya Begawan Abiyasa di Sapta Arga, sang Begawan berkata: “Téja-téja sulaksana téjané kang nêmbé prapta, nggêntha dara tak sawang kaya putuku Arjuna.


Gêntha dalam bahasa Indonesia gentha yaitu benda sema­cam klinting yang dipasang di leher ternak kambing atau sapi agar arah gerak ternak itu dapat dideteksi karena kalau hewan itu ber­ge­rak maka gentha itu berbunyi. Dara adalah burung merpati, jadi bunyi-bunyian yang dipasang pada tubuh merpati. Kalau dia ter­bang akan berbunyi seperti sirine, benda itu namanya sawangan. Maka frasa berikutinya disusun berdasarkan kata yang dihasilkan oleh frasa pertama “sawangan” menjadi “tak sawang” kaya putuku Arjuna – kalau aku lihat seperti cucuku Arjuna.


Wangsalan jenis ini nantinya sangat berperan di dalam têm­bang untuk memperindah cakêpan – teks – têmbang itu sehingga bila disajikan bobot estetikanya akan bertambah. Permainan kata atau di dalam Sastera Jawa disebut kridha basa ini di dalam tembang juga menunjukkan tingkat ke­mampuan penciptanya.


3.    Têmbang


Têmbang juga sering disebut dengan basa kramanya yaitu sêkar, yaitu puisi yang di lagukan. Ada tiga macam têmbang atau sêkar di dalam Budaya Jawa yaitu sêkar agêng, sêkar têngahan, dan sêkar macapat. Di antara ketiganya yang paling populer ada­lah sêkar macapat.Maka macapatlah yang mewakili têmbang da­lam makalah ini.


Pada umumnya masyarakat Jawa memilah sêkar macapat menjadi 11 (sebelas) jenis[1] dan setiap jenis mempunyai nama dan aturannya masing-masing, misalnya Macapat Mijil harus ter­di­ri da­ri dari 4 baris (gatra). Baris pertama harus terdiri dari 10 wanda atau suku kata yang di dalam basa pinathok aturan ini disebut gu­ru wilangan; dan bunyi terakhirnya – gurulagu – harus “i”, untuk mudahnya disingkat 10-i; gatra kedua 6-o, ketiga 10-é, keempat 10-i, gatra ke lima 6-i, dan gatra keenam 6-u. Gatra, guru wilang­an, dan guru lagu kesebelas têmbang Macapat itu seperti tertera berikut ini.

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.
Mijil,

Gambuh,

Pucung,

Sinom,

Durma,

Pangkur,

Kinanthi,

Mêgatruh

Asmarandana,

Maskumambang,

Dhandhanggula
10-i, 6-o, 10- é, 10-i, 6-i, 6-u

7-u, 10-u, 11-i, 8-u, 8-o

4-u, 8-u, 6-a, 8-i, 12-a

8-a, 8—i, 8-a, 8-i, 7-i, 8-u, 7-a, 8-i, 12-a

12-a, 8-i, 6-a, 7-a, 8-i, 5-a, 7i

8-a, 8-i, 8-u, 8-a, 12-u, 7-a, 8-i

8-u, 8-i, 8-a, 8-i, 8-a, 8-i

4-i, 8-i, 8-u, 8-i, 8-o

8-i, 8-a, 8-o, 8-a, 7-a, 8-u, 8-a

12-i, 6-a, 8-i, 8-a

10-i, 10-a, 8- é, 8-u, 9-i,7-a, 6-u, 8-a, 12-I, 8-a.


Jadi Macapat adalah puisi Jawa yang dilagukan, yang setiap jenisnya mempunyai aturannya sendiri dalam hal jumlah barisnya atau gatranya, jumlah suku kata dalam setiap baris atau guru-wi­langan, dan suara pada akhir setiap gatra atau guru-lagu. Salah sa­tu contoh tembang macapat untuk menunjukkan bagaimana aturan itu di patuhi sebagai berikut (Mijil):

Contoh-3

Dedalané, guna lawan sekti          
Kudu andhap asor               
Wani ngalah, duwur wekasané
Tumungkula yèn dipun dukani      
Bapang dèn simpangi                     
Ana catur mungkur
10-i
6-o
10-e
10-i
6-i
6-u

 
Terjemahan bebasnya sebagai berikut:

Jalan yang harus ditempuh jikalau ingin menjadi o­rang yang bermanfaat dan pilih tanding, kamu harus me­rendah­kan di­ri. Merendahkan diri, justru kedu­duk­anmu dalam pandang­an masyarakat menjadi tinggi. Ka­lau ada yang marah de­ngar­kan dan bersikap­lah tetap hormat. Tindakan radikal ha­rus kamu hindari, dan jangan terlibat dalam ber­bagai gosip.

Semua Mijil bentuk fisiknya seperti Contoh-3 itu isinya boleh ber­bagai macam hal. Demikian pula Kinanthi, Pangkur, Asmara­nda­na, Sinom dan se­­bagainya harus tunduk dengan peraturannya masing-masing (lihat atas). Ka­­lau tidak maka teks yang diciptakan itu tidak dapat dilagukan. Tembang juga dapat menjadi ajang kolaborasi berbagai basa pinanthok lainnya misalnya purwakanthi dan wangsalan. Wujud­nya adalah sebagai berikut (dalam tembang Dhandhanggula):
Contoh-4

Teks yang guru wilangan dan guru lagunya terikat Kata-kata hasil frasa padhang dan kata bentukannya di dalam frasa ulihan
Rosing janur miwah roning pari
Toya ingkang mijil king sarira
Walang kayu ijo laré
Dalu-dalu sun luru
Dimèn èngèt tambuhi diri
Wadung jambé mas rara
Nimas kêmbang biru
Lênging cipta amung sira
Bebek alit dhasihmu mung wira wiri
Arsa panggih mas rara
10-i
10-a
8-e
7-u
9-i
8-a
6-u
8-a
12-i
7-a
sada dan damèn
kringêt
walang kadung
sada – dalu-dalu
damèn – dimèn; kringêt – engêt
kadung – wadung jambé = kacip
kembang têlêngan
têlêngan – lênging; kacip – cipta
mêri – wira-wiri


Di dalam Dhandhanggula yang satu ini terdapat kolaborasi antara wangsalan, puwakathi, dan têmbang itu sendiri. Karena sekar atau têmbang menjadi ajang kolaborasi maka aturan têmbang lah yang harus menjadi aturan pokok sedangkan aturan wangsal­an dan pur­­wakanthi diambil intinya saja.

Gatra pertama, ke­dua, dan ketiga tembang ini merupakan frasa-frasa padhang da­lam wangsalan, kata-kata yang dihasilkan dari frasa padhang itu digunakan membentuk kalimat berikutnya (frasa ulihan) tetapi ha­rus ingat tetap mematuhi aturan têmbang.

Tidak hanya itu, bila ki­ta perhatikan tembang ini juga mengandung kridha aksara.

Awal têmbang ini dimulai dengan huruf R, dan da­pat kita lihat akhir setiap gatra juga menggunakan huruf hidup ‘r’ itu adalah Purwakanthi Sastra, sedangkan penempatan di awal têmbang dan di akhir setiap gatra seperti ini yang disebut kridha ak­sa­ra.

Kalau krida aksara itu menghasilkan nama seseorang – biasa­nya nama penciptanya – disebut kridha aksara sandi asma.

Bentuk Gancaran Kita ikuti dulu contoh berikut ini:

Contoh-5

“. . . Nêgara apanjang, apunjung, pasir wulir, loh jinawi, gê­mah ripah, karta raharja.

Panjang dawa pucapané, punjung luhur kawibawané, pasir samodra, wukir gunung, déné na­ga­ra anêngênaké benawi, ngiringaké pasabinan, ngungkur­a­kên parêden angayunaké bandaran gêdhé. Loh tulus kang sar­wa tinandur jinawi murah kang sarwa tinuku.

Gêmah kang luma­ku lampahing dagang rina wêngi tan ana pedhoté labêt tan­a­na sangsayaning margi.

Ripah pratanda janma nga­manca ingkang gêgriya salebeting praja ajêjêl pipit pang­rasa abên cukit papan wiyar katingal rupak saking raharja­ning nêgari.

Karta para kawula ing padusunan pada ayêm têntrêm atiné ingon-ingon kêbo sapi pitik iwèn datan ana kang cinancang­an yèn raina aglar ing pangonan yèn bêngi mulih marang kan­dhangé dhéwé-dhéwé . . .”

Teks gancaran ini runtut dalam menyusun kata-kata se­hingga bila dipelajari akan terasa mudah diucapkan, enak dide­ngarkan dan mengandung isi yang komprehensip.

Demikianlah rata-rata setiap karya sastera Jawa dalam bentuk gancaran.  

Kesenian Jawa dan Perkembangannya Secara tradisi kesenian Jawa disebut kagunan, termasuk di dalamnya têmbang, bêksan (tari), karawitan atau gamêlan atau gang­­sa (musik), wayang kulit, wayang wong, kêthoprak, langêndri­yan dan ben­tuk-bentuk kesenian rakyat yang tersebar di dalam ma­syara­kat Jawa seperti êmprak, kêntrung, jathilan dan lain seba­gainya.

Kata kagunan digunakan untuk menyebut penyajian seni yang yang ber­tujuan sebagai ekspresi estetik, sedangkan sajian yang ber­sifat hiburan disebut lêlangên.

Jadi ada kagunan bêksa dan lê­langên bêksa. Kelompok lainnya yang juga mempunyai sifat seperti kagu­nan adalah kriya yang di dalamnya termasuk arsitekt­ur, batik benda-benda perhiasan, lukisan, patung, ukir-ukiran, dan lain se­ba­gainya.

Perkembangan sekarang bentuk seni Jawa dibagi men­jadi dua rumpun besar seperti seni lainnya di dunia – bila sastera tidak kita masukkan sebagai kelompok seni – yaitu seni per­tun­juk­an dan seni rupa – sekarang disebut seni rupa dan desa­in – yang di dalamnya termasuk kriya.

Seni termasuk sesuatu yang hidup di dalam budaya Jawa se­hingga selalu berkembang sesuai dengan kebutuhan kamannya.

Perkembangan yang relevan dengan makalah ini adalah perkem­bang­an yang terdapat di dalam seni pertunjukan khususnya yang menggunakan Bahasa dan Sastera Jawa sebagai salah satu me­di­um garapnya.


Unsur garap ini dikembangkan dengan mengguna­kan bahasa Indonesia atau bahasa lainnya sesuai dengan kebu­tuh­an. Dengan demikian bentuk-bentuk ini akan kehilangan seba­gian perannya sebagai pemertahan Bahasa dan Sastera Jawa.


Ben­tuk kesenian ini misalnya wayang kulit, wayang wong, dan ketho­prak yang menggunakan bahasa Indonesia. Terlepas dari medium bahasa yang digunakan, medium lainnya tetap mempunyai pera­nan sebagai media pemertahan Bahasa dan Sastera Jawa misalnya istilah-istilah teknis yang ada di dalamnya tidak pernah ikut diterjemahkan.

Selain itu di dalam kesenian Jawa khususnya di dalam ka­rawitan berkembang secara kuantitas bentuk yang merakyat mi­salnya campursari, badhutan, dan sragènan.


Bentuk ini mudah dimengerti oleh masyarakat pada umumnya tidak perlu mempu­nyai bekal tinggi pengetahuan sastera maupun ketajaman serta kepekaan rasa musikal dan lain sebagainya.

Asalkan mereka me­mahami Bahasa Jawa secara garis besar dan akrap dengan sistem pelarasan slendro pelog akan dapat menikmati seni karawitan je­nis ini.  

Daya Kesenian Jawa sebagai Media Pemertahanan Bahasa dan Sastera Jawa Frasa “ media pemertahanan” seperti yang diberikan oleh Steering Committee kongres ini kiranya perlu ditafsirkan maksud yang terkandung di dalamnya. Saya mempunyai dua tafsir tentang frasa itu:

1.
Suatu media yang dapat digunakan untuk mempertahankan eksis­ten­si Bahasa dan Sastera Jawa;

2.
Suatu media yang dapat berfungsi sebagai konservasi Baha­sa dan Sastera Jawa:
 

Agaknya tafsir kedualah yang dapat diemban oleh kesenian Jawa sebab tafsir pertama yang mengandung kata eksistensi yang mempunyai arti bahwa Bahasa dan Sastera Jawa eksis.

Eksis itu ti­dak sekedar ada tetapi berfungsi dan beroperasi aktif dalam buda­ya masyarakatnya.

Itu sangat berat, sebab bila di suatu tempat ter­­selenggara sebuah ujud kesenian memang Bahasa dan Sastera Ja­wa beroperasi di dalam kesenian itu tetapi belum tentu di situ ber­opreasi di dalam masyarakatnya secara umum.

Sebaliknya ka­lau tafsir yang kedua, itu pasti. Di mana ada sajian seni maka ma­sya­rakat dapat melihat bahwa di dalamnya masih menyimpan Ba­hasa dan Sastera Jawa.


Sebenarnya masalah ini sudah menjadi pengetahuan umum bagi masyarakat Jawa yang dapat menghayati berbagai kesenian Jawa hanya belum banyak diuraikan secara verbal.

Setiap jenis ke­­­senian Jawa mempunyai “kantong-kantong” yang menyimpan Ba­hasa dan atau Sastera Jawa. Berikut ini beberapa jenis seni rupa dan disain yang menyimpan kosa kata Bahasa Jawa:

1.
Dalam Arsitektur


Semua istilah teknis dalam arsitektur Jawa adalah kosa kata Bahasa Jawa. Selama arsitektur itu ada maka kosa kata Jawa itu seca­ra implisit tersaji di sana misalnya: kuncungan, pendha­pa, pring­gitan, dalêm, sênthong, ga­dri, dhimpil, jamban, paki­wan, geêdhogan itu kelomp[ok kosa kata yang menunjuk pada bagian besaran sebuah bangunan.

Ada lagi kelompok ricikan seperti misalnya: saka guru, saka ra­wa, tumpang sari, blandar, usuk, rèng, sirap, dan lain sebagai­nya.  

2.
Dalam Batik

Istilah-istilah teknis di sini juga merupakan kosa kata Bahasa Jawa seperti misalnya: lèrèng, latar irêng, latar putih, blédhak, sê­mèn, cêcêg, cêplok, lar-laran, lung-lungan, kanthil, dan lain sebagainya.

3.
Dalam Keris


Istilah teknis yang menonjol di dalam keris seperti mi­sal­nya: wilah, luk, lêrês, pamor, ganja, ukiran, pêndhok, wrang­ka, dan lain sebagainya.  

Masih ribuan kosa kata Bahasa Jawa yang tersimpan di dalam seni kriya seperti tersebut di atas dan di antara mereka ada yang mempunyai arti sekunder seperti misalnya dalam ka­li­mat Bahasa Indonesia: “Pertanian masih merupakan saka gu­ru ekonomi kita”

Mungkin ada yang tidak mengerti bahwa “saka guru” itu berasal dari bagian bangunan runah Jawa yang ber­tu­gas sebagai penopang utama beban sebuah pêndhapa; atau dalam kalimat: “Setelah pimpinannya meninggal organisasi itu ke­hilangan pamornya.

Mungkin ada yang belum tahu juga bah­wa kata “pamor” berasal dari bagian keris yaitu guratan garis-garis berwarna perak pada bilah keris yang hitam kebiruan yang mencirikan kebersinaran keris itu.

Selanjutnya beberapa contoh unsur Bahasa dan Sastera Jawa yang tersimpan di da­lam seni pertunjukan.

        
Karena banyaknya jenis seni pertunjukan di dalam makalah ini hanya akan diambil beberapa contoh, yang penting saya telah me­­nunjukkan bagaimana peran seni sebagai media pemertaha­n­an Bahasa dan Sastera Jawa.

Seni pertunjukan yang mewakili kesenian “Pan Jawa” adalah karawitan, kêthoprak, dan wayang wong, se­dangkan kesenian rakyat yang bersifat lokal akan diwakili oleh êmprak dan kêntrung  

4.
Karawitan  

     Sajian karawitan secara garis besar dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu sajian instrumental dan sajian yang memakai vokal, jenis sajian kedua inilah yang relevan dengan pokok bahasan makalah ini.         

Ada dua macam sajian vokal di dalam karawitan, yang pertama adalah vokal sebagai salah satu instrumen gamelan sehingga kedudukan bagian vokal sama dengan kedudukan ri­cikan gamelan lainnya. Jenis kedua adalah sajian yang bagian vo­kalnya berfungsi sebagai alur lagu pokok, sehingga instru­men lainnya bertugas sebagai pengiringnya. Jenis yang kedua ini a­dalah sajian gending sêkar dan palaran.

Bagian vocal ini dila­ku­kan oleh pemain vokal wanita yang disebut sindhèn dan pe­main vokal priya disebut gérong. Sindhèn dilaksanakan de­ngan suara tunggal, sedangkan gérong dilaksanakan dengan su­ara bersama dari beberapa penggérong.  

a.  Sidhèn dan gérong sebagai Ricikan Gamêlan


Pada saat gending disajikan pada bagian tertentu di ma­na belum melibatkan gérong, maka sindhèn saja yang mengisi bagian vokal dengan dua macam teks (cakepan) ya­itu abon-abon dan wangsalan biasanya wangsalan jang­kêp.

Abon-abon adalah pengisi kekosongan biasanya frasa ya mas, atau bapak-bapak, éman-éman dan sebagainya[2]. Se­dangkan isi pokoknya berwujud wangsalan.         

Ketika gérong mulai beroperasi maka bagian vokal itu diisi dengan suara sindhèn yang berirama ritmis digabung dengan suara gérong yang berirama metris. Baik sindhèn ma­­upun gérong menggunakan satu teks (cakêpan) yang sa­ma kadang-ka­dang berwujud wangsalan yang dalam istilah karawitan di­sebut slisir untuk gending-gending pendek, se­dangkan un­tuk geding-gending panjang menggunakan ca­kêpan têmbang macapat atau têmbang têngahan.         
Kecuali itu karawitan sering menyajikan gending de­ngan didahului semacam prelude lagu vocal dengan irama bebas yang disajikan secara solo oleh salah satu penggé­rong. Lagu itu disebut bawa yang menggunakan bentuk tem­bang: sêkar agêng, atau sêkar têngahan bahkan juga se­ring sêkar macapat.  


b.  Vokal dalam Gending Sêkar dan Palaran         


Di dalam gendhing sêkar dan palaran fungsi vokal ti­dak lagi sebagai salah satu ricikan gamêlan tetapi meru­pa­kan melodi pokok atau alur lagu. Sehingga ricikan lain­nya bertugas mengiringinya. Bagian vokal gênding sêkar dan pa­laran dapat dilaksanakan oleh sindhèn maupun gérong se­ca­ra solo maupun suara bersama. Teks yang diguna­kan a­dalah sêkar macapat dan kadang-kadang sêkar têngahan.

Dengan demikian dapat kita ketahui bahwa karawitan merupa­kan kesenian yang berperan sebagai media konservasi wang­sal­an, têmbang macapat, têmbang tengahan, dan sêkar ageng.  

5.
Kêthoprak

   
Kesenian ini merupakan teater tradisional Jawa yang me­nam­pil­kan cerita sejarah, legenda, dan ceritera menarik lainnya ba­ik dari Indonesia maupun luar Indonesia.

Dahulu memakai ta­rian sederhana, sekarang sudah hilang.

Dialog per­tama setiap adegannya – bagèn bunagèn – yaitu dialog yang sa­ling mena­nya­kan keselamatan atau basa-basi pada umumnya dilakukan masyarakat Jawa pada saat perjumpaan, mengguna­kan têm­bang – pada umumnya têmbang macapat – yang dika­rang seke­tika pada saat itu – on the spot – disaji­kan dalam ben­tuk gên­dhing sêkar.

Setiap orang yang terlibat mendapat bagian satu pa­da, atau sering juga têmbang satu pa­da itu dibagi dua atau tiga tokoh untuk saling berdialog basa-basi itu.         

Pernah, seiring dengan makin mendangkalnya penguasa­an budaya Jawa dan berkembangnya budaya clomètan, kêtho­prak ini dilanda sajian ketoprak humor yang inti sajiaannya be­rupa banyol untuk menarik ketawa penonton.

Untuk kehidup­an­­nya sesuai yang pernah saya ramalkan bahwa pertunjukan itu merupakan pertunjukan musiman tidak akan bertahan la­ma bila diukur dengan ukuran sejarah.

Sekarang masyarakat yang telah sadar bahkan ingin kembali menikmati Kêthoprak “klasik” lengkap dengan gên­dhing sêkarnya.

Dialog selanjutnya menggunakan Basa Jawa têngahan di­­kom­binasikan dengan Basa Jawa anyar lengkap dengan tata un­dha-usuknya.

Dengan demikian kêthoprak juga berperan se­bagai media konservasi Bahasa Jawa. Memang bahasa dalam kêthoprak adalah bahasa pertunjukan yang dihaluskan dan di­tinggikan (heightened language) dengan demikian kurang pas kalau digunakan sebagai konversisi sehari-hari.

Terlihat jelas bahwa kêthoprak mempunyai peran me­nyim­pan banyak vokabuler karya sastera têmbang, terutama têm­bang macapat dan Bahasa Jawa lengkap dengan grtamatika dan unggah-ungguh­nya.  

6.
Wayang Wong


Seperti halnya kêthoprak, wayang wong juga sebuah ben­tuk te­a­ter tradisi tetapi cerita yang ditampilkan mengambil dari Ma­ha­barata dan Ramayana, kadang-kadang juga legenda Jawa. Gerak gerik pemain dalam sajiannya sikemas dalam bentuk bêk­­­san.

Kadang-kadang dialog bagèn binagèn juga mengguna­kan tembang seperti dalam kêthoprak yang juga dalam format gendhing sêkar. Têmbang – terutama têmbang macapat – dalam wayang wong sering kali juga digunakan untuk tantang-tan­tang­­an yaitu ketika dua tokoh berhadapan saling menantang se­belum perang terjadi.

Dalam lokasi ini tembang-tembang itu disajikan dalam bentuk palaran. Dengan demikian wayang wong juga berperan sebagai media konservasi karya Sastera Ja­wa khususnya têmbang macapat.
 

7.    Kêntrung


Kesenian rakyat ini bersifat lokal dan setiap daerah mem­­punyai ciri khasnya masing-masing walaupun pada dasar­nya sama.

Pada dasarnya kentrung adalah pertunjukan seni tu­tur yang dilakukan oleh seseorang dengan menggunakan ba­hasa Jawa setempat yang bersifat puitis seperti wangsalan dan purwakanthi, dilagukan berirama teetentu diiringi oleh tabuhan kendang kecil atau rebana. Terlihat di sini bahwa kentrung mem­­punyai peranan Bahasa dan Sastera Jawa setempat.    

8.
Ēmprak


Ēmprak adalah pertunjukan rakyat seperti sandiwara me­nampilkan ceritera apa saja dengan menggunakan bahasa pengantar Bahasa Jawa setempat dalam format gancaran. Sa­jian ini diiringi oleh perangkat yang berisi beberapa buah ricik­an gamelan, seperti saron, kendang, kecer, dan gong. Seni ini mempunyai peran dalam hal menyimpan Bahasa Jawa setem­pat.  

Penutup


Demikianlah peranan kesenian Jawa dalam pemertahanan Bahasa dan Sastera Jawa. Bukan sebagai pengembang, tetapi seba­gai media konsevasi. Sehingga kalau kesenian itu karena satu dan la­in hal hilang maka pemerthanan Bahasa dan Sastera Jawa akan semakin rapuh.

Untuk itu mari baik-baiklah menjaga keberlang­sung­an kesenian kita.

ikon pdf


kds penutup
wangsul-manginggil 

  • < 06 Pangleluri Basa Lan Dialek Jawa
  • 08 Peranan Folklor Tumrap Kawaspadaning Lingkungan >