| Makalah Utama (#07) |
|
KESENIAN JAWA SEBAGAI MEDIA PEMERTAHANAN BAHASA DAN SASTERA JAWA
Pengantar Kesenian Jawa seperti halnya kesenian yang lain merupakan barang hidup dan seperti kita ketahui bahwa sesuatu yang hidup itu tentu berubah. Bila perubahan itu dirasakan sebagai perkembangan berarti sesuatu itu masih akan bertahan hidup, tetapi bila perubahan itu dirasakan sebagai kemunduran maka lonceng kematiannya telah berdentang. Ketika saya masih kecil, kami sekeluarga, tetangga dan masyarakat sekeliling kami termasuk para tukang kayu dan tukang kebun yang bernaung di perusahaan kecil milik bapak dapat menggunakan Bahasa Jawa secara benar, baik itu gramatikanya maupun tata undha-usuk atau unggah-ungguhing basa-nya. Sekarang pengurus rumah tangga dan sopir saya Bahasa Jawanya sudah kacau misalnya: “Pak, dalêm tak mundhut bensin kriyin.” Kalau itu masih bisa dimaklumi, lebih menyedihkan lagi mahasiswa saya berkata kepada saya: “Pak kula supé boten ngasta flashdisk.” Baik sang sopir maupun mahasiswa sering lebih enak berbicara dengan Bahasa Indonesia.
Ikuti pembicaraan mereka:
Contoh:
misalnya:
bèbèk alit, dhasihmu mung wira-wiri
Mumpung anom, dadya saranané praja
Contoh-3
Jalan yang harus ditempuh jikalau ingin menjadi orang yang bermanfaat dan pilih tanding, kamu harus merendahkan diri. Merendahkan diri, justru kedudukanmu dalam pandangan masyarakat menjadi tinggi. Kalau ada yang marah dengarkan dan bersikaplah tetap hormat. Tindakan radikal harus kamu hindari, dan jangan terlibat dalam berbagai gosip. Semua Mijil bentuk fisiknya seperti Contoh-3 itu isinya boleh berbagai macam hal. Demikian pula Kinanthi, Pangkur, Asmarandana, Sinom dan sebagainya harus tunduk dengan peraturannya masing-masing (lihat atas). Kalau tidak maka teks yang diciptakan itu tidak dapat dilagukan. Tembang juga dapat menjadi ajang kolaborasi berbagai basa pinanthok lainnya misalnya purwakanthi dan wangsalan. Wujudnya adalah sebagai berikut (dalam tembang Dhandhanggula):
Gatra pertama, kedua, dan ketiga tembang ini merupakan frasa-frasa padhang dalam wangsalan, kata-kata yang dihasilkan dari frasa padhang itu digunakan membentuk kalimat berikutnya (frasa ulihan) tetapi harus ingat tetap mematuhi aturan têmbang. Tidak hanya itu, bila kita perhatikan tembang ini juga mengandung kridha aksara. Awal têmbang ini dimulai dengan huruf R, dan dapat kita lihat akhir setiap gatra juga menggunakan huruf hidup ‘r’ itu adalah Purwakanthi Sastra, sedangkan penempatan di awal têmbang dan di akhir setiap gatra seperti ini yang disebut kridha aksara. Kalau krida aksara itu menghasilkan nama seseorang – biasanya nama penciptanya – disebut kridha aksara sandi asma. Bentuk Gancaran Kita ikuti dulu contoh berikut ini: Contoh-5 “. . . Nêgara apanjang, apunjung, pasir wulir, loh jinawi, gêmah ripah, karta raharja. Panjang dawa pucapané, punjung luhur kawibawané, pasir samodra, wukir gunung, déné nagara anêngênaké benawi, ngiringaké pasabinan, ngungkurakên parêden angayunaké bandaran gêdhé. Loh tulus kang sarwa tinandur jinawi murah kang sarwa tinuku. Gêmah kang lumaku lampahing dagang rina wêngi tan ana pedhoté labêt tanana sangsayaning margi. Ripah pratanda janma ngamanca ingkang gêgriya salebeting praja ajêjêl pipit pangrasa abên cukit papan wiyar katingal rupak saking raharjaning nêgari. Karta para kawula ing padusunan pada ayêm têntrêm atiné ingon-ingon kêbo sapi pitik iwèn datan ana kang cinancangan yèn raina aglar ing pangonan yèn bêngi mulih marang kandhangé dhéwé-dhéwé . . .” Teks gancaran ini runtut dalam menyusun kata-kata sehingga bila dipelajari akan terasa mudah diucapkan, enak didengarkan dan mengandung isi yang komprehensip. Demikianlah rata-rata setiap karya sastera Jawa dalam bentuk gancaran. Kesenian Jawa dan Perkembangannya Secara tradisi kesenian Jawa disebut kagunan, termasuk di dalamnya têmbang, bêksan (tari), karawitan atau gamêlan atau gangsa (musik), wayang kulit, wayang wong, kêthoprak, langêndriyan dan bentuk-bentuk kesenian rakyat yang tersebar di dalam masyarakat Jawa seperti êmprak, kêntrung, jathilan dan lain sebagainya. Kata kagunan digunakan untuk menyebut penyajian seni yang yang bertujuan sebagai ekspresi estetik, sedangkan sajian yang bersifat hiburan disebut lêlangên. Jadi ada kagunan bêksa dan lêlangên bêksa. Kelompok lainnya yang juga mempunyai sifat seperti kagunan adalah kriya yang di dalamnya termasuk arsitektur, batik benda-benda perhiasan, lukisan, patung, ukir-ukiran, dan lain sebagainya. Perkembangan sekarang bentuk seni Jawa dibagi menjadi dua rumpun besar seperti seni lainnya di dunia – bila sastera tidak kita masukkan sebagai kelompok seni – yaitu seni pertunjukan dan seni rupa – sekarang disebut seni rupa dan desain – yang di dalamnya termasuk kriya. Seni termasuk sesuatu yang hidup di dalam budaya Jawa sehingga selalu berkembang sesuai dengan kebutuhan kamannya. Perkembangan yang relevan dengan makalah ini adalah perkembangan yang terdapat di dalam seni pertunjukan khususnya yang menggunakan Bahasa dan Sastera Jawa sebagai salah satu medium garapnya.
Selain itu di dalam kesenian Jawa khususnya di dalam karawitan berkembang secara kuantitas bentuk yang merakyat misalnya campursari, badhutan, dan sragènan.
Asalkan mereka memahami Bahasa Jawa secara garis besar dan akrap dengan sistem pelarasan slendro pelog akan dapat menikmati seni karawitan jenis ini. Daya Kesenian Jawa sebagai Media Pemertahanan Bahasa dan Sastera Jawa Frasa “ media pemertahanan” seperti yang diberikan oleh Steering Committee kongres ini kiranya perlu ditafsirkan maksud yang terkandung di dalamnya. Saya mempunyai dua tafsir tentang frasa itu: Agaknya tafsir kedualah yang dapat diemban oleh kesenian Jawa sebab tafsir pertama yang mengandung kata eksistensi yang mempunyai arti bahwa Bahasa dan Sastera Jawa eksis. Eksis itu tidak sekedar ada tetapi berfungsi dan beroperasi aktif dalam budaya masyarakatnya. Itu sangat berat, sebab bila di suatu tempat terselenggara sebuah ujud kesenian memang Bahasa dan Sastera Jawa beroperasi di dalam kesenian itu tetapi belum tentu di situ beropreasi di dalam masyarakatnya secara umum. Sebaliknya kalau tafsir yang kedua, itu pasti. Di mana ada sajian seni maka masyarakat dapat melihat bahwa di dalamnya masih menyimpan Bahasa dan Sastera Jawa.
Setiap jenis kesenian Jawa mempunyai “kantong-kantong” yang menyimpan Bahasa dan atau Sastera Jawa. Berikut ini beberapa jenis seni rupa dan disain yang menyimpan kosa kata Bahasa Jawa:
Ada lagi kelompok ricikan seperti misalnya: saka guru, saka rawa, tumpang sari, blandar, usuk, rèng, sirap, dan lain sebagainya. Istilah-istilah teknis di sini juga merupakan kosa kata Bahasa Jawa seperti misalnya: lèrèng, latar irêng, latar putih, blédhak, sêmèn, cêcêg, cêplok, lar-laran, lung-lungan, kanthil, dan lain sebagainya.
Masih ribuan kosa kata Bahasa Jawa yang tersimpan di dalam seni kriya seperti tersebut di atas dan di antara mereka ada yang mempunyai arti sekunder seperti misalnya dalam kalimat Bahasa Indonesia: “Pertanian masih merupakan saka guru ekonomi kita” Mungkin ada yang tidak mengerti bahwa “saka guru” itu berasal dari bagian bangunan runah Jawa yang bertugas sebagai penopang utama beban sebuah pêndhapa; atau dalam kalimat: “Setelah pimpinannya meninggal organisasi itu kehilangan pamornya. Mungkin ada yang belum tahu juga bahwa kata “pamor” berasal dari bagian keris yaitu guratan garis-garis berwarna perak pada bilah keris yang hitam kebiruan yang mencirikan kebersinaran keris itu. Selanjutnya beberapa contoh unsur Bahasa dan Sastera Jawa yang tersimpan di dalam seni pertunjukan. Seni pertunjukan yang mewakili kesenian “Pan Jawa” adalah karawitan, kêthoprak, dan wayang wong, sedangkan kesenian rakyat yang bersifat lokal akan diwakili oleh êmprak dan kêntrung Sajian karawitan secara garis besar dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu sajian instrumental dan sajian yang memakai vokal, jenis sajian kedua inilah yang relevan dengan pokok bahasan makalah ini. Ada dua macam sajian vokal di dalam karawitan, yang pertama adalah vokal sebagai salah satu instrumen gamelan sehingga kedudukan bagian vokal sama dengan kedudukan ricikan gamelan lainnya. Jenis kedua adalah sajian yang bagian vokalnya berfungsi sebagai alur lagu pokok, sehingga instrumen lainnya bertugas sebagai pengiringnya. Jenis yang kedua ini adalah sajian gending sêkar dan palaran. Bagian vocal ini dilakukan oleh pemain vokal wanita yang disebut sindhèn dan pemain vokal priya disebut gérong. Sindhèn dilaksanakan dengan suara tunggal, sedangkan gérong dilaksanakan dengan suara bersama dari beberapa penggérong. a. Sidhèn dan gérong sebagai Ricikan Gamêlan
Abon-abon adalah pengisi kekosongan biasanya frasa ya mas, atau bapak-bapak, éman-éman dan sebagainya[2]. Sedangkan isi pokoknya berwujud wangsalan. Ketika gérong mulai beroperasi maka bagian vokal itu diisi dengan suara sindhèn yang berirama ritmis digabung dengan suara gérong yang berirama metris. Baik sindhèn maupun gérong menggunakan satu teks (cakêpan) yang sama kadang-kadang berwujud wangsalan yang dalam istilah karawitan disebut slisir untuk gending-gending pendek, sedangkan untuk geding-gending panjang menggunakan cakêpan têmbang macapat atau têmbang têngahan.
Dengan demikian dapat kita ketahui bahwa karawitan merupakan kesenian yang berperan sebagai media konservasi wangsalan, têmbang macapat, têmbang tengahan, dan sêkar ageng. Dahulu memakai tarian sederhana, sekarang sudah hilang. Dialog pertama setiap adegannya – bagèn bunagèn – yaitu dialog yang saling menanyakan keselamatan atau basa-basi pada umumnya dilakukan masyarakat Jawa pada saat perjumpaan, menggunakan têmbang – pada umumnya têmbang macapat – yang dikarang seketika pada saat itu – on the spot – disajikan dalam bentuk gêndhing sêkar. Setiap orang yang terlibat mendapat bagian satu pada, atau sering juga têmbang satu pada itu dibagi dua atau tiga tokoh untuk saling berdialog basa-basi itu. Pernah, seiring dengan makin mendangkalnya penguasaan budaya Jawa dan berkembangnya budaya clomètan, kêthoprak ini dilanda sajian ketoprak humor yang inti sajiaannya berupa banyol untuk menarik ketawa penonton. Untuk kehidupannya sesuai yang pernah saya ramalkan bahwa pertunjukan itu merupakan pertunjukan musiman tidak akan bertahan lama bila diukur dengan ukuran sejarah. Sekarang masyarakat yang telah sadar bahkan ingin kembali menikmati Kêthoprak “klasik” lengkap dengan gêndhing sêkarnya. Dialog selanjutnya menggunakan Basa Jawa têngahan dikombinasikan dengan Basa Jawa anyar lengkap dengan tata undha-usuknya. Dengan demikian kêthoprak juga berperan sebagai media konservasi Bahasa Jawa. Memang bahasa dalam kêthoprak adalah bahasa pertunjukan yang dihaluskan dan ditinggikan (heightened language) dengan demikian kurang pas kalau digunakan sebagai konversisi sehari-hari. Terlihat jelas bahwa kêthoprak mempunyai peran menyimpan banyak vokabuler karya sastera têmbang, terutama têmbang macapat dan Bahasa Jawa lengkap dengan grtamatika dan unggah-ungguhnya.
Kadang-kadang dialog bagèn binagèn juga menggunakan tembang seperti dalam kêthoprak yang juga dalam format gendhing sêkar. Têmbang – terutama têmbang macapat – dalam wayang wong sering kali juga digunakan untuk tantang-tantangan yaitu ketika dua tokoh berhadapan saling menantang sebelum perang terjadi. Dalam lokasi ini tembang-tembang itu disajikan dalam bentuk palaran. Dengan demikian wayang wong juga berperan sebagai media konservasi karya Sastera Jawa khususnya têmbang macapat. 7. Kêntrung
Pada dasarnya kentrung adalah pertunjukan seni tutur yang dilakukan oleh seseorang dengan menggunakan bahasa Jawa setempat yang bersifat puitis seperti wangsalan dan purwakanthi, dilagukan berirama teetentu diiringi oleh tabuhan kendang kecil atau rebana. Terlihat di sini bahwa kentrung mempunyai peranan Bahasa dan Sastera Jawa setempat.
Penutup
Untuk itu mari baik-baiklah menjaga keberlangsungan kesenian kita. |
|||||||||||














