| Kumpulan Artikel |
| Tiga Prasasti Masa Balitung - Halaman : 08 / 14 |
|
(bernama) si Juluŋ. Dari (desa) Muṅgu Wuatan yang termasuk wilayah Laṇḍa Tamwir, yaitu rāma matuha (bernama) si Waduā ayahnya Impĕn. Jumlah desa-desa per- 8. batasan yang ikut menjadi saksi (ada) 9 termasuk saŋ patih, orangnya berjumlah 10, semua diberi persembahan (berupa) bebed satu setel dan emas 2 māsa masing-masing/ / Juru bicaranya berjumlah 6 orang (mereka) diberi persembahan (berupa) bebed 9. sehelai dan emas 1 māsa masing-masing/ / Saji-sajian pada waktu membatasi śīma (adalah) bebed untuk saŋhyaŋ Brahmā [1] satu setel dan emas 4 māsa, 1 kapak, 1 kapak perimbas (beliung kecil), 1 beliung, 1 sabit, 1 tombak pendek,10. 4 linggis, 1 parang, 1 sekop kecil, 1 tombak, 1 pisau, 1 alat pemotong kuku, 1 jarum, 1 baki, 1 besi, 1 lampu, 2 perangkat tempat sayur, 1 pundi-pundi, sekarung beras, (mata uang) besi 10 ikat [2], seekor kambing, 1 kepala (kerbau) [[3], 11. 1 kumol [4], 4 nasi dinyun [5], 1 pinggan, sepasang pasiliḥ galuḥ [6], 5 tempat air, beras 1 bejana, 4 ekor ayam, 4 butir telur dan paṅcopācara yang terdiri dari bunga, kawittha [7], dīpa [8], kemenyan dan bedak wangi/ / Setelah mereka semua selesai ma- 12. kan, (mereka) berpindah (tempat duduk), memakai kawittha (dan) memakai bunga [9], duduklah mereka di lapangan berkeliling menghadap saŋhyaŋ kudur [10] dan saŋhyaŋ śīma watu kulumpaŋ [11] di bawah balairung (yang terletak) di tengah lapangan. (Adapun) susunan duduk mereka (adalah sebagai berikut): 13. saŋ pamagat Pikatan, rake Wantil (pu Palaka), samagat Manuṅkuli bertempat di sebelah utara menghadap ke selatan. Saŋ wahuta hyaŋ kudur dengan para juru bicara semuanya bertempat di sebelah barat menghadap ke timur. 14. Saŋ wahuta, patih dan para rāma serta penduduk desa perbatasan, semuanya bertempat di sebelah selatan menghadap ke utara. Mulailah saŋ makudur bersumpah, menyumpah, mengutuk (sambil) memotong kepala ayam dilan- 15. daskan pada susu(k) kulumpaŋ [12] seraya membantingkan telur pada saŋhyaŋ watu śīma (lalu) menyalakan saŋhyaŋ brahmā di (atas) batu yang dijadikan batas. Seperti ayam mati tidak akan hidup kembali, rupanya seperti telur yang hancur menjadi seratus bagian, seperti 16. api membakar kayu segenggaman, hilang hangus tidak tenang (seperti) abu yang tertiup angin, Demikianlah (nasib) orang (atau) siapa saja yang mengusik-usik desa (di) Paṅgumulan ini yang dijadikan śīma (oleh) rakai Wantil (pu Pālaka). 17. (Yang) dibatasi oleh (saŋhyaŋ) kudur dan bawahan (dari) rakryān mapatiḥ. Demikian kutukan saŋ makudur yang didengar oleh saŋ wahuta, patih dan para pejabat desa (serta) penduduk desa semua. Mereka menyembah kepada saŋhyaŋ watu śīma 18. kulumpaŋ, mempersembahkan baktinya serta ketaatannya. Begitu juga mereka semua menambah kepada daun mereka memakan jenis-jenis makanan: nasi matiman (?), menumpuk ikan yang diasinkan (seperti) ikan asin kakap, ikan asin kaḍiwas [13], ruma–[1]Soekmono dalam disertasinya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan saŋhyaŋ brahmā pada prasasti adalah dewa Brahma (Soekmono, 1977: 230-231). Akan tetapi dari prasasti Paṅgumulan kita mendapatkan suatu bukti bahwa yang dimaksud dengan saŋhyaŋ brahmā adalah api pemujaan (IIIa. 16. saŋhyaŋ brahmā tumunui ikaŋ kayu saka gegöṅan). Di dalam upacara penetapan śīma api pemujaan merupakan salah satu unsur yang memegang peranan penting. [2]Kata wsi ikat oleh Stutterheim ditafsirkan sebagai uang kepeng. Tiap ikat ada limapuluh mata uang besi, dalam bahasa Jawa Baru dikenal dengan seket (saikat) = lima puluh. Jadi wsi ikat 10 sama dengan limaratus mata uang besi (Stutterheim, 1940: 23). Di dalam prasasti Wukajana (tidak berangka tahun), terdapat keterangan bahwa wsi dipakai untuk sawur-sawur[fn. *: Prasasti Wukajana II.A.7: ..... paṅisi tamwakur pinakasawur-sawur saŋ maṅuyut wĕas kukusan 1 wsi ikat 1 dan seterusnya (van Naerssen, 1937: 444).]. Sedangkan dari prasasti Poleṅan (798 Śaka) terdapat keterangan yang menyebutkan bahwa wsi ini dibagikan kepada anak laki-laki dan perempuan[fn. **: Prasasti Poleṅan IVa.5: ..... // anuŋ winaihan wsi rarai laki laki. anakbi. kwaiḥ nikanaŋ wsi dinūmakan rikanaŋ ikat 100 (Boechari, 1957: 42).]. Dengan demikian, jelaslah bahwa yang dimaksud dengan wsi di sini adalah mata uang dari besi. Seperti yang masih berlaku sampai sekarang, uang yang dipergunakan untuk sawur adalah uang logam. [3]Di dalam prasasti Wukajana II. A.8 dijumpai kata taṇḍa niŋ kbo (Van Naerssen, 1937: 444) dan di dalam Kawi oorkonden I.3.16 dijumpai kata taṇḍas niŋ haḍaṅan (Cohen Stuart, 1875: 6). [4]. Apa yang dimaksud dengan kumol belum diketahui. [5]Istilah dinyun tidak dapat disamakan dengan jun dalam bahasa Jawa Baru yang berarti tempat air atau gentong dari tanah liat. Dari prasasti Wukajana terdapat keterangan bahwa jun ini terbuat dari tembaga. Mungkin dapat disamakan dengan dandang dalam bahasa Jawa Baru (Boechari, 1976: 18 cat. 17). [6]Mungkin yang dimaksud dengan pasiliḥ galuḥ adalah sejenis kain dengan motif galuḥ atau permata (Stutterheim, 1940: 23). [7]Kawittha adalah sajenis boreh atau bedak wangi (De Casparis, 1956: 327 cat. 81; Stutterheim, 1940: 23). [8]Dīpa adalah sejenis lampu yang dipergunakan sebagai alat upacara (Ratnadi, 1975: 45 dan 53-55) [9]Lihat skripsi Sdri. Ratnadi yang menggambarkan bagaimana berlangsungnya upacara di Bali (Ratnadi,1975: 64-69). [10]Lihat pada cat. 44. [11]Kata kulumpaŋ mengingatkan kita kepada kata lumpang di dalam bahasa Jawa Baru, yaitu tempat untuk menumbuk padi yang terbuat dari batu dan mempunyai lubang di tengahnya. Mungkinkah yang dimaksud dengan kulumpaŋ ini adalah yoni, yang bentuknya menyerupai lumpang. [12]Susuk kulumpaŋ adalah batu patok atau susuk yang dipasang/dimasukkan ke dalam sebuah batu alas yang berlubang di tengahnya (yoni). [13]Sejenis ikan laut.
Sumber : http://epigraphyscorner.blogspot.com/search?updated-min=2014-01-01T00 |




























